16 : Kejutan

22 3 0
                                    

Setelah obrolan kami, Galih mengajakku pergi ke luar. Setengah jam kemudian, kami telah berada dalam mobil, menuju entah kemana. Galih masih diam, aku sendiri tak berani bertanya lebih jauh. Mungkin ini kejutan yang tertunda untukku. Kadang, tiap kali bersamanya aku selalu membayangkan sesuatu yang tinggi namun tak pernah kesampaian.

"Beberapa waktu belakangan, aku terus memikirkan ini. Apa aku cukup baik untukmu?" Galih menepikan mobil, dengan kedua tangan yang masih memegang kemudi, dia menatapku serius seakan ada ganjalan besar di benaknya.

"Tentu saja, aku bertahan hingga sejauh ini karena kamu. Pertanyaan macam apa itu, jangan membuatku cemas!"

Apa dia mulai memikirkan ulang hubungan kami? Dia mungkin ragu padaku. Kenapa begitu? Aku selalu berusaha yang terbaik, apa karena niat awalku yang jelek padanya? Pertanyaan tanpa jawaban terus bergelut dalam kepalaku.

"Mamaku cerita kalau interaksimu dengan Kevin mulai membaik, kemajuan yang sangat tak terprediksi dan relatif singkat, melebihi harapan. Tapi, Kevin mungkin sedikit bergantung padamu sekarang." Rautnya saat ini terasa berbeda, sulit untuk ditebak.

"Jadi, apa masalahnya?"

"Tidak ada. Aku ingin minta maaf karena tak pernah mencoba memahami kesulitanmu beberapa waktu belakangan."

Galih mengajakku keluar dari dalam mobil menuju taman kota. Tangan kirinya mengenggam tangan kananku erat, terasa hangat, nyaman, sekaligus mendebarkan. Pemandangan  mungkin terlihat biasa saja ketika aku melalui jalan ini sendiri, tapi sekarang terasa berbeda seakan taman ini berubah menjadi indah.

"Aku tidak tahu apa ini sesuai seleramu." Galih menghadap padaku meraih tanganku yang lain dan menggenggamkan sebuah kotak kecil. "Kuharap kamu menggunakannya. Terima kasih untuk seluruh kepercayaanmu."

Hari ini kami akhiri dengan senyuman, setelah diajak ke beberapa tempat menyenangkan. Bermain game, makan gratis setelah menang tantangan, lalu hal tak disangka kami berkunjung ke rumah orangtua angkatku. Situasi kami mungkin sedikit canggung, tapi aku senang bertemu dan bersua kembali dengan keluargaku. Tempat dimana aku bisa datang dan kembali, meski tak sehangat yang diharapkan.

Tak seperti dugaan, pukul sembilan malam kami baru tiba. Kevin bahkan telah berada di rumah, duduk di sofa depan televisi sembari memainkan ponsel.

"Kalian terlihat bersenang-senang." Sindir Kevin ketika kami menyapanya.

"Jika kamu mau, kita bisa pergi bersama besok." Ajakku antusias.

"Kamu bisa mengajak Shinta." Susul Galih, sambil merangkul bahuku.

Mendengar nama Shinta pikiranku seakan cerah seketika, akan menyenangkan jika kami pergi berpasangan.

"Untuk apa aku mengajaknya. Aku tidak ingin pergi kemana pun." Kevin mengambil langkah cepat menuju kamar setelah mematikan televisi, sepertinya dia tak berniat menonton dari awal.

"Kurasa besok kita perlu menemui Shinta, dia mungkin tahu sesuatu terutama keseharian Kevin di sekolah." Sikap ini mengingatkan pada obrolanku dengan calon suami Elena sehari sebelumnya, Kevin sedang dalam masalah akhir-akhir ini.

Galih pun setuju dengan saran itu.

****

Sebelum memasuki kamar, aku sempat melirik pintu Kevin yang tertutup. Kalimat Galih yang mengatakan bahwa anak itu mulai bergantung padaku, terasa sedikit menganggu. Kami bahkan sangat jarang berinteraksi, meski perlahan membaik tapi tidak sebaik bayangan orang. Seiring berjalannya waktu, aku sadar bahwa cara untuk memahami Kevin bukan menggunakan kelembutan atau kekerasan, tapi lewat konsistensi.

HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang