02 : Permulaan

40 4 0
                                    

"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Galih, setelah mengetahui aku diam saja. Aku bahkan tak sadar kalau kami sudah sampai di depan rumah Bu Alya. Ini kali keduaku kemari. Jika bisa, aku ingin tetap berada di dalam mobil.

"Ah, tidak. Aku senang bertemu dengan keponakanmu." terpaksa aku berbohong, walaupun karena itu Galih tersenyum lega. Tanpa sadar rasa takutku muncul.

Seperti pembicaraan kami waktu itu, aku akan tinggal bersama mereka untuk mendekatkan diri dengan keponakan, sekaligus calon mertua. Bu Alya terlihat tak masalah, tapi Kevin...pertemuan dua hari lalu cukup membuatku pesimis, dia amat jelas menunjukkan ketidaksukaannya.

Orangtua angkatku setuju dengan usulan Bu Alya, untuk tinggal sementara di rumah Galih. Sudah jelas, karena mereka ingin aku segera angkat kaki. Beberapa waktu belakangan, mereka semakin uring-uringan saat tahu aku menjadi pengangguran karena di pecat.

Dulu, mungkin aku mendekati Galih karena status juga ketidaksengajaan. Tapi sekarang, aku malah tak bisa melepasnya lagi. Dia terlalu baik untuk diabaikan. Bukan karena uang yang dia miliki, bukan juga karena apa yang telah dia berikan padaku. Dia tulus, aku percaya itu.

Selama ini, dia sudah seperti ayah, kakak, juga ibu untuk. Darinya aku merasa mendapatkan kasih sayang yang tak pernah kuterima dari orangtua angkatku. Mereka memang jadi dingin setelah melahirkan Melati. Sempat kudengar pembicaraan mereka, kalau aku diadopsi hanya sebagai pancingan, apa itu masuk akal!

"Kevin seringkali bersikap buruk, tapi aku tahu dia tak akan mungkin berbuat terlalu jauh. Kamu hanya harus percaya padaku." kembali Galih mengingatkanku. Berkat genggaman tangannya kecemasanku agak berkurang. Kubalas genggaman itu sambil tersenyum meyakinkan.

Selama ini dia selalu serius, mungkin ini puncaknya. Dia memberiku kepercayaan, sekaligus beban agar aku selalu bersikap baik dihadapan keduanya. Jika saja, tempat kerja Galih dekat. Mungkin dia tak harus menyewa tempat tinggal, dan bisa menjagaku disini. Tapi, dia berjanji akan pulang seminggu sekali.

Kami sudah cukup lama berdiam diri hanya untuk membicarakan rencana Bu Alya. Dia mengkhawatirkanku, takut aku tak nyaman, takut aku mendapat perlakuan buruk. Aku benar-benar tak ingin melepaskan Galih, apa pun yang Kevin lakukan aku akan bertahan sampai dia memberiku lampu hijau.

***

Tas kecilku telah berada di dalam kamar. Aku memilih kamar yang berhadapan dengan kamar lain, karena aku tidak berani tidur di dalam kamar yang berada tepat di hadapan kamar mandi. Aku ini amat penakut jika berhubungan dengan makhluk halus, mereka tak kasat mata dan bisa melakukan apapun. Kata orang, kamar mandi adalah tempat yang nyaman bagi mereka.

Ini hari keduaku disini, aku bahkan tak tahu apa kamar di hadapanku berpenghuni atau tidak. Yang jelas, kali ini aku sangat gugup. Terlebih tak ada lagi Galih yang menemani.

"Tari, ayo kita makan malam bersama!" sayup seruan Bu Alya terdengar. Segera saja aku keluar dari dalam kamar menuju asal suara.

Makan malam kami diisi oleh suara piring yang beradu dengan sendok. Tak ada yang membuka suara, aku sendiri tak berani memulai. Setidaknya aku tak harus mengkhawatirkan sikapku pada Kevin, dia jarang terlihat semenjak aku tinggal. Mungkin itulah bentuk pemberontakannya.

Seusai makan malam, kami duduk bersama sambil menonton televisi. Ini sedikit membosankan, tapi entah kenapa aku menyukainya. Aku seperti tengah duduk bersama ibuku sendiri.

"Acara Tv sekarang kebanyakan bikin sakit kepala. Saling teriak, membentak orangtua, perselingkuhan, tidak bisa memberikan pendidikan." ungkapnya disela memindahkan saluran televisi.

"Ya, yang penting rating tinggi." ungkapku menambahkan. Bu Alya menepuk pahaku sambil tersenyum, "Itulah mengapa di rumah ini hanya ada satu tv, setidaknya ibu tahu apa yang anggota keluarga tonton."

Aku tak mengira Bu Alya bisa bersikap sehangat itu padaku. Itulah cara beliau mengurus putra-puteranya, tidak salah karena ternyata mereka menjadi orang yang berhasil saat ini.

"Aku kagum pada ibu, mungkin aku akan mengikuti cara ibu suatu hari." pujiku tulus.

Bu Alya kembali tersenyum, "Mungkin terdengar mudah, tapi kadang sesuatu tidak selalu bisa sesuai dengan keinginanmu." raut Bu Alya terlihat sedih. Memangnya apa yang tidak sesuai harapannya. Semua hal yang kulihat, terlihat baik-baik saja, kecuali...

Terdengar pintu depan terbuka, kulihat jam telah menunjuk angka delapan. Masih dengan seragam sekolahnya, Kevin berjalan melewati tempat kami duduk tanpa memberi salam, hanya menoleh dan berlalu begitu saja. Dia sangat amat tidak sopan pada neneknya sendiri. Bu Alya malah terlihat acuh, keluarga ini terlihat hangat di luar tapi ternyata dingin di dalam.

"Sepertinya aku akan istirahat sekarang, kalau kamu masih ingin menonton tv. Tinggal nyalakan saja lagi," Bu Alya beranjak dari sofa ruang keluarga, meninggalkanku tanpa menoleh.

Besok Galih pulang, mungkin bisa kutanyakan alasan Kevin dan Bu Alya bersikap saling acuh. Langkahku terhenti saat melihat pintu di depan kamarku sedikit terbuka.

Lampunya menyala, sekarang aku tahu siapa pemilik kamar itu. Dari celah yang terbuka terlihat Kevin tengah merebahkan diri tanpa mengganti pakaiannya. Mungkin dengan menyapanya setiap pagi, aku bisa sedikit akrab dengannya. Apa pun, akan kuusahakan demi Galih.

"Mengintip itu tidak sopan!" suara Kevin mengejutkanku, agak memalukan ketahuan tengah mengintip. Terlanjur malu, kuhampiri kamarnya lalu kubuka pintu. Menyandar di kusen pintu terasa cukup nyaman untuk saat ini.

"Ini kali kedua kita bertemu. Apa kamu baik-baik saja, selama ini aku tidak pernah melihatmu?" aku ingin bersikap seperti Galih, dia lembut dan tenang tiap kali menghadapi Kevin. Bisa saja, dia luluh dengan sikap yang sama dariku.

"Untuk apa 'kamu' menanyakan itu, 'kamu' merindukanku?" Kevin bangkit dari tidurnya.

Anak kurang ajar, dia memanggilku kamu. Setidaknya dia harus memanggilku tante atau kakak. Dan lagi, kata-kata yang keluar dari mulutnya itu amat tak sopan. Uh..sabar...sabar...

"Ya, sebagai calon tantemu tentu aku berharap kita bisa berinteraksi lebih sering."

"Maaf, aku tidak membutuhkan seorang tante, lebih baik menjauh dari kamarku." Kevin mendorong pundakku dengan kasar lalu menutup pintu dengan cara sama.

^^^^

Sabtu, 18 Mei 2019

Bulan bersinar dengan terang hari ini. Ramadan berlalu begitu cepat, banyak yang telah berubah, mungkin karena situasi dan suasana saling mendukung.

Sampai bertemu lagi di hari Selasa.

HeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang