05 : Kurang berhasil

18 4 0
                                    

"Boleh juga." Jadi Kevin akan pergi, harus kuikuti. Pasti mereka memberikan dampak buruk pada Kevin. Sayang sekali, aku tidak bisa melihat bagaimana interaksi mereka karena posisi yang kurang pas.

"Nenek kamu tidak marah, kalau kamu pulang malam terus?" suara perempuan yang lain mulai terdengar, aku suka dengan pertanyaan anak itu.

"Dia gak pernah perduli, jadi mana mungkin dia marah." Kenapa Kevin berkata seperti itu, Bu Alya pasti perduli pada cucunya.

"Udahlah, Kevin sendiri yang mau ikut. Jadi bukan salah kita." Pemuda lain kembali bersuara. Huh, pengaruh buruk.

"Hei, kamu liat cewek yang duduk dua meja di seberang kita, sejak tadi dia diperhatikan pengunjung disini. Kayaknya dia cantik." Mati, kalau begini aku bisa ketahuan. Kenapa mereka malah memperhatikanku, keanehan tak seharusnya diperhatikan.

"Samperin gih, Vin!"

Aduh, jantungku rasanya mau copot. Kabur sekarang malah akan mencurigakan. Apa yang perlu aku perbuat?

Deg...deg...deg...deg

"Malas, kita ke rumah Shinta aja." Selamat, aku masih selamat. Keringat dingin sampai menetes dari dahiku melewati dagu.

"Yaiyalah, Kevin gak bakalan  berpaling dari Shinta. Dia kan, pacarnya." Pacar, ternyata anak ini sudah punya pacar. Dasar anak remaja. Secantik apa pacarnya, berita ini malah membuatku makin penasaran. Galih, keponakanmu sudah punya pacar. Mungkin ini alasannya.

Lebih baik kusudahi saja pengintaian ini, aku harus segera keluar dari cafe. Pesanan pun sudah habis. Dengan langkah cepat aku berlalu meninggalkan mereka menuju mobil.

"Bagaimana, non?" Ya, tidak ada yang perlu di khawatirkan. Kepercayaan Galih tidak salah pada anak itu, tapi aku masih ingin mengikutinya sampai dia pulang ke rumah. Jadi lebih baik kutunggu saja dia dan teman-temannya keluar. Aku harus tahu dimana rumah Shinta.

"Tidak ada yang aneh di dalam, nanti kita ikuti Kevin lagi. Bapak perhatikan saja pintunya."

Kukuncir lagi rambutku, rasanya gerah menggerai rambut di cuaca panas. Sepertinya global warming makin parah. Saat ini, tanganku gatal sekali ingin mengirim pesan ke Galih, tapi dia pasti masih sibuk. Mungkin nanti malam.

Mobil kembali melaju setelah melihat Kevin melajukan kendaraannya menjauh dari Cafe. Sayang sekali, aku hanya bisa melihat gerbang yang tinggi saja. Tak bisa masuk, apa yang mereka lakukan disana. Apa mereka teman sekelas, aku benar-benar penasaran dengan sosok Shinta. Info ini pasti mengejutkan Galih.

"Bagaimana non, apa kita pulang saja?" Dari bagian kemudi Pak Parman membalik badan menghadapku karena aku duduk di baris kedua.

"Tidak. Kita tunggu disini sampai Kevin pulang. Bapak tidak masalah, kan?"

"Ah tentu saja tidak. Bapak malah ngerasa jadi detektif dadakan. Kayaknya keren, ya." Pak Parman bisa juga membuat lelucon, aku sampai tak bisa berhenti tertawa karenanya.

****

Ini sudah pukul tujuh malam, beberapa teman Galih bahkan sudah pulang dari tadi. Hanya anak itu yang belum keluar juga, kuperhatikan gerbang hingga pintunya terbuka.

Akhirnya motor Galih keluar juga. Kulihat lagi jam di tanganku, dan angka delapan adalah jawabannya. Kukira dia akan pulang, ternyata dia malah pergi lagi ke tempat lain. Lebih tepatnya ke sebuah rumah sederhana, pagarnya tidak tinggi sehingga aku bisa melihat seorang lelaki seusia Kevin keluar dan mereka masuk bersama.

Menit demi menit berlalu, berganti jam demi jam, Kevin tak keluar juga dari rumah itu. Ini sudah hampir pukul sepuluh. Sebaiknya aku pulang, Pak Parman mungkin sudah sangat bosan dengan pengintaian melelahkan ini.

"Kita pulang saja, Pak."

"Mas Kevin belum keluar, non."

"Sudahlah, kita pulang saja."

Pak Parman tidak membantah, dia menyalakan mesin mobil dan kami pun pulang. Sampai saat ini, aku masih tak mengerti dengan tindakan Kevin, dia tak ingin pulang seakan menghindar dari sesuatu, apa dia ingin menghindariku? Apa sikapku begitu berlebihan di matanya?

Malam ini, akan kutunggu dia di depan pintu sampai dia pulang. Aku ingin bertanya banyak hal.

****

"Tari, bangun Tari, kamu kenapa tidur disini?"

Samar terdengar suara Bu Alya, kenapa beliau bertanya begitu padaku? Seketika aku terkejut, aku pasti ketiduran di depan pintu karena terlalu ngantuk. Apa malam tadi Kevin pulang?

"Kamu tidak apa-apa, kan!" Bu Alya terlihat khawatir melihatku, keadaanku memang amat mengkhawatirkan. Tidur menyandar ke dinding depan pintu kamar, seperti orang pingsan. Sedangkan orang yang kutunggu ternyata baru pulang, menatapku yang masih duduk di lantai.

Menyedihkan. Itu kata paling pas untukku saat ini. Lama-lama aku jadi muak melihat wajah itu, segera aku bangkit tidak mau dia menertawakan kelakuan bodohku.

"Tidak apa, tante. Aku hanya menunggu sesuatu, ternyata malah jadi ketiduran." kutambahkan sedikit senyuman agar mama Galih percaya.

"Ya sudah, tante tunggu di meja makan. Kita sarapan bersama." segera kuanggukkan kepala.

Bu Alya pun berlalu melewati Kevin begitu saja. Keduanya seakan tak saling mengenal. Kali ini aku tak ingin perduli, kepalaku jadi pusing sekarang. Mungkin akibat tidur di lantai yang dingin semalaman.

"Pagi, Kevin!" tak ada senyuman yang bisa kuberikan padanya, dia seharusnya bersyukur aku masih mau menyapanya saat ini. Segera saja kubuka pintu, masuk, dan menutup pintunya rapat.

Dia tak berekspresi apalagi menjawab, aku sudah menduga. Dia anak yang keras kepala. Butuh usaha sangat ekstra untuk menghadapinya. Jika bisa, ingin sekali aku berteriak dan memakinya tapi aku hanya dapat menarik napas sepanjang mungkin.

Pertanyaan yang sempat menggelayut dalam pikiranku tadi malam pudar sudah. Bu Alya saja sudah memberiku lampu hijau. Untuk apa lagi aku terus membebani diri dengan memikirkan anak itu. Jika saja Galih, ah...mungkin belum saatnya.

^^^^

Seharusnya update hari Senin, tapi aku lupa. Sebagai gantinya, hari ini aku update

Selasa, 28 Mei 2019

HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang