Part 6

4.1K 162 1
                                    

Assalamu'alaykum Ukhtifillah...
Jangan lupa tekan bintang dan sempetin comment ya 😆
Syukron Katsiiir 😙

🌹 Happy Reading 🌹

🍁🍁🍁


Sakha POV

Pukul tujuh aku sampai di rumah, ini adalah rumah yang aku beli dan menjadi tempat tinggalku selama aku bekerja di Surabaya. Cukup besar meski tak terlalu mewah tapi yang pasti rumah ini cukup nyaman karena aku selalu mengutamakan kebersihan.

النَّظَافَةُ مِنَ الْاِيْمَانْ

“Kebersihan sebagian daripada iman” pepatah yang menjadi salah satu prinsipku.
Aku langsung melepas sepatu dan bergegas mandi kemudian berganti kaos dan sarung serta memakai kopyah untuk menunaikan kewajibanku pada Sang Pencipta. Selesai sholat aku membaca Alquran dan memuroja’ah hapalanku agar tak sampai lupa. Meski aku sudah khatam menghapal Alquran dan mendapat sanad dari Syekh Achmad Al-Kannas tapi tak ada salahnya untuk membaca Alquran.

“Bacalah oleh kalian Al-Qur’an. Karena ia (Al-Qur’an) akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafaat bagi orang-orang yang rajin membacanya.” (H.R. Muslim 804)

Mulai ku baca kalam Allah dengan sepenuh hati. Kuhadapkan hati dan imanku kepada-Nya. Dengan pelan dan penuh penghayatan. Setelah sekitar saju juz sudah yang kubaca, aku berhenti sebab tenggorokanku kering. Aku mengambil air minum dan membawanya kekamar. Malam ini aku ingin melihat makalah Zahra. Makalah itu cukup rapi bahkan untuk tingkatnya yang masih semester 8 penjelasan yang diberikannya cukup lengkap namun ringkas dan jelas. Setelah membaca dan menilainya, aku beralih kegiatan.

Kuambil ponselku dan mencari sebuah nama yang sudah sangat kurindukan, memencet dan menunggu sambungan terjawab.

“Halo Assalamu’alaikum, Ummi ?” Sapaku ketika terdengar bunyi panggilan tersambung disebelah sana.

“Waalaikumussalam Adit. Apa kabar, nak? Tumben nelpon,” Jawab ummi ramah.
Alhamdulillah Adit baik ummi. Ummi sama abi juga apa kabar?” kataku pada ummi.
“Alhamdulillah ummi sama abi baik kok, nak? Tumben nelpon ada apa, Dit?” kata ummi kemudian.
Alhamdulillah kalau begitu, mi. Iya ada yang ingin Adit bicarakan mi, tentang Zahra.” Terangku pada ummi.
“Tentang Zahra?! Ada apa nak? Apa ada kabar? Kamu sudah ketemu sama dia nak?” Tanya ummi tak sabar ingin mendengar ceritaku. Ada nada terkejut yang terdengar jelas.

“Satu-satu mi, jangan tergesa gitu. Jadi gini mi, tadi pagi Adit nggak sengaja ketemu sama Zahra. Ternyata dia kuliah di Surabaya, mi ngambil pascasarjana jurusan spesialis bedah, dan ternyata Adit jadi pembimbingnya buat magang mi,” terangku panjang lebar yang ditanggapi ummi dengan kata ya, terus ataupun lalu.

“Adit seneng banget mi, ternyata Adit masih diberi kesempatan untuk ketemu lagi sama Zahra. Tapi sepertinya Zahra nggak ingat sama Adit mi,” kataku jujur pada ummi.
“Ya mungkin trauma yang Zahra alami masih belum sembuh, Dit. Kamu yang sabar, jangan terlalu buru-buru takutnya nanti malah nggak karuan.” Kata ummi menenangkan.

Ada benarnya juga perkataan ummi, pasien dengan trauma otak memang tidak ada penanganan atau pengobatan khusus. Kalaupun ada itupun dengan bantuan terapis untuk pelatihan memori dan memicu ingatan, namun hal itu tak ada gunanya. Sebab kata Om Aziz selama hampir setahun Zahra menjalani terapi itu namun tak ada perkembangan. Aku tak ada di tempat kejadian, aku bahkan tak ikut menemani Zahra selama ia menjalani ujian hidup itu. Saat itu aku tengah merantau untuk menuntut ilmu dan kesibukan membuatku tak dapat meninggalkan pendidikan ketika aku mendapat kabar kecelakaan yang menimpa Zahra. Aku hanya bisa mendoakan dan terus berharap agar ia baik-baik saja dan dapat menjalani ujian ini.

Dokter!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang