Aku tak sanggup lagi berjalan, kuhentikan langkah dan duduk di pinggir trotoar sambil memegangi pinggangku yang terasa sakit.
Seperti anak kecil, aku menangis terisak di pinggir jalan. Orang-orang memandangku aneh, mereka sama sekali tak mengerti apa yang kurasakan. Hatiku sakit, dadaku terasa sesak. Aku bingung, penjelasan apa yang perlu kukemukakan pada Galih saat aku memutuskan untuk mengakhiri segalanya.
Disaat seperti ini, ponselku malah bergetar. Tertera nama Galih disana, aku hanya mampu menatap tanpa berani mengangkat. Rasanya semua jadi begitu menyesakkan. Hingga ponselku berhenti bergetar.
Petang menjelang, aku masih tak bisa pergi. Jika bisa aku memang tak ingin pergi, aku ingin mengulang kejadian tadi. Untuk pertama kali, aku ingin bersikap egois. Bagaimana bisa aku sanggup mengakhiri hubunganku dengan Galih begitu saja. Ini tidak adil bagiku, Kevin bahkan tak perduli apakah aku akan menikah dengan pamannya atau tidak.
Dia hanya ingin aku pergi, tapi apa Galih akan melupakan prinsipnya tentang Kevin. Ah, sekarang kepalaku yang jadi pusing. Galih, apa yang harus kulakukan!
"Hei!"
Seruan tak asing membuatku mendongak, Kevin berdiri di depanku terlihat kesal. Seharusnya aku yang seperti itu. Bukan malah sebaliknya.
"Ayo pulang!"
"Ya, aku mengerti. Aku akan pulang, aku akan segera mengemasi barangku." aku pun berdiri dengan yakin. Sesekali melihat kanan-kiri menunggu kendaraan umum yang lewat.
Kevin duduk diatas motornya, entah apa yang dia lakukan sehingga dia masih betah disana. Dia pasti tak percaya ucapanku.
Hari makin gelap, penerangan jalan mulai dinyalakan. Masalahku bukan lagi tentang Kevin, tapi kendaraan umum yang kutunggu ternyata tak lewat juga, jam di tanganku bahkan sudah menunjuk ke angka delapan.
Kulirik Kevin yang masih berada di tempatnya sejak tadi. Sekarang aku mengerti apa maksudnya, dia pasti tahu tidak ada kendaraan umum yang lewat ke jalan ini.
"Apa kamu tahu kemana kendaraan umum jam segini?"
"Tidak ada kendaraan umum. Hanya ada pagi dan jam pulang sekolah. Setelah itu tak ada lagi selain ojek, itu pun beroperasi hanya sampai pukul setengah enam."
"Kalau kamu tahu, kenapa tidak bilang!" seruku setengah tak percaya bercampur kesal.
"Kamu tidak bertanya." jawabnya enteng.
'Dasar anak kurang ajar,' umpatku dalam hati. 'Jadi sejak tadi dia sengaja mengerjaiku. Dia pasti tengah tertawa bahagia melihat kebodohanku saat ini!'
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
"Apa aku boleh menumpang, kita searah kan!" berkat kejadian ini, aku mesti menekan urat maluku.
"Terserah saja. Kalau begitu, ayo naik dan kita pulang."
Terpaksa, jalan pulangku memang hanya Kevin. Walaupun agak malas naik motor dalam keadaan pinggangku yang masih sakit. Diatas motor pun aku hanya bisa duduk dengan tegak sekaligus kaku, membuat keadaan pinggangku semakin tertekan apalagi kalau ada guncangan. Sepertinya harus kukompres lagi lukanya setelah ini.
"Ini sudah terlalu malam, bisa beri aku keringanan untuk pulang besok?" tanyaku mengawali pembicaraan.
"Terserah saja."
"Bisa kamu katakan, kenapa kamu selalu merusak hubungan Galih. Apa yang salah darinya?"
"Dia tidak salah. Mereka saja yang menyebalkan."
"Maksudnya?"
Kevin tak menjawab, artinya aku tak boleh bertanya lagi. Pikiranku pun teralih pada Galih, dia menelponku berkali-kali tapi tak kuangkat. Dia pasti sangat khawatir, apalagi dengan sengaja aku mematikan ponselku.
****
Kami pulang bersama, Bu Alya terlihat terkejut. Aku sendiri terkejut, Kevin mau mengatarkanku pulang mungkin kepalanya terbentur di perjalanan atau Shinta menasehatinya. Alasan terakhir terdengar lebih masuk akal, tapi sudah pasti semua tidak akan merubah keputusannya mengusirku. Pintar sekali dia.
Di depan pintu kamar aku berbalik, beruntung dia belum menutup pintu. "Kevin!"
Kevin berbalik menatapku tanpa ekspresi, terkesan malas. "Sejujurnya aku ingin sekali menjalin hubungan baik denganmu. Terlepas dari rasa tak sukamu padaku, aku berharap kita bisa menjalin pertemanan."
Ucapanku seperti angin sepoi, hanya lewat sesaat dan tak terasa apa pun. Dia selalu begitu, tak pernah sekalipun berpikir akan apa yang kurasakan.
Merasa tak ada yang akan kukatakan lagi, Kevin menutup pintu kamarnya. "Selamat malam, Kevin. Sampai jumpa besok!"
****
Kamu yakin! Kenapa mendadak, apa karena Kevin?
Kurasa ini yang terbaik. Jika kamu ingin mengakhirinya, aku tidak akan mempermasalahkan keputusanmu.
Tidak.
Maksudmu?
Sejujurnya, dengan atau tanpa persetujuan Kevin aku tetap akan melanjutkan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius. Jadi batas kesabaranmu berakhir disini. Kurasa, kamu jauh lebih baik daripada mereka.
Kamu tidak bercanda, kan!
Jadi tidak suka?
Tentu saja suka, aku udah benar-benar putus asa tadi. Aku bahkan nangis terus semalaman karena ini. Kamu keterlaluan, Galih.
Ha ha ha ha maaf sayang. Kamu mau apa dong?
Kamu harus bawa sesuatu yang spesial saat nanti kita ketemu.
Oke
Hubungan telepon diputus, tanpa dapat kutahan senyum aneh mulai muncul di wajahku. Melihat barangku yang telah di kemas dalam tas, tak membuatku sedih. Sekarang aku lega, dengan langkah ringan aku bisa pergi dari sini.
Tok tok tok
"Ah, sebentar bu." sepertinya Bu Alya sudah tak sabar menungguku di meja makan. Sekarang sudah saatnya sarapan, sekaligus menjelaskan kalau aku akan pergi dari rumah ini.
Kubuka pintu, aku dikejutkan dengan keberadaan Kevin. Dia berdiri kaku disana, tanpa berani memandang ke arahku. Rambutnya berantakan seperti baru terkena angin tornado.
"Tanpa perlu diingatkan, aku sudah mengemas tasku." kuperlihatkan tasku yang telah rapi di atas tempat tidur. Aku tak memiliki beban lagi, melihatnya bahkan seperti memberiku cahaya karena tak perlu lagi lelah batin hanya demi persetujuan.
"Maaf."
Untuk beberapa saat aku cukup terpaku, bisa saja ini salah dengar! Agak tak masuk akal seorang Kevin meminta maaf, untuk apa? Apa mungkin, dia menyesal atas perlakuannya kemarin? Atau, jangan-jangan...dia mau mengerjaiku setelah ini. Aku harus hati-hati.
^^^^
Kamis, 4 Juli 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Hening
General Fiction'Sudah terlalu banyak rasa sakit yang kuterima, sekali saja aku ingin dicintai dan mencintai seseorang' Dalam sana bagiannya, bagianku bisa saja tergambar jelas jika kamu mau mengerti. Salah satu dialog dalam film mengatakan "...memahami penderitaa...