"Berhentilah membuatku bingung. Berhentilah membuatku bertanya-tanya. Apa kau juga akan pergi jika waktunya tiba?"
-Aira
Dibawah teriknya mentari. Satu dalam dua bayang di atas sepeda motor vespa berwarna biru muda yang usang. Ryan dan Aira, dengan tawa di dalam hati, bersiap menata memori, tentang hari ini.
Tetapi sedetik kemudian, wajah itu kembali kusam, juga tanpa energi di dalam, begitu Aira teringat kejadian tak terduga yang baru saja terjadi.
Setelah dua tahun lamanya, mengapa mereka bertemu kembali? Jika bisa, Aira rela membayar apapun demi tidak bertemu dengan dia selamanya. Tapi takdir selalu saja mempermainkannya. Namun kali ini takdir sedikit berbaik hati, tentang Ryan yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya. Seorang cowok konyol, sinting dan menyebalkan.
"Yan..." panggilan lembut dari bibir Aira, serasa memecah oksigen dalam udara, menghilangkan jejak angin yang berbisik, hingga Ryan pun dapat menerima dengan begitu jelasnya.
"Apa?"
Aira bungkam. Ia lebih memilih untuk menikmati angin sepoi-sepoi yang menyapu wajahnya. Begitu lembut. Gadis itu baru saja teringat. Sebuah fakta tentang bagaimana dia tidak pernah menaiki kendaraan lain selain mobil sebelumnya. Ini pertama kalinya. Lebih tepatnya kedua kalinya bagi Aira menaiki sepeda motor. Di selimuti panasnya matahari, di sapa sejuknya angin, berdua dengan seorang asing yang baru dikenalnya kemarin.
Ya. Ryan hanyalah orang asing. Setidaknya bagi Aira pada saat itu.
"Aira! Apa? Lo mau minta apa?" Ryan tidak bisa lebih sabar lagi untuk menunggu.
"Siapa yang mau minta sesuatu sama lo? Ogah!" Aira menggigit bibir bagian bawahnya, merasa canggung sendiri.
"Orang kalo manggil nama tuh berarti ada maunya, Ai. Jadi lo mau apa?"
"Belum tentu lah. Kalo manggil cuma buat nyapa doang? Gimana sih lo!"
"Oke. Manggil buat nyapa. Berarti nyapa itu adalah maunya. Nah tadi lo manggil gue buat apa?"
Aira tertegun. Tidak percaya sanggahan seperti itu keluar dari mulut seorang Ryan.
"Ai lo manggil gue buat apa?" Ryan berseru cukup keras bersamaan dengan motornya yang berhenti di perempatan jalan karena lampu merah.
"Buat nyapa," jawab Aira sekenanya.
"Terserah lo deh, Ai. Toh yang rugi bukan gue" Ryan membuang nafas panjang. Mencoba membuat Aira berpikir bahwa dirinya telah menyerah padahal hatinya menggebu-gebu ingin tahu. Hal apakah gerangan yang bisa sampai membuat Aira memanggil namanya. Dengan lembut. Untuk pertama kalinya.
Ryan bisa saja mati oleh rasa penasarannya sendiri. Tetapi untuk menipu orang lain maka dia harus menipu dirinya lebih dulu. Maka dari itu, Ryan bersandiwara bahwa ia telah menyerah.
"Emang kalo gue bilang, bakal lo turutin?" tanya Aira setelah berpikir cukup lama.
Lampu menyala hijau. Ryan menyiapkan motornya bersamaan dengan ia menyiapkan jawabannya.
"Entahlah...."
Aira menatap Ryan dari belakang. Berpikir cukup keras untuk mengucapkan keingingannya atau tidak.
"Gue pengen teriak. Kenceng banget. Sampe semua sesak di dada ini lenyap." Aira berhasil mengatakannya. Keinginan yang di sampaikannya pada Ryan saat memanggilnya tadi.
Motor Ryan berhenti. Cowok berambut coklat itu dengan cekatan mengambil handphone di saku bajunya, menelepon seseorang di seberang. Mengobrol tentang jembatan dan uang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pink Diary
Teen Fiction(HIATUS) || Aku tidak mau lagi jatuh cinta. Semua cowok yang kusuka pada akhirnya jadi menyukai Mimi. Teman cowok deketku, tetanggaku, adik kelas, kakak kelas yang aku sukai, jika mereka bertemu dengan Mimi, mereka akan menyukainya dan jatuh cinta p...