Part 3

4.7K 220 2
                                    

Assalamu'alaykum Ukhtifillah...
Jangan lupa tekan bintang dan sempetin comment ya 😆
Syukron Katsiiir 😙

🌹 Happy Reading 🌹

🍁🍁🍁


Sakha POV

Suasana kantin rumah sakit cukup ramai. Beberapa penuh oleh keluarga pasien yang membeli makan siang atau sekedar membeli camilan. Aku memesan satu porsi bubur ayam dan satu porsi nasi goreng beserta minum dua gelas teh hangat. Aku mengangsurkan uang lima puluh ribu sebagai tanda pembayaran. Menunggu pesanan jadi sambil berbincang hangat dengan pemilik warung dan beberapa pembeli.

“Tumben pak dokter ganteng beli dua porsi. Satunya buat pacar ya dok?” kata Bu Lastri pemilik warung. Beliau memang suka meledekiku saat aku membeli di warungnya. Apalagi kondisiku yang tak punya pasangan seakan memberi peluang baginya untuk mengejekku. Kebanyakan dari candaannya aku balas dengan senyuman.

“Duh pak dokter malah senyum-senyum. Berarti bener ya ini buat pacar. Saya bikinin yang special deh kalo gitu.” Kata Bu Lastri kemudian. Aku hanya mengangguk dan mengulas senyum tipis.

“Wah beruntung banget ya jadi pacar pak dokter. Udah ganteng, dokter bedah, sholeh lagi. Duh kalo saya punya anak perempuan mah udah saya nikahin sama Dokter Sakha,” timpal ibu-ibu berjilbab merah.

“Nih dok pesanannya sudah jadi, trus ini uang kembaliannya,” kata Bu Lastri seraya menyerahkan nampan berisi pesanan yang tadi kupesan. “Kembaliannya buat ibu aja,” kataku sembari menyunggingkan senyum pada Bu Lastri.

“Wah dokter ganteng baik banget sih, ini pajak jadian ya dok?” tanya Bu Lastri kembali bercanda. “Ah si ibu bisa saja, saya pamit dulu mari bapak-bapak mari ibu-ibu, Assalamualaikum.” Pamitku yang langsung dijawab dengan serentak. Aku berlalu meninggalkan kantin menuju ruanganku yang cukup jauh. Kantin rumah sakit ini terletak di depan halaman rumah sakit. Lebih tepatnya berbatasan dengan pagar depan rumah sakit. Sedangkan ruanganku berada di belakang rumah sakit. Perkataan Bu Lastri membuatku kembali mengingat gadis itu. Zahra Adeeva Nuha Afsheen Myesha, entah mengapa aku terus mengingat gadis itu.

Flashback On

Assalamu’alaikum. Dokter Zainal ada apa ini?” aku berjalan memasuki ruangan setelah lama berdiam diri didepan pintu mendengar suara Dokter Zainal yang sedang membentak seseorang. Sampai aku lupa niatku untuk mengetuk pintu sekedar menghormati beliau yang lebih tua dariku. Di dalam ruangan sudah berdiri seorang gadis berkerudung biru muda. Gadis itu tertunduk dalam, wajahnya terlihat pucat dan sesekali air mata menetes dari matanya. Gadis yang tadi menabrakku. Zahra Adeeva Nuha Afsheen Myesha. Gadis yang namanya saja sudah membuat hatiku berdesir halus.

Aku berjalan menuju meja kerjaku yang tengah diduduki Dokter Zainal. Mataku tak bisa lepas dari wajahnya yang tertunduk dalam. Entah apa yang terjadi hingga membuat Dokter Zainal marah besar.
Aku terus memperhatikannya sampai tiba-tiba tubuhnya ambruk di lantai.
“Zahra!” pekikku kaget. Aku segera menghampirinya dan mengangkat tubuhnya, merebahkannya di brankar rumah sakit yang sengaja diletakkan untuk memeriksa pasien. Aku langsung memeriksa tensi, ternyata dia anemia. Tekanan darahnya hanya 100 per 80.

“Kamu kenal sama mahasiswi magang ini Sakha?” tanya Dokter Zainal. Sakha adalah panggilan formalku. Hanya orang-orang terdekat saja yang memanggilku dengan nama kecilku yakni Adit. Sisanya hanya memanggilku Sakha.

“Iya dok. Maaf tadi saya kurang sopan langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Sebenarnya ada apa ini dok? kenapa dokter terlihat marah sekali?” tanyaku sopan. Berbicara dengan orang yang sudah berumur dan penderita hipertensi memang harus ekstra sabar.

“Mahasiswi ini magang sudah satu minggu Sakha. Kamu tentu masih ingat tentang cerita saya yang menceritakan mahasiswi magang yang akan menjadi juniormu kan?” tanya Dokter Zainal memaksaku mengingat. Ah ya tentang ceritanya bahwa aku akan membimbing mahasiswi magang satu minggu yang lalu sebelum aku pulang ke pesantren.

“Oh iya saya baru ingat. Saat itu saya lupa menanyakan lebih lanjut karena kesibukan di pesantren yang cukup menyita waktu.” Jelasku pada Dokter Zainal yang dibalas dengan anggukan.

“Nah ini mahasiswi yang saya ceritakan Sakha. Kamu tahu selama satu minggu dia telat sebanyak lima kali coba bayangkan. Terus saat tadi saya menagih hukuman yang saya kasih kemarin dia hanya diam. Siapa yang tidak naik darah coba.” Katanya menerangkan. “Oh begitu rupanya. Masalah makalah, makalahnya sudah ada di saya, dok, jadi dokter tidak perlu marah. Saya mohon maaf ya dok, saya sudah merepotkan Dokter Zainal selama saya pergi.” Kataku menjelaskan agar beliau tidak marah lagi. Cukup berbahaya jika dikondisinya yang hipertensi ini ia harus marah.

“Oh ya tidak apa kok. Saya rasa amanah saya sudah selesai karena kamu sudah kembali kemari. Kamu pasti sudah bisa menghandle ini sendiri kan?” kata Dokter Zainal menepuk pundakku pelan.

“Insya Allah, dok. Sekali lagi terima kasih ya dok.” Kataku seraya mengantarnya keluar ruangan.

“Iya sama-sama. Saya pamit ya Assalamu’alaikum.” Katanya sembari melenggang menjauhiku.

“Waalaikumussalam warahmatullah” kataku seraya menatap punggungnya hingga hilang di kelokan.

Aku kembali ke ruangan. Gadis itu masih tak sadarkan diri. Aku duduk disamping gadis itu memerhatikan dengan seksama. Seperti pernah melihat tapi dimana aku sendiri tidak tahu. Entahlah, aku sendiri merasa de ja vu dengan wajah gadis ini. Terasa familier. Gadis ini cantik. Kulitnya mulus dan bulu matanya lentik. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis. Wajah ayunya dibalut hijab biru muda yang membuatnya semakin sempurna. Wajahnya seperti keturunan arab. Benar-benar seperti profil Fatimah yang membuat Ali tunduk.

Astaghfirullah. Buang fikiran kamu Adit. Itu dosa.” Kataku memperingatkan diri sendiri. Memikirkan wanita yang bukan mahram itu dosa bukan. Aku lebih memilih membaca Al-Quran daripada terus menerus membiarkan setan menghasut fikiranku.

وَ حُوْرٌ عِيْنٌ

كَأَمْثَلِ اللُّؤْلؤِ الْمَكْنُوْنِ

“Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli. Laksana mutiara yang tersimpan baik.” (Q.S. Al-Waqi'ah:22-23)

Aku melihat ada pergerakan dari gadis didepanku. Alisnya bertautan. Mungkin dia masih merasa pusing. Beberapa kali matanya mengerjap dan berusaha bangkit dari tidurnya. Saat itulah aku melihat matanya. Mata dengan iris hitam besar dan jernih seakan memantulkan hati pemiliknya.

وَ حُوْرٌ عِيْنٌ  

Deg!

“Astaghfirullahal Adzim kendalikan dirimu Adit. Dia belum halal untuk kau nikmati kecantikannya.” Kataku menenangkan gejolak yang kian berkibar. Kalau begini adanya aku hanya bisa pasrah pada Yang Kuasa agar hati ini dikendalikannya. Karena sepertinya aku telah gagal mengendalikannya.

“Allahumma yaa muqallibal quluub. Shorrif quluubii ‘alaa diinika wa ‘alaa thoo’atika.” Hanya doa itu dan istighfar yang terus menerus kusebut dalam hati.

Flashback Off

🍁🍁🍁

Alhamdulillah part 3 sudah rampung 😥😥😥
Jangan lupa untuk tekan bintang dan komen ya ukhti, karena komen dan bintang kalian itu udah kayak vitamin yang udah mirip mood booster buat Rufah nulis lagi 😦😦😦
Jazakumulloh khoiron katsiiir 😙😙😙

20 like, will update 😏😏😏

Dokter!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang