12 : Berbeda

14 2 0
                                    

Malam ini aku tak bisa tidur hanya karena memikirkan permintaan Bu Alya. Dan lagi, Galih bahkan tak menghubungiku atau sekedar mengirim pesan. Sesibuk apa dia sampai melupakanku, kemarin saja dia menjanjikan hadiah, tapi sekarang malah menghilang tanpa kabar.

Tok tok tok

Siapa yang malam-malam mengetuk pintu, apa Galih mau ngasih aku kejutan! Tepat pukul dua belas malam, seperti yang sering aku tonton di tv. Penuh semangat kubuka pintu setelah berkaca sebentar takut ada kotoran mata atau wajahku terlihat kacau.

"Ga...Kevin?" Baru saja akan kusapa, ternyata yang berdiri disana bukan dia. "Oh, malam Kevin!"

"Apa kamu menunggu Galih?" tanya Kevin datar.

"Kamu baru pulang?" tak punya alasan untuk menjawab, aku pun bertanya.

"Boleh aku pinjam ponselmu?" pertanyaan lagi, pembicaraan apa ini.

Ponsel. Untuk apa? Tapi aku tetap memberikannya. Dia sibuk untuk beberapa waktu, hingga kemudian suara getaran ponsel terdengar samar.

"Kukembalikan." Kevin mengembalikan ponselku dengan kasar lalu berbalik pergi menuju kamar dan menutup pintu tanpa menoleh. 'Ada apa dengan anak itu, sepertinya dia mulai gila.'

****

Pagi ini, aku mendapat telepon mendadak dari Galih. Dia memintaku datang ke salah satu restoran cepat saji di dekat rumah. Penuh semangat, aku berdandan maksimal dengan memakai baju baru motif horizontal perpaduan biru dan putih.

Saat kakiku menjejak restoran yang dimaksud, Galih telah menungguku di salah satu meja dekat dinding kaca. "Nunggu lama?"

"Tidak, kamu selalu tepat waktu. Hari ini kamu terlihat cantik." pujian Galih terasa begitu tulus, aku sampai tersipu. Pipiku bahkan terasa memanas seketika, "sebenarnya aku ingin memberikan kejutan padamu."

Galih merogoh sesuatu dari saku celananya, ternyata dia hanya mengambil ponsel. Kukira dia akan memberiku sesuatu yang spesial seperti cincin atau kalung, ternyata dia malah menerima panggilan masuk. Harapanku dijatuhkan begitu tepat sasaran, membuatku malu sendiri.

Untuk sesaat, aku hanya bisa memperhatikan sekitar dengan malas. Hingga tatapanku tertuju pada salah satu meja, sosok disana seperti Kevin. "Apa yang kamu lihat?"

"Aku tidak salah lihat, itu Kevin kan!" Galih ikut melihat ke arah yang ditunjuk, dan dia pun membenarkan. Tapi, belum senpat menyapa, dia justru pergi tanpa sekedar tersenyum.

"Menurutmu apa yang sedang dia lakukan disini?" pertanyaan Galih kujawab dengan mengendikkan bahu.

****

Galih memberitahuku kalau dia akan pergi ke luar pulau karena tugas kantor, mungkin sekitar dua minggu yang otomatis kami tak bisa bertemu seperti biasanya. 'Sudah cuma ketemu seminggu sekali, sekarang malah makin parah.'

Sebelum pergi, dia memberiku jepit rambut. Bentuknya seperti rose, dihiasi batu kecil berkilauan. Cantik, tapi terasa kekanakan. Benar kata orang, apa yang diinginkan belum tentu sesuai harapan.

Saat Galih kembali pada rutinitas penuh kesibukannya, aku memilih berjalan-jalan keluar di sore hari yang cerah ini, memamerkan jepitan dari Galih beberapa hari lalu. Baru saja kulewati gerbang, terlihat motor Kevin masuk. Untung saja keberadaanku tak terlihat. Kali ini saja, aku ingin duduk sendirian tanpa perlu diketahui siapa pun.

Langkahku terhenti di depan sekumpulan siswa bercelana abu-abu tengah duduk santai di atas motor, "Mau kemana kakak cantik!" goda salah satu dari mereka.

Jika boleh jujur godaan mereka membuatku bertanya pada diri sendiri, apa ucapan itu adalah kebenaran, tapi ketika mengingat umur mereka aku sadar kalau sudah jelas semua hanya kebohongan. "Sedang apa kalian disini, bukannya pulang kerumah!"

Layaknya seorang guru aku mulai berlaku dengan memberi nasehat, tapi mereka hanya diam kemudian setelahnya tertawa. Lebih pas disebutkan kalau mereka mulai mengejek, "Diam disini tanpa kegiatan hanya membuang waktu, pasti kalian tidak minta ijin dulu pada orangtua kalian, ya!"

"Uh, ganggu aja nih. Gak pernah muda, ya!" gerutu salah satu dari mereka.

"Kita pergi aja deh dari sini, ada mak lampir." susul yang lain.

Mereka segera menaiki motor masing-masing, membuat suara bising, meninggalkan asap mengepul penuh polusi hingga membuatku terbatuk. Rasanya jengkel sekali tapi mau apa lagi, satu lawan banyak malah aku yang kena nanti.

"Sebagai salah satu dari mereka, saya minta maaf." suara itu membuatku sadar, masih tersisa satu orang yang memiliki rasa sopan santun.

"Bukan masalah, lebih baik kamu juga segera pulang. Jangan sampai terbawa pergaulan, sayang sama masa depan." nasihatku lagi, kadang aku sendiri kesal menerima nasihat tapi dia terlihat santai saja.

Lama dia terdiam tanpa mengatakan apa-apa dan terlihat belum berniat pergi, "Kakak tinggal bersama Kevin?" tanyanya tiba-tiba.

"Kamu salah satu temannya, ya!" tebakku cepat.

Sesaat dia mengiyakan lalu kemudian melanjutkan, "...tapi hubungan kami tak sebaik dulu. Dia menjauh perlahan tanpa penjelasan. Beberapa hari belakangan beredar berita buruk di sekolah, kalau dia terlibat pemukulan dengan siswa sekolah lain. Dia berulangkali dipanggil guru, apa kakak tahu itu?" aku agak terkejut mendengarnya, hanya saja cahaya jingga dari ufuk barat menyadarkanku untuk segera kembali.

"Akan kucoba bicara dengan Kevin, tapi aku tidak dapat menjamin apa pun."

Pemuda itu mengangguk mengerti lalu pergi setelah berpamitan dan menawariku tumpangan gratis sampai depan gerbang rumah tapi segera saja kutolak dengan alasan ingin menikmati pemandangan.

^^^^

Selasa, 23 Juli 2019

HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang