"Goool!" teriakan Galih membuatku ikut bersorak.
Pertandingan berakhir di angka 3-1. Beberapa kali aku meloncat dari dudukku dan ikut memeriahkan suasana.
Setiap kali aku menonton pertandingan, entah kenapa tim yang kudukung selalu menang. Ya, ini berkat pilihan Galih yang tak pernah salah. Aku hanya mendukung tim yang dia dukung.
Jujur saja, aku tak begitu suka menonton sepak bola. Tapi, semenjak dia mengajakku kemari, tanpa sadar aku mulai menyukainya. Setiap bulan, lapangan tepat di depan kantor kecamatan akan penuh oleh suporter dadakan. Walaupun baru lima kali diadakan tapi antusiasme anak-anak sangatlah besar, terutama karena hadiah yang akan mereka terima.
"Aku akan menghampiri mamaku, kamu mau ikut?" kuanggukkan ajakan Galih. Ini kali pertamaku berhadapan langsung dengan sang penyelenggara pertandingan. Agak gugup juga mengingat aku akan bertemu dengan calon mertua. Ha...khayalanku terbang terlalu tinggi.
Kadang aku terlalu berharap banyak, padahal Galih belum tentu mengenalkanku sebagai kekasihnya. Sudah setahun berlalu, dan yang dia katakan adalah 'aku belum siap mengenalkanmu, kamu tidak keberatan kan!'
Tidak, tentu aku tidak keberatan. Aku tahu kalau butuh proses untuk menerima orang baru, yang terpenting bagiku adalah kepercayaan satu sama lain. Inilah alasanku mengapa tetap bertahan dengannya.
'Keluargaku bukanlah keluarga yang sempurna, bahkan mungkin terlalu banyak noda tak kasat mata yang menempel. Apa kamu yakin, mau mengenal keluargaku?'
Pertanyaannya beberapa minggu yang lalu pun membuatku sedikit ragu, kenapa dia begitu khawatir. Tapi, aku sudah sangat yakin dengan pilihanku kali ini. Sudah cukup janji palsu penuh asap kebohongan yang kudengar dari beberapa pria yang singgah di kehidupanku.
"Ma, ini Tari. Mentari." suara Galih mengalihkan pikiranku dari lamunan. Selama beberapa detik berhadapan, Bu Alya menatapku sebelum kemudian memelukku.
"Galih sering cerita tentangmu. Semoga kamu bisa menerima keadaan keluarga kami." ungkap Bu Alya seusai melepaskan pelukannya. Entah mengapa ekspresi Bu Alya terlihat agak berbeda.
Diam. Itu yang aku lakukan. Ucapan Bu Alya seperti sebuah pertanda akan adanya kejutan di kemudian hari. Galih merangkul bahuku, diiringi sebuah tepukan ringan.
"Lain kali, ajak dia ke rumah. Mama rasa, masih ada orang yang perlu kamu kenalkan padanya." bisik Bu Alya sebelum beliau berlalu menuju ke arah podium untuk memberikan hadiah bagi pemenang.
Sangat jelas, aku mendengar ucapan itu. Terdengar penuh arti, tapi cukup membuat Galih tak fokus. Bahkan hingga lapangan sepi, dia tetap terlihat berpikir keras. Memulai obrolan malah melelahkan karena dia tak juga memperhatikan ucapanku. Sebenarnya hal seperti apa yang mengganggu pikirannya sampai seperti itu?
"Aku memiliki seorang keponakan yang sulit diatur, tapi aku tahu dia anak baik. Kami dekat. Hanya saja, setiap kali aku mengenalkan seseorang dia akan merusak segalanya." Galih terlihat sangat cemas.
Kenapa dia begitu khawatir. Ini hanya masalah sepele, kenakalan anak-anak bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan terlalu jauh. Paling dia akan menyiram aku dengan air, menjahiliku dengan tawa kemenangannya. Itu hal yang biasa terjadi ketika aku bersekolah dulu. Miris mengingatnya, tapi memang kejadian masa sekolahku cukup buruk untuk diingat.
"Anak-anak memang selalu seperti itu, dia tidak ingin kehilangan perhatian darimu. Kamu harus percaya padaku." meyakinkan Galih memang sedikit sulit.
Apa yang bisa kugunakan untuk menyogoknya jika kami bertemu nanti. Permen, boneka, atau mobil-mobilan?
***
Rumah Galih memiliki halaman yang luas, ada dua mobil juga sebuah motor yang terparkir di tempat parkir. Di sisi kiri terdapat air mancur mini dikelilingi oleh tanaman bunga beraneka warna. Baunya semerbak memanjakan indera penciumanku.
Masuk ke dalam, perabotan di dominasi barang berbahan kayu. Terdapat beberapa lukisan serta foto keluarga. Di dalam foto terbesar, yang kulihat hanya ada Bu Alya, Galih dan mungkin kakak Galih. Dia pernah berkata dia memiliki seorang kakak laki-laki, tapi tinggal jauh di luar pulau Jawa. Hanya itu yang kutahu, bahkan sekedar namanya saja aku tak tahu.
Saat ini, aku tengah duduk di kursi kayu ruang tamu. Ukirannya unik, tempat duduknya terasa begitu empuk. Jika dibandingkan rumahku memang tidak sebanding. Tapi meskipun begitu, rumah kami ternyata memiliki kesamaan. Tidak ada lantai atas. Ha-ha ini konyol.
"Kamu diam terus, apa kamu baik-baik saja?" bisik Galih yang duduk disampingku.
"Aku baik, hanya sedikit membandingkan." jujur saja, aku lupa kegugupanku setelah melewati taman. Galih malah tertawa, lalu mengelus rambutku lembut. Ini adalah saat-saat yang paling aku sukai, rasanya aku seperti kucing yang haus belaian.
"Kalian terlihat cocok satu sama lain." Bu Alya duduk dihadapan kami, tersenyum seperti pertemuan kami tiga hari lalu di lapangan. Langkahnya teratur menghampiri kami, di susul seorang asisten rumah tangga yang membawa air minum juga makanan kecil.
"Mana Kevin?" pertanyaan yang terlontar dari mulut Galih mengingatkanku pada keponakan yang beberapa hari ini membuatku penasaran. Bu Alya sendiri tak menjawab, dia lebih memilih meminum teh yang telah tersedia di meja.
"Kita tidak tahu apa dia akan turun atau tidak," bisik Galih padaku, aku mengangguk mengerti. Di tas, sudah kusiapkan sogokan yang ampuh. Ada boneka, cokelat, permen, mobil-mobilan. Tinggal kutambahkan senyum semanis mungkin lalu bersikap ramah, hanya itu yang bisa kulakukan.
"Sebenarnya apa yang kamu bawa di tas besarmu itu?" tanya Galih terlihat penasaran, aku hanya dapat menjawab dengan senyuman penuh arti. Jujur saja, aku malu mengakui kalau barang di dalam sana adalah sogokan.
"Ah, ternyata dia datang kemari juga." sorot tak suka dia tujukan tepat padaku. Tapi bukan itu yang mengejutkanku, hanya saja semua usahaku menjadi sia-sia sekarang.
Apa-apaan ini!
Keponakan Galih sudah besar, terlalu besar untuk merasa perhatiannya dari Galih terebut olehku. Dan lagi, dia laki-laki. Apa dia memiliki kelainan orientasi seksual pada pamannya sendiri. Sia-sia aku bawa sogokan, semuanya jelas tak berguna untuk anak sebesar itu.
"Ini Kevin," tangan Kevin terulur padaku, terkesan ramah untuk pertemuan pertama, "dan ini, Mentari."
Galih memperkenalkan aku, dan kusambut uluran tangannya bersama senyuman manis yang sejak tadi telah kusiapkan. Anak itu tak tersenyum, yang ada hanya tatapan 'aku tidak menyukaimu' dia bahkan merubah jabatan tangannya menjadi remasan kuat membuat tanganku serasa ingin remuk. Langsung saja kutarik paksa tanganku, sebelum benar-benar mati rasa.
Setidaknya, aku jadi sedikit mengerti mengapa kekasih Galih sebelumnya memilih menyerah. Mungkin karena mereka juga sama salah persepsinya denganku.
^^^^
Aku tidak begitu mahir mengambil sudut pandang orang pertama. Cerita ini seperti coba-coba, tapi aku merasa bersemangat walaupun agak kaku, sedikit demi sedikit aku akan berusaha memperbaiki itu.
Lebih menyenangkan kalau ada yang meninggalkan masukan di kolom komentar.
Sampai jumpa di part selanjutnya, 2 hari ke depan.
Rabu, 15 Mei 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hening
General Fiction'Sudah terlalu banyak rasa sakit yang kuterima, sekali saja aku ingin dicintai dan mencintai seseorang' Dalam sana bagiannya, bagianku bisa saja tergambar jelas jika kamu mau mengerti. Salah satu dialog dalam film mengatakan "...memahami penderitaa...