Dilema 8.2

1.8K 82 2
                                    

Selepas menemui dosbing di ruangannya, kelima wanita muda itu segera bergegas ke ruang A3.B4 di lantai 3 gedung FE. Suasana sudah ramai di dalam mengingat jam sudah menunjukan pukul 13.10, namun dosen yang seharusnya hari ini mengajar belum menunjukan batang hidungnya. Shena dan keempat sahabatnya duduk di bangku barisan ke 2 dari meja dosen, seperti biasanya. Tak lama pintu dibuka oleh seorang pria dengan rambut yang penuh uban, ia membawa tas ransel hitam dan beberapa buku paket di tangannya. Dialah Pak Purba, dosen yang akan mengajar makul manajemen keuangan lanjutan semester ini.

Pukul 15.30 tepat Pak Purba menyelesaikan makul hari ini, 3 sks sudah dilalui Shena dan teman-temannya. Setelah memasukan buku ke dalam tas masing-masing mereka bergegas naik ke lantai 5 untuk menunaikan shalat ashar di mushala. Bukan tanpa alasan mereka lebih memilih mushala lantai 5 dibanding mushala lantai 1, hal itu karena di mushala atas tempatnya lebih bersih dan tidak terlalu banyak yang menggunakannya karena ruangannya yang tidak sebesar mushala lantai 1. Secara bergiliran Shena dan keempat sahabatnya melaksanakan wudhu, setelahnya Shena mengeluarkan sepasang mukena dari dalam tas mukena yang dibawanya dari rumah. 4 rakaat ia laksanakan dan mengakhiri shalat ashar dengan doa. Doa kali ini yang ia panjatkan bukan hanya doa mengenai dirinya ataupun keluarganya, ada satu nama tambahan yang ia sebutkan demi kesehatan, keselamatan, dan kesuksesan yang senantiasa selalu bersamanya. Seorang pria yang namanya ia panjatkan dalam doanya tidak lain adalah Bhanu, pria yang mengantarkannya tadi. Selepas memakai sneakers pada kedua kakinya Shena dkk segera kembali ke kelasnya. Mereka akan mengikuti 1 lagi mata kuliah hari ini.

Jam menunjukan pukul 06.22, Bu Rani mengucapkan salam penutup perkuliahan hari ini. Shena dan keempat kawannya segera bergegas dan menuju lantai dasar untuk menunaikan shalat magrib. Mushala lantai dasar menjadi pilihan mereka kali ini karena akses yang lebih dekat dengan halaman parkir. Setelah melaksanakan shalat magrib Shena beranjak keluar mushala untuk memasang kedua sepatunya, tangannya merogoh dalam tasnya dan keluar dengan sebuah ponsel di tangan kanannya. Sebuah pesan dari Bhanu menjadi notifikasi yang ia lihat saat ini.

Dari: Mas Bhanu

Dek, nanti kalau sudah mau pulang kabarin mas ya.

Shena mengetik dengan kedua ibu jarinya, membalas pesan dari Bhanu. Setelah itu ia memasang kaus kaki dan sepatu ke kaki kanan dan kirinya. Mona menghampiri Shena yang sedang fokus dengan sepatunya saat ini. Ia kemudian duduk di samping Shena.

"Shen, nanti lu jadi di jemput mas Bhanu?".

Shena mengangguk kecil "kayanya sih gitu".

"duh duh, uda punya supir pribadi nii yee" goda Mona.

"tapi nih ya, aku kok agak ngerasa gimana gitu".

"maksutnya apaan nyet?".

"ya gimana gitu, kek gimana gitu loh Mon tau gak sih maksut gua" Shena mengekspresikan perasaanya saat ini dengan kedua tangannya.

Tampak Raya Fina dan Ema yang mendekati kedua temannya yang sepertinya sedang asyik berbincang itu.

"ngomongin apa sih, serius amat kayanya" Tanya Raya.

"engak, gua ngerasa kaya ga nyaman aja kalo di anter mas Bhanu kaya tadi. Kaya awkward aja gitu" jawab Shena.

"aelah, biasa itu mah namanya juga baru awal pacaran".

"gua ga pacaran ya sama dia, hubungan gua kaya begitu" gerutu Shena.

"lah kalo bukan pacaran terus apaan nyet? Kalo uda di jodoin begitu berati lo lagi di fase menjalin hubungan spesial alias pacaran sama dia" jelas Ema.

"masa iya sih lo ga nganggep dia seseorang yang spesial gitu Shen? Secara lo uda dapet restu kan dari ibunya, dari keluarganya" Fina menambahkan,

"ya gimana dong, gua belom siap sama hubungan kaya begituan. Dari dulu gua juga ga mau pacaran kan" Shena menghela nafasnya.

"ya trus sekarang Bhanu lo anggep siapa?".

Shena terlihat berfikir sejenak sebelum menjawab "mmm, kakak mungkin?".

"aelah di kakak adik zone masa?!" suara Fina terdengar sangat keras.

"ya ampun Shen, cowo kaya dia mah kurang apaan coba. Mapan, manis, ganteng, mana perhatian banget sama elu. Kaya gituan jangan sampe lepas neng" Mona menggoyang-goyangkan badan Shen.

"ya tapi gua masih kurang yakin sama dia" Shena merengngek seperti anak kecil.

"iya iya, gua paham kok. Sekarang yang penting lo pelan-pelan aja jalanin hubungan sama dia. Jangan keburu-buru, kaya air mengalir aja" Raya memberikan nasihatnya.

"soalnya kalo ngerasa kepaksa juga jadinya ga baik sih, bener kata si Raya. Menurut gua lu juga perlu waktu adaptasi soal kaya beginian. Kalo bahasa jawanya kan witing tresna jalaran saka kulina ciahhh" tambah Ema yang sontak mengundang gelak tawa mereka.

Setelah berbincang di mushala mereka berlima menuju halaman parkir yang tidak jauh letaknya. Shena di bonceng oleh Fina, sedangkan Ema, Mona dan Raya dengan motor masing-masing. Mereka kemudian beriringan menuju ke luar halaman parkir dan berhenti di samping gerbang masuk utama. Fina berhenti di belakang motor Bhanu, Shena segera berpamitan pada keempat temannya. Setelah itu ia naik ke atas motor. Angin malam menemani Shena dan Bhanu menyusuri jalanan kota. Lagi-lagi tidak ada perbincangan yang terjadi di antara keduanya, Shena memilih diam sambil melihat jalan raya. Bhanu fokus mengendarai kendaraan roda dua itu, kali ini ia mengendarai dengan pelan tidak seperti tadi siang saat mengantar Shena.

Shena merasakan kedua matanya terasa berat, perlahan rasa kantuk menggelayuti dirinya. Namun bukan Shena namanya jika ia tidak berusaha menahan rasa kantuk itu sekuat mungkin. Ia melihat bahu Bhanu dengan jaket hitam yang membalut tubuhnya. Bahu yang nampak sangat nyaman untuk tempatnya bersandar saat ini. Shena menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya, ia tidak boleh jatuh ke tempat itu sekarang. Ia sekuat mungkin berusaha membuka kedua matanya. Namun apalah daya Shena, rasa kantuk itu perlahan membuat matanya justru semakin berat dan mulai mengarahkan kepalanya yang di balut helm menabrak kepala Bhanu yang berada di depannya.

Bukk..

Shena sontak menarik kepalanya kembali ke posisi semula, Bhanu melihat spion sebelum menghadapkan wajahnya ke belakang. ia berusaha memastikan Shena dalam keadaan aman. Bhanu membuka helm kacanya, ia menurunkan kecepatan motornya sampai 20 km/jam.

"Shen, kamu kenapa?" suara Bhanu tampak menjelaskan kekhawatirannya saat ini.

"ehhe, gapapa kok. Maaf ya kepalanya mas Bhanu kena jedot aku" jawabnya.

"kamu ngantuk ya?".

"kayanya iya nih" jawab Shena sambil menapuk kedua pipinya pelan.

Bhanu diam sesaat sebelum melihat ke jam tangannya. Masih pukul 19.00 kurang, namun Shena sudah merasakan kantuk. Mungkin karena perkuliahan hari ini membuat wanita itu sudah merasakan kantuk yang luar biasa.

Bhanu menarik tangan kiri Shena dengan satu tangan masih memegang kemudi. Ia letakan tangan Shena itu melingkar di perut Bhanu.

"pegangan aku Shen, takutnya kamu jatuh" Bhanu kembali menghadapkan kepalanya ke Shena, sedikit berteriak agar Shena bisa mendengar suaranya.

Shena yang masih kaget melihat satu tangannya sudah melingkar di perut Bhanu reflex menggerakan tangan kanannya mengikuti posisi tangan kirinya saat ini. Namun sebelum itu, ia melepaskan tas ranselnya dan ia menggedong tas ransel itu di depan dadanya. Ia menggunakannya sebagai pembatas antara punggung Bhanu dan dada Shena. Setelahnya ia meletakan kepalanya di pundak Bhanu, ia lalu memejamkan kedua matanya.

Bhanu terkekeh kecil merasakan tas yang ada di punggungnya saat ini, beberapa buku menjadi pembatas supaya badan Shena tidak menempel dengan langsung ke punggung Bhanu. Ia kemudian menaikan laju kecepatan motornya saat ini, sembari sesekali menengok ke arah Shena untuk memastikannya tetap aman di atas motor.

DilemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang