17 : Kebencian

25 2 0
                                    

Tok tok tok

Ketukan seseorang menyelamatkanku, karena cukup mengalihkan perhatian Kevin. Sejenak dia masih diam, terlihat ragu, sampai memutuskan membukakan pintu.

Karena terhalang punggung, tubuhku bergeser mencari tahu siapa yang ingin menemui Kevin. Wajah Galih muncul disana, terlihat terkejut begitupula aku.

Apa pendapatnya setelah melihat keberadaanku! Dia tidak boleh berpikir macam-macam. Meski aku sendiri ragu, jika misalnya tanpa sengaja menemukan Galih di kamar adik tiriku, tanpa salah paham. Perumpamaan ini terlalu jauh hampir mustahil, tapi kesalahpahamannya pasti sama.

"Sedang apa kamu disini?" Raut Galih tidak menunjukkan kekesalan atau hal menakutkan seperti bayangan, tapi nada suaranya sedikit berbeda.

"Kami berbicara sedikit, kamu ingin bicara dengan Kevin?" Tanyaku hati-hati, sembari menggeser tubuh ke samping Kevin.

"Ya, kurasa aku perlu membicarakan sesuatu dengannya." Galih masuk dan menarikku keluar dari dalam kamar.

Setelah berdiri di luar, Galih menutup pintu tanpa mengatakan apa-apa. Aku khawatir dia marah.

****

Semenjak sarapan, Galih terus saja diam. Ketika aku memulai pembicaraan, dengan pintar dia bersikap seakan tak mendengar. Kevin yang satu meja bersama kami pun berlaku serupa. Aku jadi penasaran, apa yang terjadi semalam sampai keduanya sepakat mengacuhkanku.

Karena sikap Galih, aku memutuskan pergi sendiri ke rumah Shinta. Sekitar sepuluh menit berlalu, gadis yang kutunggu belum juga kembali dari sekolah, padahal aku berkunjung di jam ketika dia seharusnya telah berada di rumah, mungkin ada kegiatan tambahan.

Lima belas menit kemudian, mobil yang ditumpangi Shinta tiba di pelataran. Melihat keberadaanku, dia justru terlihat tak senang. Aku mungkin sedang bernasib buruk hari ini.

"Maaf mengganggu." Sesalku ketika gadis itu mengambil langkah menuju kursi di depanku.

"Apa yang mau kakak bicarakan?" Shinta jelas enggan memandang ke arahku. Tangan terlipat, dengan tubuh sedikit menyamping berlawanan arah dengan keberadaanku.

"Apa Kevin bersikap berbeda akhir-akhir ini, di sekolah?" Aku melembutkan suaraku. Jawaban dia lebih penting dibanding alasan mengapa gadis itu tiba-tiba tak menyukaiku.

"Dia semakin berubah dari hari ke hari," Shinta terdiam sesaat, "Kakak mestinya tahu apa yang menyebabkan itu. Kalian bahkan serumah! Dalam adat timur, perempuan yang tinggal di rumah orangtua kekasihnya seperti perempuan yang tak tahu aturan. Tapi, aku mencoba memaklumi, karena sebebas apa pun pergaulan kakak, jika tak mengganggu hidupku, bukanlah masalah."

Ucapan dia memang benar, ketika aku mendapat ajakan tinggal disana, aku sendiri kurang yakin. Hubungan kami bahkan belum jelas terikat oleh minimal pertunangan. Kami hanya sepasang kekasih yang  bisa berakhir kapan saja, tapi aku berusaha mengabaikan anggapan masyarakat demi apa yang kuyakini.

Sekarang aku tertohok oleh keterusterangan Shinta, sosoknya yang kulihat beberapa waktu lalu berubah dengan drastis hari ini, dia menunjukkan dengan jelas kebenciannya. Entah karena alasan apa.

Seketika tenggorokan ini terasa kering, kuambil minuman yang tersaji di meja ruang tamu dan meneguknya hingga sisa setengah. Sirup yang terasa manis, berubah menjadi pahit kemudian. Aku tak bisa menikmati perbincangan kami, dia menusukku dengan kata-kata tajam yang tak sesuai dengan penampilan lembutnya.

"Jadi, aku membuat kesalahan. Bisa katakan apa itu?" Rasa takut ketika tuduhan datang tanpa kumengerti jelaslah mengejutkan, perlu alasan untuk dapat memahami situasi tak menyenangkan ini.

Shinta tersenyum sinis, "Apa yang sebenarnya kakak lakukan pada Kevin! Dia sering sekali emosi di sekolah, bahkan tak segan memukul siapa pun yang sedikit saja menyinggungnya."

Salahku! Apa dia masih tak suka dengan keberadaanku, dan melampiaskannya di sekolah? Mungkin aku yang ternyata terlalu keras kepala.

"Jika keberadaanku yang menyebabkan itu, aku akan akan berusaha memperbaikinya."

Shinta mulai kesal, dia bangkit dari duduknya, "Kevin tersentuh oleh perbuatanmu dan mengharapkan lebih. Tapi pengharapannya selalu dihempaskan kenyataan, bahwa hatinya, yang selama ini tertutup begitu rapat, terketuk oleh kekasih Om-nya," Shinta menghembuskan napas lelah, sebelum kemudian melanjutkan.

"..hal yang paling kubenci adalah hari itu, ketika dia meneleponku, dan kami bicara di depan gerbang rumah. Dia terluka karena pukulan namun hanya menceritakan tentang dirimu, dari awal kedatangan hingga sekarang. Dia marah karena tak bisa menggapaimu, tiap kali kakak mengungkapkan kekaguman kakak pada Om Galih atau menjaga jarak, dia jadi mudah tersinggung. Kakak perlu tahu, dia jadi lebih buruk karena mulai menyukaimu."

Rasa terkejutku bahkan mengalahkan rasa pahit yang tiba-tiba datang tadi. Kenapa Shinta bisa berpikir begitu, mungkin saja itu hanya prasangka. Namun, nada rendah penuh kesedihannya ketika melanjutkan argumen, jelas menorehkan kesan buruk. Pikiranku mulai berkelana pada kata-kata yang semestinya tak perlu kupikirkan lagi.

Karena itu tidak mungkin.

****

Aku pulang, Galih tengah duduk di kursi teras sendirian. Tak ingin kulewatkan kesempatan ini untuk menanyakan kejadian kemarin.

"Aku harap kamu tidak pergi ketika aku memilih ikut duduk disini. Aku butuh penjelasan." Ujarku tegas, setelah duduk tepat di depannya.

Galih bungkam, membuatku terkucil tanpa alasan. "Aku menemui Shinta hari ini, dan apa yang kudengar darinya sedikit mengejutkan. Mungkinkah kamu tahu?"

Kembali, hanya keheningan yang menjawab. Ini membuatku putus asa, jalan terakhir untuk tahu yang terjadi mungkin bertanya pada Kevin secara langsung.

Aku bangkit, setelah menghela napas lelah. "Pengakuan Kevin terlalu mengejutkanku, apa kamu tidak memikirkan ini sama sekali?"

"dia memintaku agar membiarkannya untuk mencintai dan dicintai seseorang. Kamu tahu apa maksudnya! Dia menyukaimu dan berharap kamu berpikiran sama. Ini tidak masuk akal, kalian terpaut enam tahun! Dan lagi, sejak kapan..."

Nada suara Galih meninggi, dan menjadi rendah setelahnya. Meski begitu aku sedikit lega karena dia memperlihatkan itu sekarang, tanpa niat menutupi masalah seperti waktu-waktu lalu.

"Mungkin saja, itu hanya emosi sesaat. Dia masih remaja yang labil akan pilihan, kenapa kamu juga harus bersikap begini padaku. Aku harus meluruskan pemikirannya, pemikiranmu dan pikiran semua orang."

"Kamu tahu, aku mulai berpikir untuk benar-benar serius padamu. Tapi semenjak pembicaraan semalam, aku mulai memikirkannya kembali." Ungkap Galih lesu.

Kata-katanya tadi membuatku kehilangan orientasi sesaat, mataku tak bisa menahan air mata lagi. Ini mengecewakan, karena kalimat itu adalah salah satu hal yang tak ingin kudengar darinya. Aku benci perpisahan, terutama dengannya. Ketika aku berharap begitu tinggi dan mulai memikirkan rencana-rencana masa depan.

"Lalu, apa yang harus kulakukan?" Aku mulai putus asa.

"Lakukan saja apa yang menurutmu benar, itu cukup." Galih bangkit dan berlalu, meninggalkanku yang mulai menangis tanpa suara. Rasanya sangat menyesakkan.


^^^^

Rabu, 23 Oktober 2019

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang