06 : Pertemuan Pertama

23 4 0
                                        

Waktu pun berlalu, kegiatan pagi dan malamku masih sama. Menyapa Kevin yang terus mengacuhkanku. Setelah pengintaian beberapa hari lalu aku tak lagi mau melakukannya.

Hari ini Galih pulang, cuma dia penyemangatku. Melihat keberadaannya di ambang pintu membuatku amat bahagia, tanpa sungkan aku merangkul lengannya erat menumpahkan semua beban yang beberapa hari belakangan kutahan. Galih membalas dengan usapan lembut di rambut seperti biasa, untuk sesaat kami terus seperti ini hingga Bu Alya berdehem.

Aku tidak sadar kalau Bu Alya ternyata ada disana. Kevin sudah pergi sejak pagi, entah kegiatan apa yang akan dia lakukan. Biarlah dia melakukan apa yang dia mau, dia sendiri yang rugi.

Kami duduk bertiga, seperti minggu lalu kami mulai berbincang banyak hal. Kemudian Bu Alya pergi, memberiku ruang untuk berbicara dengan Galih.

"Bagaimana misimu, apa berjalan dengan baik? Kamu tidak pernah membicarakannya." Galih mulai bertanya setengah menggoda.

"Aku tidak tahu, aku mulai merasa putus asa sekarang. Sebenarnya sikap seperti apa yang mesti kutunjukkan. Setiap dia berangkat sekolah dan pulang ke rumah, aku selalu menyapanya. Kami pernah saling bicara tapi dia menyebutku 'kamu' bukan tante atau kakak."

Galih tersenyum, "Kevin memang seperti itu, dia tidak pernah memanggilku om. Dia memanggilku dengan nama langsung."

Agak terkejut, tak kusangka Kevin 'sesopan' itu. "Apa dia pernah tinggal di luar negeri?"

Galih menggeleng, "Mungkin, dia lebih nyaman memanggilku begitu."

Seharusnya Galih mengerti, sikap sopan adalah hal yang penting. Kenapa dia malah membela Kevin. "Aku kira Kevin sudah punya pacar, aku mendengarnya waktu pengintaian kemarin."

"Oh ya, tapi kurasa Kevin tidak punya pacar." dia bahkan terlihat tak terkejut mendengar berita ini.

Galih membalas ucapanku seakan dia tahu segala hal, mungkin saja Kevin tak seperti bayangannya. "Kenapa kamu bisa tahu?"

"Kevin pernah berjanji padaku kalau dia akan memberitahuku jika dia sudah menemukan gadis yang dia sukai. Dia bukan anak yang suka ingkar janji, mungkin itu hanya gosip." ucapnya yakin.

"Sepertinya kalian akrab, kenapa kamu tidak membantuku membujuknya?" pancingku penuh harap.

"Aku ingin kamu berusaha. Kami memiliki sifat yang tak jauh berbeda, jika aku marah sikapku akan berubah dingin. Jika kamu tidak bisa bersabar, pada akhirnya mungkin hubungan kita tak akan bertahan lama. Aku tidak mau itu terjadi."

Jadi ini alasan Galih begitu teguh mempertahankan keyakinannya tentang Kevin. Ini seperti tantangan seberapa kuat mentalku, mungkin saja Kevin berpura-pura bersikap dingin hanya untuk mengujiku.

"Tapi kenapa Kevin tak pernah menemuimu setiap kamu pulang?"

Sesaat, ekspresi Galih sedikit berubah seakan menyembunyikan sesuatu. Berprasangka bukanlah keahlianku, prediksiku sering kali salah. Salah kaprah tepatnya.

"Dia akan menemuiku saat tak ada siapa pun di dekatku. Dia tidak nyaman bersama orang asing."

Baiklah, aku mengerti. Kevin mungkin merasa tak nyaman dengan keberadaanku, karena aku hanyalah orang asing. Aku tidak boleh menjadi orang asing terus menerus, aku akan menjadi tantenya. Kamu tidak tahu betapa tangguhnya calon tantemu ini, Kevin.

"Lalu, kenapa Kevin tidak tinggal bersama ayahnya?" Galih terdiam, senyumnya memudar. Apa aku salah menanyakan sesuatu?

"Kukira pertanyaan itu hanya Kevin yang bisa menjawabnya. Sudahlah, bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan. Kamu mau?"

Tentu saja aku mau, dengan senang hati kuterima ajakan Galih. Aku akan berdandan secantik mungkin, walaupun Galih sering bilang penampilanku tetap tidak berubah sekalipun menggunakan baju baru. Entah itu pujian atau hinaan, aku lebih suka dia jujur. Daripada dia memujiku habis-habisan tapi semuanya hanyalah kebohongan.

****

Tak pernah kukira kalau Galih akan membawaku ke cafe yang waktu itu kudatangi. Entah kebetulan atau memang ini harus terjadi, Kevin juga tengah berada di cafe yang kami kunjungi. Dia hanya berdua dengan seorang gadis. Cantik, adalah kesan pertama yang kulihat darinya, kulit putih, rambut panjang. Aku belum pernah melihatnya, mungkin dialah Shinta.

Galih menarik tanganku menghampiri meja mereka, "Bagaimana kalau Kevin merasa tak nyaman. Lebih baik kita duduk di meja yang lain saja." bisikku enggan sembari menahan lengan Galih ketika dia berniat bangkit dari kursi.

"Aku hanya penasaran siapa gadis itu, setelah ini kita akan pindah. Hanya sebentar." bujuk Galih, tangannya yang lain mengelus genggaman tanganku.

Aku luluh karena tak tega melihat tatapan memohonnya. Jujur saja aku merasa sangat tak nyaman berlama-lama melihat wajah Kevin. Dia sering menatapku dengan pandangan yang sulit kuartikan, terutama setelah kejadian ketiduran di depan pintu beberapa hari lalu.

"Kevin, tak kusangka kita bisa bertemu disini. Boleh kami ikut duduk?" Galih tengah beramah tamah, aku memilih diam dan ikut duduk.

Kevin bersikap sangat buruk, dia malah memalingkan muka. Ingin sekali kuacak-acak wajahnya saat ini. "Boleh kok, silahkan duduk kak!"

Untung saja gadis yang kuduga pacarnya ini ramah, kalau sama juteknya. Bagaimana anak mereka nanti. Oh, pikiranku mulai kejauhan. "Kakak mengenal Kevin?"

Kami duduk berhadapan, Kevin tetap bergeming. Padahal tepat dihadapannya adalah Galih, pamannya sendiri. Dengan ramah dibalas senyuman gadis manis dihadapanku, dia sangat sopan. Syukurlah.

"Aku om Kevin," gadis itu terlihat terkejut, tanpa sadar dia menoleh menatap Kevin seakan meminta penjelasan. "Dia mungkin belum sempat memberitahumu. Aku Galih. Kamu boleh memanggilku Om Galih tapi Kak Galih juga boleh."

Hei, apa Galih mau menggoda pacar keponakannya sendiri. Senyuman hangat yang dia berikan untuk gadis itu membuatku cemburu, seharusnya dia sadar kalau aku masih disini.

"Saya Shanti, Om. Kami...teman." kata terakhirnya terdengar meragukan di telingaku.

"Gadis disampingku ini, dia adalah calon tante Kevin." aku tersanjung, Galih memperkenalkan siapa aku dengan begitu meyakinkan. Dugaanku salah, dia tidak berniat menggoda Shanti. Tadi hanya keramahan yang bisa dia tunjukkan pada semua orang.

"Aku Mentari, kamu boleh panggil aku Kak Tari. Tante Tari juga boleh." Kulirik Galih sambil tersenyum malu, ternyata dia memperhatikan apa yang kuucapkan. Ah, pipiku jadi terasa panas sekarang.

Kualihkan saja pandanganku, aku pasti terlihat memalukan dihadapan calon keponakan. Tanpa sengaja mataku tertuju ke arah Kevin, terlihat sangat jelas ketidaksukaannya padaku.

"Aku tidak lupa janjimu, lain kali perkenalkan dia secara resmi pada kami." ucapan Galih terdengar tegas. Baru kali ini dia begitu tegas sekaligus dingin dihadapanku, saat ini Galih seperti seorang ayah yang memberikan peringatan pada putranya.

^^^^

Jum'at, 31 Mei 2019

HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang