Aku sedang beberes luka, saat semua kelap kelip lampu kota padam
Saat itulah aku sedang merajut rindu yang harus ku sematkan sendirian
Tanpa menunggu kepulangannya kembali
Masih merelung harap tanpa rumah untuk berpulang
Kala itu, seusai kau memilikiku, kau mengenalkanku pada duniamu
Mendeskripsikan apa itu yang ada di dalam secangkir kopi
Menryuput harap, membawa relung sepi
Menitip rindu, pada suatu waktu
Namun itu lalu, ketika kau belum memilih menggandeng tangannya
Membiarkanku menatap semesta sendirian, tanpa kau menjadi tuanku
Menikmati secangkir kopi bergelut kenangan
Menikmati keramaian dan disela-sela helai harapan yang tercipta
Kopi yang kau pesan lalu hitam pekat
Mempunyai rasa pahit,
Namun tak sepahit luka yang kau persembahkan padaku
Klise yang ku cipta, tak semanis pesananku,
Dan lebih pahit dari pesananmu
Harumnya hujan menambahkan euforia tersendiri kala itu
Dan sekarang, aku sedang menikmati menyruput air mata
Merelung nestapa dari ketiadaan kita yang sudah usai
Sebuah masa yang tak akan habis ceritanya
Aku lebih memilih tertawa, ketika mengingat kau yang lebih dahulu melangkah
Menjadikannya tempat berkeluh kesah, setelah aku yang kau biar sendiri tanpa arah
Gelak malam bertabur kenangan, yang membuatku mempunyai sehelai harapan
Bahwa sayatan luka yang pernah membekas akan pulih adanya
Menciptakan bahagia setelah duka
Melunasi rindu dengan orang yang tepat
Mengisi sunyi dengan keselarasan rasa
Menikmati senja tanpa harus meninggalkan luka
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol
Poetryini menceritakan tentang sekumpulan puisi atau antalogi puisi. Dari perjalanan cerita saya selama bertahun-tahun. Sebuah kumpulan kata yang terangkai sederhana ketika rasa dan asa sedang di titik jenuhnya.