13

3.2K 285 12
                                    

Wajah lelah Hinata sangat kontras dengan senyum lebar dibibirnya, gadis itu barusaja memasuki apartemennya, ketika ponselnya berbunyi dengan sederet nomor asing dilayarnya.
Mengerutkan ujung bibirnya, Hinata menekan tombol dengan gambar telpon hijau, menyambungkan saluran.

"Hallo," sapanya dengan datar.

"Hai, Hinata. Ini aku." Suara yang tidak asing, Hinata tersenyum sendiri.
Berpikir, bahwa lelaki itu pasti telah berubah pikiran.

"Oh, hai Sasori. Jadi, bagaimana ?"

Suara kekehan menjadi respon pertama atas pertanyaan Hinata yang kelewat antusias.
Gadis iru memukul keningnya, merasa malu pada diri sendiri.
Menjatuhkan tubuhnya dengan ringan disofa ruang tamu, Hinata menunggu.

"Bukankah lebih baik jika kita bertemu, dan melakukan negosiasi secara langsung ?"

"Ahh, kau benar. Bagaimana jika besok ?
Jam makan siang ?"

"Tentu saja. Silahkan tentukan tempatnya."

Hinata berdecak, bibirnya merengut.
Lelaki diujung sana terdengar seperti Sasori yang dikenalnta beberapa tahun silam, dengan sebuah sindiran khas yang tak pernah berubah.
Hahh, Hinata buru-buru menggeleng.

"Apa kau barusaja menyindirku ? Kau jelas tau, jika aku masih asing dengan tempat ini."

Lagi-lagi suara tawa renyah mengalun dari balik sambungan telepon itu.
Hinata sedikit menipiskan bibirnya saat mendengar suara tawa lelaki itu.

"Baiklah-baiklah, maafkan aku. Jadi, aku akan kekantormu besok."

"Itu lebih baik. Sampai bertemu besok."

Hinata segera mematikan panggilan itu.
Bukan apa-apa, hanya saja ia mendapat pesan dari Sasuke.
Sesuatu yang cukup sayang untuk dilewatkan olehnya.
Hinata hanya tidak menyadari, bahwa tindakannya membuat seorang lelaki diujung sana tersenyum getir.
Merasa miris pada dirinya sendiri.

*

Sudah lewat tengah malam, saat Hinata cekikikan dibalik selimut yang membungkus tubuhnya.
Gadis itu masih betah menyumpalkan earphone yang menyambungkan suara Sasuke ke telinganya.
Mendengar banyak keluhan dari lelaki itu, sesekali menertawainya, karena Hinata menganggap Sasuke sedang melewati masa puber kedua.

Sasuke masih merengek, mengeluh bahwa dirinya begitu merindukan Hinata.
Sementara gadis itu tengah membayangkan betapa lucunya wajah tampan pacarnya yang tengah merengut.

"Aku tau Sasuke-nii, berhentilah merengek dan jadilah lelaki dewasa."

Ohh, Hinata pasti akan mendapat banyak royalti jika menuliskan betapa absurd seorang Uchiha Sasuke yang terkenal dingin, kejam dan angkuh.
Bagaimana lelaki itu akan berubah seperti anak anjing lucu didepan Hinata.
Atau berubah menjadi bayi besar menyebalkan yang terlalu manja.

"Aku tau. Aku juga mencintaimu. Selamat malam."

Perbedaan waktu jelas begitu kentara, Hinata yakin jika lelaki itu pasti sedang berada dikantornya, sementara dirinya sudah nyaman dalam balutan selimut tebal yang membungkus tubuhnya seperti kepompong.
Hinata tersenyum penuh kelegaan, meski perasaan lain lebih mendominasinya kali ini.

Rindu itu berat. Kamu tidak akan kuat, biar aku saja.
Ahh, sepertinya kali ini Hinata harus membenarkan pernyataan puitis dilan yang satu itu.
Rindu itu memang berat, terlalu berat jika ditanggung seorang diri.
Lebih berat lagi jika kau merindu kekasih orang.
Tapi, Sasuke bukan kekasih orang, Sasuke itu kekasih Hinata.
Jadi tolong, jangan ada yang berani merindukan Sasukenya, biar Hinata saja.

Sementara diujung sana, Sasuke sedang menutup wajahnya yang memerah.
Tersenyum konyol sambil menyandarkan punggung kesandaran kursinya.
Meski hanya mendengar suara Hinata, hal itu sudah cukup untuk mengatasi kerinduannya.
Meski kenyataan, ia jauh lebih merindukan gadisnya, lebih banyak yang bisa diutarakannya.
Membuatnya seperti remaja tanggung yang baru mengenal asmara, meski fakta berkata berbeda.

ROSEMARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang