11 : Beban

17 3 0
                                    

"Sedang apa kamu disini?" itu pertanyaan pertama yang Bu Alya kemukakan padaku. Aku bahkan bukan kepergok melakukan tindakan perselingkuhan, tapi malah jadi salah tingkah dan ketakutan sendiri.

"Emmm mengunjungi teman Bu. Dia baru melangsungkan pernikahan seminggu lalu di Bali dan baru pulang kemarin, karena aku tidak punya uang untuk datang, jadi sebagai gantinya aku mengunjungi rumah baru mereka sekalian mengucapkan selamat." 

Hebat Tari, hebat! Kamu udah bohong sama orangtua. Batinku mulai menghakimi.

Sejujurnya aku memang punya teman yang baru menikah seminggu lalu, dan katanya baru pulang kemarin. Tapi yang salah adalah, aku tidak datang karena memang tidak di undang. Uh...miris sekali mengakui ini.

"Oh, kalau begitu sekarang kamu mau pulang naik apa?" tanya Bu Alya sambil mengusap punggungku.

"Tadinya mau naik taksi Bu." jawabku jujur.

"Kita pulang sama-sama." kuanggukkan kepala, mengikuti Bu Alya di belakang layaknya anak ayam mengikuti induknya.

Hari ini benar-benar melelahkan.

****

Lima menit lalu aku tiba di rumah, dan yang kulakukan setelahnya justru berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar Kevin. Aku ragu untuk mengetuk, tapi aku khawatir dengan lukanya. Serba salah, kan! Kalau saja kamu bisa berpura-pura tak perduli dan tak selalu ingin tahu. Batinku mulai menghakimi lagi.

Kuketuk pintu perlahan, tak ada sahutan. Kuketuk lebih keras, jawabannya masih sama. Sunyi. Karena tak sabar, kubuka pintu -yang memang selalu tak dikunci itu- dan kamar Kevin kosong. Dia tidak pulang ternyata. Mungkin, dia tak ingin memperlihatkan lukanya, tapi kurasa Galih tetap harus tahu.

"Malam Kevin." ucapku pada pintu kamarnya yang telah tertutup. Sebelum kemudian masuk kamar, merebahkan diri di tempat tidur dan bermimpi menikah di atas kapal pesiar bersama Galih.

****

Pagi ini, aku bangun dengan kesal. Mimpiku semalam malah dipotong potong oleh adegan abstrak saat aku malah dikejar harimau di tengah hutan. Mengerjakan tugas guru paling baik yang tiba-tiba jadi super galak di depan kelas. Lalu gangguan monyet yang malah memakan kue pernikahan lima tingkat kami. Baru aku akan makan sisa si monyet yang entah datang darimana itu, tidurku terganggu oleh suara alarm.

Jam telah menunjuk ke angka enam, aku kesiangan. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku melompat dari atas tempat tidur dan membuka pintu. Kevin mengejutkanku dengan berdiri tepat di depan kamarku. "Sedang apa kamu disini?"

"Biasanya kamu menyapaku. Kenapa sekarang malah bertanya?" kulihat luka di bibirnya telah mengering. Syukurlah tidak separah yang kubayangkan.

"Oh.., pagi Kevin!" sapaku kemudian. Kevin tersenyum tapi malah terlihat menyedihkan. "Kamu baik-baik saja, kan! Apa kamu sakit?"

"Sudah sejak dulu aku sakit, tapi tak pernah ada yang sadar akan hal itu." ucapnya getir. Kuberanikan diri untuk menyentuh dahinya, sama sekali tak panas. Yang aneh adalah, dia tidak menepis tanganku. Apa karena kejadian kemarin malam?

"Kamu membuntutiku, kan! Apa alasanmu melakukan itu?" seketika aku terkejut dengan pertanyaan mendadak Kevin. Dia tahu dan tatapannya itu membuatku tak nyaman.

"Aku hanya khawatir, maaf. Aku tidak pernah berniat mengganggu urusan pribadimu. Tapi, kemarin malam kamu terlihat keren. Melawan hinaan tak selalu harus lewat pukulan, kan." ujarku diiringi tawa hambar bercampur gugup.

Kevin menatap ke lantai untuk waktu yang lama, tak berniat memprotes tindakanku. Kuharap dia mengerti. Untuk beberapa waktu, dia tetap seperti itu hingga aku baru sadar ternyata sejak tadi Kevin menangis.

Kuusap pundaknya halus memberi kekuatan, tanpa sadar mataku mulai berkaca-kaca. Lukanya pasti sangat dalam, seperti yang kuduga sejak awal. Yang mengagetkan, dia menarik lenganku lalu memelukku erat.

Saat aku menoleh, Bu Alya ternyata tengah melihat kami dari kejauhan. Ingin aku mendorong Kevin, tapi kulihat dengan jelas Bu Alya tersenyum lembut diiringi gelengan halus. Apa mungkin beliau melihat semua dari awal? Batinku bertanya-tanya.

Setelah acara berpelukan pagi hari, Kevin masuk kamar dan pergi ke sekolah tanpa kata. Kami hanya saling menatap sekilas di ruang keluarga.

****

"Baru kali ini aku melihat Kevin seperti itu." ungkap Bu Alya tiba-tiba, saat kami tengah duduk santai di teras rumah.

Kukira memang begitu, dia hanya terlihat kuat diluar tapi sangat rapuh di dalam. Sama seperti aku dulu, aku selalu iri pada perhatian yang di dapat saudaraku -anak kandung tentu lebih spesial dibanding anak angkat.

Namun, seiring waktu berjalan, aku memilih menekan ego dan mencoba sadar diri akan statusku sendiri. Setelahnya aku hanya perlu mensyukuri apa yang kudapat dari mereka, yang belum tentu di dapat anak panti asuhan lain. Selama ini mereka telah dengan baik hati menyekolahkanku hingga lulus SMK. Mereka bahkan bukan orangtua kandung yang dengan tega meninggalkanku begitu saja. Bisa saja aku adalah hasil kecelakaan, sama seperti Kevin tapi dimanapun mereka berada sekarang. Aku mendo'akan keduanya bahagia.

"Galih pasti sudah bercerita padamu tentang Kevin." aku mengangguk mengiyakan, "aku sangat menyesali apa yang telah diperbuat oleh Gema. Aku tidak mampu menjadi nenek yang baik untuknya dan Galih tidak dapat berbuat banyak sebagai paman. Aku kira dengan memberi Kevin kebebasan, jarak diantara kami akan lebih berkurang tapi nyatanya tak seperti itu."

Kukira pilihan Bu Alya tidaklah efektif, bukan itu yang Kevin butuhkan. Dia hanya ingin perngakuan dan perhatian dari orang-orang yang menyayanginya. Sikap mereka sekarang lebih terkesan mengabaikan, padahal bukan itu maksud sesungguhnya.

"Kemarin malam, aku mengikuti Kevin. Dia bertemu dengan teman sebayanya dan diejek. Anak itu hanya membalas dengan kata-kata lalu pergi. Tapi dari yang kulihat, dia sangat terluka oleh ucapan pedas itu. Mungkin kemarin adalah batasannya dan dia membutuhkan seseorang untuk berbagi."

"Kalau begitu, jadilah orang itu dan beri Kevin pengertian agar mau menerima kami kembali. Sebenarnya aku sudah sangat lelah dengan keadaan rumah yang dingin." kerutan di wajah Bu Alya menunjukkan rasa lelahnya, gurat kebahagiaan tak pernah terpancar dari wajahnya bahkan sejak pertama kami bertemu di lapangan waktu itu.

Tak ada jawaban selain keengganan, Kevin belum tentu mau menerima keberadaanku dalam lingkup pribadinya setelah kejadian ini. Aku tidak mau ikut campur lebih dalam lagi.

"Kamu tidak bisa?"

^^^^

Kamis, 18 Juli 2019

HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang