Seperti yang dia janjikan, Galih pulang. Pagi tadi, aku sama sekali tak berpapasan dengan Kevin. Entah dia masih tidur atau telah pergi, yang jelas pintu kamarnya tertutup rapat. Masih ada lain kali untuk menyapa dia.
Bu Alya duduk disampingku dan Galih berada dihadapanku, "Apa mama galak padamu?"
"Tentu saja tidak, dia sangat baik." ungkapku jujur. Aku benar-benar mendapat perlakuan yang baik dari Bu Alya, dia sendiri seringkali mengatakan kalau aku seperti anak perempuan yang tak pernah dia miliki.
Kami mulai berbincang dan tertawa bersama, sampai suara langkah Kevin mengalihkan perhatian kami. Dia berjalan tanpa menoleh atau sekedar menyapa.
"Kevin!" aku tidak tahu apa yang mendorongku memanggilnya. Mungkin karena ucapan temanku, menurutnya cara untuk meluluhkan sifat keras adalah kelembutan. Percuma jika aku membalas Kevin dengan cara sama, karena suasana akan memburuk dan tujuanku takkan tercapai.
Kevin berbalik memandang ke arahku, Bu Alya juga Galih seakan bingung dengan sikapku. "Kamu mau kemana, ayo duduk dulu!"
Aku mencoba meyakinkan Galih atas ajakanku, dia mengangguk. Kuartikan itu sebagai persetujuan. Aku bangkit dan menghampiri Kevin, "Ayo."
Saat aku akan menarik lengannya, dia malah menepis tanganku dengan kasar. "Jangan sok perhatian, kepura-puraanmu itu membuatku muak." kemudian dia berlalu pergi.
Aku terkejut, ya sangat terkejut. Dia membentakkku dengan kalimat yang sangat menusuk. Aku merasa malu sekaligus sakit disaat yang bersamaan. Yang bisa kulakukan hanyalah terpaku di tempat, dengan mata berkaca-kaca. Tak berani memandang ke arah Galih apalagi Bu Alya.
Galih menghampiriku, merangkulku dan mengajakku duduk. Bu Alya mengelus rambutku sesaat lalu pergi. "Maafkan Kevin, dia memang seperti itu."
Aku tak tahu harus berkata apa, aku memang bersikap berlebihan. Kami bahkan baru bertemu dua kali dan pembicaraan diantara kami bisa dihitung dengan jari. Dan lagi, apa sikapku memang seperti yang anak itu katakan?
"Dia belum mengenalmu, begitupun sebaliknya. Bisakah kamu bersabar?" Aku tidak tahu, apa aku sanggup menerima perlakuan lain dari Kevin. Dia terlihat begitu tak menyukaiku.
***
Semalaman aku tidak bisa tidur, kalimat terakhir Galih membuatku berpikir ulang. Jika Galih berusaha keras mempertahankanku, kenapa aku tak bisa. Dia percaya padaku, maka tidak ada salahnya jika aku menjaga kepercayaannya itu.
Hari ini, aku telah berdiri di depan pintu kamar sejak pukul lima pagi. Aku menunggu pintu kamar Kevin terbuka, seperti yang kulakukan kemarin, akan kusapa dia. Tak perduli seberapa kasar dia menolakku.
Ceklek
Pintu terbuka tepat pukul setengah tujuh, kami saling pandang. Kusunggingkan senyuman seperti biasa, "Pagi, Kevin."
Kevin tidak memperdulikanku, dia malah menutup pintu kamarnya dan berlalu. Ya, seperti biasa. Tak ada kesopanan dalam kamusnya jika berhadapan denganku.
Setelah kuperhatikan hingga Kevin pergi, sepertinya dia tidak mengunci pintu. Mungkin dia lupa atau dia tidak pernah mengunci kamarnya. Bagaimana jika aku masuk ke dalam sana, mungkin aku akan menemukan sesuatu. Kelemahannya, mungkin.
Otakku mulai bekerja, memikirkan cara terbaik untuk memasuki kamar itu. Masuk saat Kevin bersekolah adalah pilihan paling tepat, tapi apa Galih tak akan marah? Bagaimana kalau aku ketahuan? Apa aku akan langsung diusir karena dikira maling?
"Tari, sarapan!"
Setengah berlari aku menuju dapur, suara Bu Alya membuatku hampir terpeleset karena karpet yang sedikit tersingkap. Aku berharap bisa sarapan bersama Galih, tapi dia harus bekerja lagi. Kami memang masih bisa berhubungan, hanya saja bertemu langsung lebih...entahlah.
"Apa kamu kurang tidur semalam?" tanya Bu Alya. Sepertinya lingkaran hitam di mataku begitu jelas terlihat, memalukan.
"Tanpa persetujuan Kevin pun, tante setuju dengan hubungan kalian. Kevin bukan siapa-siapa disini, jadi kamu tak perlu khawatir."
'Bukan siapa-siapa?'
Ya, dia hanyalah keponakan Galih. Tapi tanpa persetujuan Kevin, Galih tak akan mau melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius. Itu yang dia katakan padaku dengan sangat tegas beberapa waktu belakangan. Bahkan saat kami berbalas pesan, dia selalu mengingatkanku. Aku yakin, dia ingin melihat seberapa serius perasaanku padanya.
Kalau begitu, aku akan tunggu dia di depan pintu dan menyapanya lagi. Kira-kira semalam apa dia akan pulang. Aku juga ingin tahu, kenapa Bu Alya begitu acuh pada sikap Kevin.
***
Pukul 21:04
Aku sudah pegal berdiri, Kevin belum juga pulang. Hanya untuk menyapa, aku malah merana begini. Apa sih, yang dia lakukan hingga semalam ini. Tidak mungkin, diluar sana dia hanya diam saja. Anak seusianya sangat rentan dengan pergaulan bebas, juga narkoba. Seharusnya Bu Alya lebih memperhatikan pertumbuhan cucunya, bukan hanya Bu Alya tapi orangtuanya juga.
Ada apa dengan keluarga ini? Galih, aku tidak mengerti apa yang perlu aku lakukan? Aku bahkan tak mengerti apa maksudmu dengan memintaku lebih bersabar menghadapi Kevin.
"Siapa yang kamu tunggu?" suara Kevin, dia pulang juga ternyata. Aku menoleh, melihat penampilannya yang telah kusut dari atas sampai ke bawah.
"Malam, Kevin." sikapku sama seperti tadi pagi, begitupula balasan Kevin. Dia tidak perduli.
Saat dia melewatiku tercium bau asap rokok yang cukup menyengat, apa anak ini merokok. Jika iya, Galih harus tahu dan segera menasehati Kevin.
"Kevin!" Kevin berbalik, untung dia mau mendengarku, "Apa kamu merokok?"
"Itu bukan urusanmu." jawaban yang selalu menusuk, dia bahkan membanting pintu tepat dihadapanku. Cara apa lagi yang harus kugunakan? Aku semakin bingung.
^^^^
Aku tunggu apresiasi dari pembaca....
Sampai jumpa di part selanjutnya, hari Jum'at.
Selasa, 21 Mei 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hening
General Fiction'Sudah terlalu banyak rasa sakit yang kuterima, sekali saja aku ingin dicintai dan mencintai seseorang' Dalam sana bagiannya, bagianku bisa saja tergambar jelas jika kamu mau mengerti. Salah satu dialog dalam film mengatakan "...memahami penderitaa...