Menjelang malam aku baru tiba, Bu Alya menyambutku dengan pertanyaan mengapa aku terlambat kembali. Raut wajahnya terlihat kuatir, membuatku merasa tak enak.
"Ibu kira kamu diculik," dalam hati ingin sekali aku tertawa tapi kusamarkan dengan senyuman. Bu Alya menarikku duduk di sofa, ekspresinya terlihat serius sekali. "besok ibu harus pergi ke rumah Gema, kamu tidak keberatan kan?"
Ini lebih mengejutkan daripada mendengar Kevin terlibat masalah, "Ada masalah apa, kenapa mendadak?"
"Ini tidak mendadak, ibu sudah biasa datang menemui mereka tiga bulan sekali. Kamu tahu sendiri alasannya, apalagi cucuku disana lama tak bertemu oma-nya." ucap Bu Alya setengah berbisik, aku mengerti dan tak menghalangi dia untuk pergi.
Kevin pun sudah tak asing lagi dengan rutinitas ini dan terlihat acuh, kata Bu Alya kemudian. Entah apa yang di rasakan dalam hatinya, kami berdua pasti memikirkan hal sama.
Esoknya, aku membantu Bu Alya berkemas. Kevin sempat melihat kesibukan kami, tapi dia hanya melenggang tak perduli, menaiki motor dengan celana abu-abu dan jaket hitamnya. Aku belum sempat bertanya tentang masalah yang dia alami kemarin, mungkin hari ini.
****
Binatang malam telah bersuara nyaring, Kevin belum juga kembali ke rumah sejak tadi pagi. Mungkin dia tahu akan kutanyai, atau ada masalah yang terjadi. Hanya pikiran buruk yang beterbangan di kepalaku, udara di luar terasa dingin dan tidak mengenakkan akibat pergantian musim.
Penantianku berakhir ketika pintu terbuka menampakkan Kevin dengan banyak luka memar di wajah, celana abu-abunya pun terlihat kotor. Setengah berlari aku menghampiri, dia malah menghindar dan melangkah menuju kamar.
"Apa yang terjadi?" kuikuti langkahnya dari belakang, hingga dia berbalik dan mendorong bahuku dengan tangan kiri hingga hampir menabrak dinding. "Tolong, jangan campuri urusanku!"
Nada rendah Kevin membuatku merasa ada masalah besar yang anak itu pendam. Aku mendekat lagi, "Ceritakan saja padaku, aku janji akan jaga rahasia. Bagi bebanmu seperti beberapa hari lalu, mungkin aku bisa bantu." bujukku lembut.
"Kamu bukan siapa-siapa, kemarin hanya sebuah kesalahan," ungkapnya tegas, tapi dia tak menatapku langsung. Kugenggam sebelah tangannya meyakinkan, entah kenapa dia tersentak berusaha menjauh.
"Jauhi aku!" Kevin menghempaskan genggamanku lalu menutup pintu kasar, hingga menimbulkan suara gaduh.
Jengkel. Itu yang kurasakan sekarang. Kevin sangat amat keras kepala, aku benci situasi dimana aku harus menghadapi anak kecil yang selalu saja bertingkah. "Kamu tahu, aku bahkan tak mengenal orangtuaku. Sepotong foto pun tak pernah tertinggal untukku ketika mereka menelantarkanku, hingga berakhir di panti asuhan. Kita bukan kesalahan, cukup yakinkan itu. Jika kamu tak mau bercerita padaku, katakanlah pada yang lain. Aku perduli padamu, aku benar-benar perduli padamu!"
Aku berteriak seperti kurang kerjaan, penghuni lain di rumah ini mungkin mendengar ucapanku juga, bahkan sampai Pak Satpam di posnya. Aku menyesal karena menceritakan asal usulku hanya untuk meyakinkan seorang anak kecil, yang bahkan tak menggubris ucapanku. Kamarnya tetap hening, tak ada tanda-tanda pintu akan terbuka.
"Terserah, lakukan apa pun yang kamu mau." Jujur saja aku sangat muak sekarang, kudorong pintu kamarku dan masuk kesana dengan kesal, tapi pintu kututup dengan pelan.
Terlalu kelelahan aku tertidur dan terbangun dini hari karena mimpi buruk. Tenggorokanku kering, tak ada air putih di dalam kamar. Ketika membuka pintu, aku sangat terkejut mendapati tubuh Kevin tergeletak di lantai depan pintu kamar. Wajahnya pucat dengan suhu tubuh yang panas. Sesekali dia mengigau mengucapkan kata maaf entah pada siapa.
Segera aku memberitahu Pak Satpam agar membantuku mengangkat tubuh Kevin ke dalam kamar. Aku mengambil air hangat dan lap untuk mengopres, sekaligus membersihkan dan mengobati beberapa luka di wajahnya.
Jam telah menunjuk angka tujuh, suhu tubuhnya sudah lebih baik terlebih tadi dokter telah datang dan memberikan obat. Aku tak tahu siapa yang menelepon, pasti antara Galih atau Bu Alya. Mereka kukabari semenjak dini hari karena takut terjadi hal tak diinginkan.
Bubur sudah siap, aku sudah terlalu lelah untuk tetap terjaga. Lebih baik istirahat sebentar, tidur sambil duduk agak tak mengenakkan tapi aku tidak bisa pergi meninggalkan Kevin begitu saja.
****
Ada angin menerpa wajahku, tapi anehnya terasa hangat. Ketika kubuka mata samar telihat wajah seseorang, sampai kemudian aku sadar sepenuhnya karena terkejut mendapati wajah Kevin tepat berada di depan wajahku, membuatku kaget dan jatuh dari kursi.
"Apa yang kamu lakukan, membuatku kaget saja!" kuelus pantatku yang terasa sakit. Dia justru terdiam tanpa ekspresi.
"Apa kamu benar-benar perduli padaku?" pertanyaan Kevin yang terdengar begitu datar itu membuatku terpaku, sebelum kemudian merasa ragu akan kata-kataku kemarin.
"Sebagai keluarga, aku tentu perduli." aku bangkit dari dudukku lalu pindah ke ujung tempat tidur mendekati Kevin.
"Aku masih belum bisa percaya." ungkapnya kemudian.
"Itu hakmu," aku mengerti jika memang dia masih tak mau mempercayaiku, setidaknya dia menunjukkan sikap yang lebih baik. Kurasa itu sudah cukup, mengingat proses hubungan diantara kami yang agak sulit.
"Kalau gitu, apa kamu bisa mempercayaiku? Percaya segala hal yang kukatakan sekalipun terasa tak masuk akal?" Tatapannya seakan ingin menegaskan sesuatu.
"Selama ini aku berusaha mempercayaimu, aku tahu kamu tidak seperti yang oranglain pikirkan. Akan kupikirkan alasan lain untuk hal tak masuk akal itu." kusunggingkan senyuman termanis yang kumiliki sembari mengelus kaki Kevin yang tertutup selimut.
Kevin diam saja, tapi sepertinya dia sudah mau lebih berdamai denganku. Rasanya bebanku terangkat sedikit.
"Galih pasti menungguku memberi kabar. Lebih baik kalau aku ambil ponselku, sekalian istirahat." Gumamku.
"Apa yang kamu suka dari dia?" Kevin mengalihkan perhatianku dari ponsel dan Galih, gumamanku terlalu nyaring ternyata.
"Dia baik, tidak pelit, tak pernah protes dengan penampilanku, cukup pengertian, sopan, ramah, dan yang paling penting dia satu-satunya pria yang mau menerimaku walaupun asal usulku tak jelas."
Akhir kata, aku mulai bermelodramatis. Alasan terakhir yang benar-benar meyakinkan aku untuk percaya padanya, kami bahkan tak memiliki kisah cinta berbunga-bunga. Pendekatan kami berjalan sangat biasa, seperti teman atau mungkin seorang kakak. Aku yang lebih dulu mendekatinya seperti kucing mendekati ikan, aku tertarik karena berpikir kalau Galih adalah mangsa, tapi pemikiran itu berubah seiring waktu karena kepribadian hangatnya. Aku benar-benar menyukainya sekarang.
^^^^
Kamis, 25 Juli 2019

KAMU SEDANG MEMBACA
Hening
Ficción General'Sudah terlalu banyak rasa sakit yang kuterima, sekali saja aku ingin dicintai dan mencintai seseorang' Dalam sana bagiannya, bagianku bisa saja tergambar jelas jika kamu mau mengerti. Salah satu dialog dalam film mengatakan "...memahami penderitaa...