20

3K 247 8
                                    

Akasuna Sasori tersenyum miring, wajahnya tampak senang saat melihat Hinata yang kini duduk dihadapannya, dengan tangan bersidekap dibawah dada, wajahnya menyiratkan banyak kekesalan akibat ulah lelaki itu.
Sementara Sasori, layaknya manusia tanpa dosa, hanya duduk tenang sambil menikmati kopinya, seakan tak peduli pada ekspresi apapun yang ada diwajah Hinata.

"Sasori, kenapa kau selalu mempersulit kami ?" Tanyanya dengan suara datar, sorot mata yang penuh tuntutan.

"Hanya ingin agar kau segera kembali dan menghandle ini." Mengangkat bahu dengan ringan, lelaki itu tampak seperti bocah TK yang tidak mengerti kesalahan apapun.

"Terimakasih, berkat dirimu aku gagal cuti." Sarkasme muncul dengan pedas, tawa renyah mengalun dari bibir lelaki itu.
Terasa begitu senang atas apapun yang terjadi pada Hinata.

Rencananya, Hinata masih mengambil cuti, tapi tetap bekerja dirumah, dimana ia merasa harus mengurusi ayahnya yang keadaannya belum stabil benar.
Tapi, kekacauan itu muncul dalam bentuk lelaki tampan berambut merah dan berwajah cute, menghancurkan angannya karena ulahnya yang sangat menjengkelkan.

"Itu bagus. Tidak baik hanya diam diri dirumah."

Hinata menatapnya dengan pandangan tak percaya, meskipun sudah mengenalnya sejak lama, otaknya masih harus menyesuaikan segalanya dalam sudut pandang saat ini.

"Dasar. Kurasa kau harus mengencani seorang perempuan, agar otakmu tetap waras." Hinata menampilkan senyum sudut yang mengejek, membuat Sasori mendengus keras-keras saat mendengarnya.

"Aku sudah melakukannya, jika kau ingin tau."

"Benarkah ? Kau harus mengenalkannya padaku."

Sasori tak segera merespon, kembali menyesap kopinya, menampilkan wajah santai.

"Pasti." Ujarnya dengan ringan.

Jika ada yang berpikir, apakah mereka yang menyandang status mantan pacar, tidak akan bisa menjadi teman ?
Hinata dan keadaan mematahkan argumen itu.
Bahkan gadis itu sempat berpikir, apa salahnya berteman dengan mantan pacarmu ?
Bukankah sebelumnya kalian juga teman ?

Prinsip setiap orang itu berbeda-beda, juga tingkat kearogansian dan gengsinya.
Tapi, menjadi teman akan terasa lebih baik, daripada terus memusuhinya karena kesalahan dimasa lampau.

*

Hinata dengan wajah lega, penuh kedamaian, mengamati lukisan sesosok perempuan dalam kanvas itu.
Bibirnya tersenyum, tipis dan manis.
Lukisan itu adalah sosok ibunya, dilukis oleh ibunya dan disimpan oleh ayahnya.
Neji barusaja keluar dari apartemennya, setelah berdebat panjang dengan Sasuke, karena sesuatu yang tidak ingin Hinata ketahui.

Dilihat dari sisi manapun, orang akan mengira bahwa lukisan itu adalah sosok Hinata, karena kemiripan yang begitu luar biasa.
Aroma menyegarkan yang menguar dari shampoo, tetesan air dari rambut basah yang mengenai lengannya, juga rengkuhan diperutnya lewat lilitan lengan kuat.
Sasuke menyandarkan dagunya dibahu Hinata, menciumi sisi wajah Hinata yang kini tersenyum lembut sambil melirik kearah lelaki itu.

"Sekarang aku tau, darimana gen cantik ini berasal." Sasuke masih nyaman ditempatnya, menciumi leher samping Hinata yang membuat gadis itu kegelian.

"Sasuke-nii, kepalamu berat." Keluhnya dengan ekspresi yang berlebihan.
Tapi Sasuke hanya tertawa pelan, tak melepaskan pelukannya.

"Aku mencintaimu." Wajah Hinata merona, berusaha melepaskan diri agar bisa berhadapan dengan Sasuke.
Tatapannya lekat pada sepasang mata yang balas menatapnya.
Jantungnya berdebar, jenis lain saat lelaki itu menatapnya.

"Aku tau itu," gumaman yang diikuti elusan dirahang tegas Sasuke, membuat lelaki itu memejamkan mata, menikmati sentuhan Hinata pada wajahnya.

Hinata sedikitnya merasa heran, karena tidak biasanya Sasuke mengatakan kalimat sakral itu.
Maksutnya, Sasuke bukan jenis lelaki dengan mulut manis yang akan dengan senang hati mengatakan bahwa ia mencintai seseorang.
Bahkan Hinata bisa mengitung dengan jari, berapa kali Sasuke mengatakan cinta padanya.

ROSEMARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang