10 : Pengintaian

20 2 0
                                    

"Maaf untuk apa?" Harus kupastikan, jika jawabannya tak masuk akal, berarti dia hanya berpura-pura. Sayangnya, ekspresi datar terkesan tak tulus yang dia tunjukkan, seperti membenarkan asumsiku.

"Untuk semua hal, apa pun itu." ungkapnya seusai menarik napas dalam. Tatapannya lurus tepat ke balik mataku, entah apa yang dia pikirkan, tapi seperti tersirat kesungguhan disana.

Sesaat aku terdiam, ingatan akan pembicaraanku dengan Galih mulai berputar kembali. Seakan ada film yang memutar kisah Kevin beserta kepahitan yang mengikuti dirinya sejak dia lahir ke dunia. Perlukah aku berubah pikiran sekarang?

Kevin sudah berbalik berniat pergi, "Kevin!" panggilku cepat. Dia berbalik.

"Aku memaafkanmu. Tapi, bisakah aku tetap disini?" aku akan menyesali permintaan ini. Anggap saja, ini adalah kompensasi atau kesempatan kedua. Dia hanya kesepian, dia hanya sedikit kehilangan arah, dia hanya seorang anak remaja yang masih membutuhkan perhatian, dan penunjuk jalan. Karena, aku tahu rasanya hidup sendirian.

"Terserah saja, ini bahkan bukan rumahku. Yang memiliki hak mengusir hanya nyonya besar." ucap Kevin dingin.

Malamnya kutelpon Galih, membicarakan keputusanku untuk tetap tinggal dan mencoba bertahan. Dia mengungkapkan kesenangannya akan keputusan ini dengan menjanjikanku hadiah. Tapi karena ini aku malah merasa resah. Takut kalau-kalau pilihanku salah.

****

Setelah itu, tak ada lagi pembicaraan apa pun diantara kami hingga esok harinya. Keseharian yang dia jalani masih sama, pergi sekolah dan pulang pada malam hari. Yang berbeda, dia lebih menghargai sapaanku walaupun cuma melalui anggukan singkat.

Sampai pada suatu hari kudengar dia berbicara dengan seseorang, baru saja akan kusapa, dia malah berbalik pergi dengan terburu-buru. Karena rasa penasaran bercampur khawatir, kuikuti dia dengan ojek hingga berhenti di depan sebuah rumah tua. Pagarnya sebagian terlihat telah berkarat. Untuk apa dia datang ke tempat seperti ini?

Langit mulai kelabu, sebentar lagi pasti gelap. Dan...aku mulai merasa takut. Bukannya tempat seperti ini banyak penunggu berkeliaran. Jadi merinding sendiri, ditambah angin yang sesekali menerpa kulit.

Langkah Kevin tak berhenti sampai halaman depan, tapi mulai berputar ke halaman belakang. Sekalipun begitu, tempat ini cukup terawat. Dedaunan kering hanya terlihat beberapa, sedangkan pohon disini lumayan besar dan berdaun lebat. Pasti setiap harinya berserakan guguran daun yang banyak. Apa mungkin, ini semacam tempat persembunyian?

"Akhirnya lo dateng juga!" sebuah suara asing menghentikan seluruh bayanganku.

Layaknya mata-mata, aku bersembunyi dibalik tembok kemudian mengendap-endap hingga dapat bersembunyi di balik pohon besar dekat lokasi Kevin. Terlihat beberapa pemuda berjaket -entah warna apa- tengah bersantai, sedang salah satu diantara mereka berdiri berhadapan dengan Kevin. Mukanya sih keliatan imut, tapi kata-katanya sungguh diluar dugaan.

"Lo berani banget ngehina gue di depan Shinta. Gue tau, lo itu cuman anak haram. Bokap lo gak ngakuin lo kan! Jadi jangan sok hebat deh. Kalo bukan karena Shinta suka sama lo, gak bakalan ada yang mau deket sama lo." suara tawa rendah mulai terdengar.

Napasku seketika tercekat mendengarnya, kalimat itu terlalu menyakitkan. Entah seperti apa ekspresi Kevin saat ini, karena posisiku tepat berada di belakangnya.

"Napa diem? Takut!" pemuda sok imut itu kembali tersenyum sinis. Ah, ingin sekali aku cakar mukanya itu. "Yang dateng kalo ada masalah di sekolah pasti om lo. Menyedihkan."

Kevin masih diam, ada apa dengan anak itu. Seharusnya langsung tonjok aja mukanya, mana mungkin dia tidak perduli. Kalau saja tidak ada orang-orang yang memperhatikan dan siap siaga membantu.

Untuk sesaat aku terpaku, saat melihat Kevin memilih untuk pergi. Dengan langkah pelan dia berjalan menjauhi mereka, bisa kulihat bagaimana kedua tangannya mengepal erat menahan emosi. "Dasar pengecut, lo takut kan!"

Teriakan itu menghentikan langkah Kevin, tapi tak membuat dia berbalik. "Pengecut! Siapa yang pengecut disini, yang sengaja membawa teman-temannya hanya untuk menghina oranglain dan mentertawakannya. Kamu pikir, dengan begini kamu terlihat keren. Kamu lebih terlihat bodoh, Aldo."

Anak itu terlihat mulai emosi, dengan cepat dia menarik pundak Kevin hingga berbalik lalu memukulnya tanpa pemberitahuan hingga sudut bibir Kevin berdarah. Mereka berdiri berhadapan, aku mulai gatal untuk datang diantara mereka tapi kurasa suasana belum seburuk itu. "Terlihat jelas kan, siapa yang pengecut sekarang!"

Aku tersenyum simpul saat mendengar kata-kata itu. Teman-teman si Aldo bahkan tidak bereaksi dan memilih untuk tak ikut campur. "Jika kamu ingin bersaing, bersainglah secara adil. Itu yang laki-laki sejati lakukan."

Kevin menepis cengkraman tangan dari kerah bajunya, meninggalkan Aldo yang telah dipermalukan. Kulihat jelas, ekspresi dingin Kevin saat mengusap darah di bibirnya.

Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang? Mengikutinya pulang dan bersikap tak tahu apa pun atau memberanikan untuk menampakan diri?

Hingga tanpa sadar, aku telah berada di pinggir jalan, Kevin telah menaiki motornya dan pergi. Dan aku tidak tahu jalan pulang karena jalanan terlihat begitu sepi. Sial sekali aku! Jalan besar berada empat puluh meter darisini, terpaksa aku harus jalan kaki terlebih dahulu agar menemukan kendaraan umum.

****

Akhirnya sampai juga, kakiku lumayan pegal. Kuambil ponsel dari dalam saku, sekedar mengecek jam. Ternyata hampir pukul sembilan, Bu Alya pasti khawatir dan Kevin mungkin baru sampai.

Di kejauhan ada taksi yang akan lewat, tak ada pilihan walaupun aku tahu naik taksi itu mahal. Belum sempat kulambaikan tangan, seseorang menepuk halus punggungku.

Aku berbalik dan wajah tak asing mengejutkanku. Kenapa harus disini, alasan apa yang perlu aku katakan nanti!

^^^^

Senin, 15 Juli 2019

HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang