Dia tetap bergeming, tak mau mengikuti permintaanku. Terpaksa aku yang berdiri menghampirinya, "Aku ingin lebih mengenalmu, aku benar-benar ingin mengenalmu. Bukan hanya karena Galih dan hubungan diantara kami. Aku berharap kamu mau memberiku kesempatan, kita bisa menjadi teman dan kamu boleh memanggilku Tari. Tanpa tante atau kakak atau apa pun itu."
Kami hanya berjarak dua jengkal tapi dia seakan membuat tameng pertahanan berlapis. "Lebih baik cepat pergi dari kamarku, atau kamu ingin kutarik paksa dari sini!"
Dia berteriak dengan nada tinggi, sebagian orang mungkin mendengar. Terpaksa aku melangkah keluar, usahaku gagal lagi. Anak ini amat sangat keras kepala. Apa yang sebenarnya dia mau, kupikir dengan cara ini Kevin mau sedikit berdamai, dan ternyata semua salah total. Dia menolakku dengan telak, aku bukan mengejar cintanya.
Sebelum melangkah melewati pintu, aku berbalik. "Aku tahu kamu butuh seseorang, jika memang orang itu Shinta. Perlakukanlah dia dengan baik, ingatlah kamu lahir dari rahim seorang perempuan."
Hanya itu kata bijak yang tanpa sadar keluar dari mulutku, mungkin inilah yang Galih maksudkan. Dia takut Kevin mengulang kesalahan fatal seperti Gema di masa lalu.
"Kamu jangan sok ikut campur, ini bukan urusanmu." Kevin mendorongku keras hingga punggungku menabrak pintu, kakiku langsung lemas, karena sakit yang berdenyut akibat bagian kanan pinggangku sempat membentur gagang pintu.
Kulihat Kevin seakan terkejut dengan apa yang telah dia lakukan. Sembari menghampiriku, dia terlihat kebingungan harus melakukan apa. Dibalik sakit yang masih terasa, aku tersenyum padanya. "Aku tidak apa-apa."
Dia terdiam, aku yakin dia menyesali perbuatannya. Lalu terdengar suara langkah Bu Alya, dan Kevin memilih masuk ke kamar lalu menutup pintu begitu saja.
***
Seminggu semenjak kejadian itu, Kevin pergi dari rumah. Dia berlaku seakan akulah yang salah, padahal semua yang kulakukan hanya agar kami bisa menjalin pertemanan.
Mengenai insiden di depan pintu, aku sedikit berbohong pada seisi rumah termasuk Galih kalau aku terpeleset. Kukira mereka percaya, karena aku sengaja memperagakan kejadiannya versiku dengan sangat meyakinkan. Ya, walaupun sampai sekarang rasa sakitnya masih terasa kalau aku mau berbaring atau pun duduk.
Saat ini aku telah berada di depan rumah Shinta. Kutekan bel pintu dengan kesal. Ini berkat adu argumen dengan penjaga gerbang, aku tidak diperbolehkan masuk. Karena ulahnya, sakitku jadi bertambah setelah tadi naik ojek. Seharusnya perjuanganku sudah dapat disamakan dengan pejuang zaman penjajahan. Siapa pun patut memberiku tepuk tangan meriah.
Pintu terbuka,
"Cari siapa?" seorang perempuan paruh baya yang kukira asisten rumah tangga berdiri dihadapanku. Wajahnya ramah, dia juga memberiku senyuman hangat, tak seperti penjaga tadi.
"Shinta. Apa dia ada?"
"Shinta belum pulang. Mungkin sebentar lagi. Ada keperluan apa, ya?"
"Ada yang perlu aku tanyakan padanya."
"Mau tunggu di dalam!" Jangan-jangan ibu ini bukan asisten rumah tangga. Aku benar-benar kurang ajar. "Tidak, aku tunggu diluar saja."
"Kalau begitu saya masuk dulu, biar saya ambilkan minuman." kujawab keramahannya dengan senyum. Kedatanganku amat merepotkan, jika bukan karena keingintahuanku akan keberadaan Kevin, pasti aku tak perlu melakukan hal melelahkan seperti ini.
Satu jam berlalu, air minumku telah kosong. Padahal sengaja kuminum sedikit-sedikit, ternyata hingga pukul tiga dia belum pulang juga. Kemana sebenarnya Shinta pergi? Apa dia pergi dengan Kevin? Itu hanya harapanku, semoga saja menjadi kenyataan.
Dan, benar saja. Mereka pulang bersama, Kevin mengantar Shinta sampai halaman rumah. Segera saja, aku sembunyi di belakang tiang.
'Ayo masuk dulu!'
'Mungkin lain kali.'
'Ayolah, orangtuaku sedang tidak ada hari ini. Kita bisa nonton film, atau main game.'
Kevin seperti menimbang-nimbang sebelum kemudian dia mengiyakan ajakan itu. Dia turun dari motor hitamnya, membuka helm dan berjalan ke arahku.
"Hai, lama tak bertemu!" sapaanku sedikit mengejutkan mereka. Aku telah memutus urat maluku karena bersikap sok akrab sekarang.
"Kak Tari, sejak kapan kakak disini? Kenapa tidak di dalam?"
"Ya...sekitar sejam." jawabku jujur, kutatap Kevin yang malah memandang ke arah lain. Shinta malah terlihat seperti tak percaya.
"Ayo masuk, kenapa malah duduk di luar begini. Aku jadi gak enak."
"Tidak usah. Aku kemari hanya untuk bertanya sesuatu, tapi orang yang ingin kutanyakan ada disini." Shinta menoleh memandang Kevin bingung, "Jadi biar aku tanyakan saja secara langsung padanya."
Kevin berbalik berniat pergi, dia pasti malas melihat wajahku tapi dia harus menjelaskan alasannya pergi dari rumah. Belum sempat Kevin menaiki motornya, aku menarik jaket yang dia pakai sekuat tenaga.
"Kenapa kamu pergi? Aku yang jatuh dan kamu yang marah. Apa itu masuk akal!"
Kevin menepis tanganku dari jaketnya dengan kasar. Dia berbalik, menatapku dengan ekspresi yang sulit dimengerti. "Itu hakku,"
"Kedatanganmu itu mengganggu, aku tidak menyukaimu. Sangat amat tidak menyukaimu."
Kalimat terakhir tadi seakan menekankan kalimat pertama yang dia ucapkan. Dengan tegas dia menyatakan kebenciannya padaku, rasanya menyakitkan. Pinggangku langsung ikut sakit, kenapa harus sakit lagi di saat seperti ini?
Kutarik napas dalam, menahan rasa sakit yang semakin menjadi di pinggangku. "Baik, aku mengerti. Mungkin, aku memang pengganggu bagimu,"
Kuhembuskan napas lagi, aku tidak tahu apa yang Shinta pikirkan tentangku. Yang terpenting menyelesaikan masalah, "Aku akan menyerah, seperti yang kamu mau. Tapi, kamu harus pulang. Galih sangat mengkhawatirkanmu. Aku mohon padamu."
"Kamu tak punya kewajiban untuk melakukan itu. Kamu orang asing yang dengan tak tahu malu bersikap seakan kamu bisa dekat denganku. Aku muak dengan segala hal yang sering kamu lakukan. Jika kamu memang ingin menikah dengan pamanku, menikah saja. Itu bukan urusanku."
"Apa pun pendapatmu tentang aku, itu terserah padamu. Aku tidak perduli. Tapi, kamu harus pulang, harus pulang!"
Jadi, inilah akhirnya. Aku menyerah di detik-detik terakhir hanya karena telah tersesat oleh keadaan. Aku benci ini, tapi tak ada pilihan lagi bagiku. Mempertahankan keegoisan hanya akan menyakiti diri sendiri.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah Shinta, aku sudah tak sanggup lagi menahan air mata. Walaupun begitu lambat dan menyakitkan, aku ingin segera menjauh dari sana.
^^^^
30 Juni 2019, Minggu
KAMU SEDANG MEMBACA
Hening
Aktuelle Literatur'Sudah terlalu banyak rasa sakit yang kuterima, sekali saja aku ingin dicintai dan mencintai seseorang' Dalam sana bagiannya, bagianku bisa saja tergambar jelas jika kamu mau mengerti. Salah satu dialog dalam film mengatakan "...memahami penderitaa...