15 : Ragu

16 3 0
                                    

Elena mengantarku pulang menggunakan mobilnya, kami mengobrol seakan tak terjadi apa pun, sampai kemudian dia menghentikan mobil di pinggir jalan lalu menangis tertelungkup atas kemudi.

Ini membingungkan sekaligus mengejutkan, Elena tak pernah terlihat menangis seperti itu selama kami saling mengenal. Dia ceria, populer, dan tangguh. Namun tidak malam ini.

Situasi ini sama seperti terhimpit dua orang pria dalam kendaraan umum yang penuh sesak, sangat tak nyaman ingin menghindar. Sayang, aku tidak bisa. Elena adalah orang yang masih bersedia mengingat dan menganggapku teman, meski kami tak terlalu dekat. Tidak pantas, jika aku mengabaikannya.

"Aku merasa bodoh Tar, dia tak pernah sekalipun mencintaiku, tapi tanpa pikir panjang kuterima lamarannya. Orangtua kami saling mengenal, dia hanya membutuhkan status dan koneksi demi ambisinya pada seseorang bernama Gema. Orang yang dia cintai tak pernah berubah hingga kini, itu menyakitkan. Ternyata dia memaksaku membawamu datang adalah demi hal ini. Maaf karena melibatkanmu." Elena terlihat sangat berantakan, mata merah, hidung berair, begitupula tatapan sendunya ketika memandangku. Terlihat jelas bagaimana dia menyesal akan pertemuanku dengan calon suaminya.

Sejak masuk sebagai calon yang dikenalkan Galih pada keluarganya, aku sudah mulai terlibat. Hari demi hari terasa lebih rumit ketika aku mencoba mengenal dan memahami keluarga itu.

Seiring waktu, aku selalu meyakinkan diri bahwa hanya karena masalah ini perasaanku tak boleh berubah. Dia yang selama ini mendukungku, aku tak bisa melepaskannya.

"Aku yang mengambil pilihan maka inilah konsekuensi yang harus kuterima. Kamu tidak perlu merasa menyesal." Elena terdiam sembari menatapku, entah apa yang dia pikirkan. Yang pasti, dia berharap aku dan Galih datang bersama.

****

Suasana rumah hening, lampu kamar sebagian sudah mati. Begitupula ruang tengah, aku sudah berpesan pada satpam bahwa aku akan kembali sedikit larut. Jadi, tanpa perlu berlama menunggu, pintu gerbang langsung dibuka ketika aku tiba.

"Rumah sepi sekali Pa, apa Kevin tidak pulang?" Pa Didi menoleh ke arah rumah, lalu memandangku.

"Baru saja. Motornya langsung masuk garasi."

"Oh, makasih Pa."

Pa Didi sangat ramah, usianya mungkin hampir sama dengan Bu Alya. Selama Bu Alya pergi, Pa Didi yang sering mengobrol denganku ketika senggang.

Berdasarkan info yang kudengar dari Pa Parman, Pa Didi telah bekerja jauh sebelum Kevin lahir, sedikit banyak dia pasti tahu apa yang terjadi dalam keluarga mereka. Meski begitu, bagaimana pun aku berusaha mencari informasi, tak ada yang kudapat.

Setelah memasuki rumah dan mengunci pintu, lampu ruangan menyala. Kevin berdiri di dekat saklar menatapku dingin. Jujur saja, hari ini aku lelah. Berhadapan dengan Kevin dalam suasana hati yang buruk seperti itu hanya akan membuatku semakin tertekan.

"Malam Kevin! Kamu belum tidur?" Seperti biasa, aku berusaha sebaik mungkin menyapanya.

"Seharusnya aku yang bertanya, darimana kamu baru kembali semalam ini?" Kevin melangkah mendekat dengan sekaleng soda di tangan.

"Ada seorang teman memintaku berkunjung, dia akan menikah dalam waktu dekat. Sudah lama sejak terakhir kali kami bertemu. Kamu sendiri baru pulang kan! Lebih baik istirahat, tidak baik minum soda malam-malam."

Ya, mengenai sekolah dan tingkahnya akhir-akhir ini, mungkin bisa kutanyakan besok. Aku takut tersulut emosi dan menghancurkan segalanya. Terlalu banyak hal yang perlu ditanyakan dan sekarang bukanlah saat tepat.

"Apa kamu benar-benar tak mengenal orangtua kandungmu?" Nada suara itu lambat dan penuh keraguan.

Pertanyaan tiba-tiba ini membuatku tersentak, dia mengingat apa yang kukatakan beberapa hari lalu dan membahasnya sekarang. "Aku tidak mengenal mereka dan tak berkeinginan mengusik mereka. Hidup seperti ini sudah cukup untukku. Aku merasa bahagia, dengan pilihan itu."

Lama Kevin diam, aku pun melanjutkan. "Aku tidak benar-benar mengerti apa yang kamu rasakan, kita terluka oleh kasus berbeda. Tapi, bisakah kamu mengambil pilihan sepertiku, mengabaikan pendapat orang dan mengambil jalan sendiri? Aku percaya bahwa rasa sakit akan menjadi kekuatan bagimu di masa depan."

Kevin menatapku sangat lama tanpa kata, aku tak tahu apa yang dia pikirkan. Semoga saja ucapanku tersampaikan dengan baik. "Sudah malam, aku tidur lebih dulu. Jangan begadang."

Aku berlalu sedang Kevin masih bergeming, mungkin ada hal lain yang ingin dia katakan. Sayang sekali, aku sangat butuh istirahat saat ini.

****

Pagi sekali aku terkejut mendapati Galih duduk dengan santai di meja makan. Aku merindukannya, sangat merindukannya, pertemuan dengan calon suami Elena membuatku ingin mengadu banyak hal.

"Kamu terlihat lelah?" Galih mengelus rambutku lembut ketika aku duduk di sampingnya. Kami mengambil makanan bersama setelah saling pandang sesaat diakhiri senyuman.

"Kita perlu bicara setelah ini."

"Ya." Galih merangkul bahuku, menghangatkan hatiku dengan pelukan ringan. Terasa nyaman, namun hanya sesaat sebelum dia melepaskan diri untuk mulai makan.

Kevin muncul beberapa menit kemudian, tas tersampir di bahu kirinya. Tanpa kami duga, dia ikut duduk bersama di meja makan, mengambil menu sama dan menyantap itu tanpa kata.

"Kamu baik-baik saja?" Aku merasa khawatir. Menurut cerita orang, seseorang yang akan mati seringkali melakukan hal tak biasa.

Kevin menoleh menatapku lama, beralih sesaat pada Galih. "Apa aku terlihat tak sehat!"

"Jika ada masalah, bicara padaku. Ya!"

Kevin tak menanggapi, setelah makanan habis dia berlalu.

"Tidak terjadi hal tak diinginkan, kan?" Galih mulai bertanya.

"Tidak ada, kemarin aku di undang berkunjung ke rumah Elena. Dia teman sekolahku ketika SMP. Di sana aku bertemu calon suaminya.  Yang membuatku tak nyaman, calon Elena tak menyukai keluargamu terutama Gema. Dia ingin membalas perbuatan Gema di masa lalu, pada Ibu Kevin."

"Dia memiliki alasan. Wajar, jika dia membenci kami, aku pun membenci orang yang sama."

"Sampai kapan kamu akan tinggal?"

"Sepertinya sampai mamaku kembali. Ada sesuatu yang harus kulakukan."

Itu artinya sekitar satu atau dua hari, cukup banyak waktu bagi kami untuk bepergian bersama. Tapi, urusan apa yang harus dia lakukan?



@@@

Minggu, 6 Oktober 2019

HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang