"Ini kamarmu," ujar putra sulung Uchiha seraya membuka sebuah pintu yang di baliknya terdapat kamar yang sudah lengkap dengan ranjang, lemari dan beberapa properti lain yang biasa ada di kamar. "Kau bisa bekerja mulai besok pagi. Sekarang, istirahatlah," sambungnya.
"Anoo," Naruto terdengar ragu, "Bagaimana dengan Menma?"
Ah, bayi kecil itu. Itachi merasa sedikit kasihan karena Menma menangis kencang sewaktu dipisahkan dari si pemuda pirang. Seakan-akan tidak mau dijauhkan dari Naruto. Tangisnya membuat semua orang yang berada di sekitar menjadi tidak tega dan kasihan. Tapi, mereka tak bisa langsung menyerahkan Menma begitu saja dalam pengawasan Naruto. Setidaknya tunggu sampai si pirang benar-benar di waktu bekerja.
Meski pada akhirnya si bayi tertidur karena kelelahan menangis. Menyisakan kesunyian diantara mereka, sampai sang kepala keluarga buka suara meminta Itachi mengantar Naruto ke sebuah kamar. Pun hari sudah malam dan waktunya beristirahat.
"Yah, aku cuma bisa berkata dia akan baik-baik saja. Lagipula Menma bersama kaasan dan tousan, jadi tak perlu dipikirkan." Itachi tidak berpengalaman untuk urusan bayi, tapi karena ibunya yang menjaga Menma; seseorang yang sudah berpengalaman, jadi dia pikir tak apa-apa. Hanya itu yang bisa dia katakan.
Sesungguhnya Naruto ingin membantah. Dia ingin meminta agar dia bersama Menma. Namun, dia tak punya hak untuk itu. Tidak ada yang tahu, dan ... dan dia sudah membuang identitasnya, jadi tak ada kewajiban maupun haknya atas Menma lagi.
Melihat raut muka pemuda bersurai pirang di hadapannya yang sendu, Itachi mengira jika Naruto masih khawatir pada Menma. "Kau bisa mulai bekerja besok dan bertemu Menma. Sekarang istirahatlah."
Ya, cuma itu yang dapat ia lakukan sekarang. Naruto mengangguk, "Terima kasih."
"Baiklah. Selamat malam, Uzumaki-san," ujar Itachi yang kemudian dibalas hal serupa oleh si lawan bicara. Dia menyerahkan kunci kamar pada Naruto lalu beranjak pergi. Tugasnya sudah selesai.
Sepeninggal putra sulung Uchiha, Naruto memasuki kamar yang bakal ia tempati. Mengunci pintu kamar dengan kunci yang ia terima lalu menghampiri ranjang sembari meletak tas yang ia bawa di lantai. Duduk di tepi tempat tidur dan memandangi kamar miliknya yang terbilang cukup luas. Meraba permukaan kasur yang dilapisi bed cover, belum lagi ranjangnya merupakan double bed.
"Untuk kamar pekerja rumah tangga, ini lebih besar dibanding apartmentku sebelumnya," Naruto bergumamㅡmasih mengamati keadaan di ruangan ini. "Menma pasti akan bahagia tinggal di sini. Semua kebutuhannya tercukupi," sesak mulai memenuhi dada si pirang. Dibarengi napas yang mulai tersendat, "Dia pasti akan bahagia. Mereka adalah orang-orang yang baik," dia masih melanjutkan monolog dengan buliran bening yang mulai menetes dari sudut mata.
Hanya beberapa detik, tangis si pirang pecah. Dia tak kuasa menahan sakit yang mendera. Sakit tak berwujud, sakit tak berdarah, namun sangat perih. Air matanya saling menyusul menuruni kedua belah pipi yang tirus.
Naruto tak ingin menyesali keputusan yang ia buat, namun perih di dada ini masih belum sanggup ia tahan. Dia masih kalah terhadap rasa sakit ini. Dia masih belum terbiasa. Terlebih ia tak menyangka masih bisa memeluk Menma, menggendong bayi berusia enam bulan yang terpaksa ia lepaskan dari kedua tangannya beberapa minggu lalu. Dan ... dan Menma masih mengenalinya!
"Tidak, tidak," Naruto berusaha mengatur napas dan isak lalu menghapus aliran air mata di wajah, "Ini sudah cukup. Aku tidak akan meminta lebih. Menma berhak mendapat kehidupan yang baik. Dia tidak harus hidup seperti diriku. Ya, ini adalah keputusan yang baik!" Ia mencoba meyakinkan diri, walau hati kecilnya berontak; 'jika memang keputusan yang baik, lalu mengapa kau masuk ke lingkup hidup baru Menma?'

KAMU SEDANG MEMBACA
Heart [3]
FanficKediaman Uchiha dibuat gempar ketika sesosok bayi berambut ravenㅡyang merupakan ciri khas keluarga berlambang kipas iniㅡmuncul di depan pintu rumah. Ditambah secarik kertas yang berisikan tulisan; Uchiha Menma. Anakmu, Uchiha Sasuke. Oㅡwow! Seisi ru...