Part 5

3.9K 198 3
                                    

Assalamu'alaykum Ukhtifillah...
Jangan lupa tekan bintang dan sempetin comment ya 😆
Syukron Katsiiir 😙

🌹 Happy Reading 🌹

🍁🍁🍁

Zahra POV

Aku memasuki kamar dan segera mandi air hangat lalu berganti pakaian gamis berwarna merah maroon kemudian berwudhu dan memakai kerudung serta memakai atasan mukenaku. Sengaja aku memakai kerudung plus mukena karena dibawah masih ada dokter Adit. Ngomong soal dokter muda yang satu itu, dokter itu kenapa sangat akrab sekali dengan bunda. Padahal aku yakin mereka tak pernah bertemu sebelumnya. Bahkan dokter Adit memanggilnya tante. Tadi saja bunda langsung perhatian gitu sama Adit padahal kan anaknya yang cantik ini di depannya dia, heran aku sebenernya yang anaknya bunda itu aku atau Adit sih. Tapi emang dasar tuh dokter caper aja ama bunda, huh dasar dokter centil.

Setelah mematut diri didepan cermin untuk memastikan penampilanku, aku segera turun untuk melaksanakan perintah Allah. Ruang sholat memang berada di lantai bawah sedangkan lantai atas ini memang hanya di isi oleh kamar ayah dan bunda kemudian kamar kak Azzam yang bersebelahan dengan kamarku. Kemudian kamarku bersebelahan dengan kamar tamu.

Aku menuruni tangga dan menuju ke ruangan sholat saat tak kulihat ayah, bunda, kak Azzam serta dokter Adit tak ada diruang tamu. Saat hampir memasuki ruang sholat tanpa sengaja aku berpapasan dengan dokter Adit yang baru selesai berwudhu. Wajahnya benar-benar berseri terkena air wudhu, rambutnya yang basah seakan membawa ketampanan tersendiri untuknya. Disisir ke atas dan sedikit meneteskan air. Lengan kemejanya digulung ke atas hingga siku, dengan kancing leher dan satu kancing pertama yang sudah tak terpansang. Dalam keadaan seperti ini kerupawanan dokter bedah pediatrik berusia 20 tahunan itu meningkat berkali-kali lipat.

Deg!

Senyum itu entah sejak kapan menghangatkan hatiku. Senyumannya begitu khas seakan mampu membuatku melayang dengan sekejap. ‘Astaghfirullah Zahra! Dosa!’ kataku segera berusaha menguasai diri. Bergegas aku mengalihkan pandangan dan memasuki ruang sholat dengan pipi yang sudah memanas. Kutepuk-tepuk agar tak ketahuan ummi yang ternyata sudah stand by di ruang shalat, menenangkan hati dan ekspresi wajah aku mengikuti ummi yang membaca dzikir sambil menunggu ayah menjadi imam.

Suasana beribadah cukup khusyu’ seperti biasa, hanya saja kali ini bukan kak Azzam yang iqomah tapi dokter Adit. Suaranya cukup merdu, irama yang ia gunakan pun cukup menyentuh hati. Aku yakin sekali dia menggunakan iqomah adzan dari ‘Azam Dweik. Sebab aku benar-benar hafal betul iramanya. Salah satu irama favoritku.

Selesai sholat kami bergegas menuju ruang makan. Aku membantu bunda membawakan makanan dari dapur dan menatanya di meja yang sudah dipenuhi wajah-wajah lapar. Ayah tengah asik berbincang dengan dokter Adit sedangkan kak Azzam menyimak dan sesekali menyahuti. Mereka tampak akrab sekali begitu pun dengan bunda. Sedangkan aku, aku hanya diam dan sesekali tersenyum menanggapi obrolan hangat mereka. Kepalaku terlalu pusing, mungkin efek tipes dan belum minum obat.

“Zahra kenapa kok diem aja sayang? Trus itu kenapa makanannya nggak dimakan? Kamu sakit nak, kok kamu kayak agak pucat gitu yah?” tanya bunda menyadari sikapku yang tak seperti biasa.

For your info, biasanya kalau dirumah aku akan nyerocos tanpa henti bahkan bisa dibayangkan bahwa jika rumah tanpa aku itu layaknya rumah tanpa penghuni. Seram dan mencekam. Oke, lebay. Intinya aku selalu menyumbang tawa dan keceriaan dirumah.

“Oh iya tante Aida, saya lupa bilang. Tadi Zahra sempat pingsan di rumah sakit, dia kena tipes tan.” Jawab dokter Adit pada bunda.

Kalian tentu bisa menebak apa yang terjadi kemudian. Ya topik pembicaraan beralih padaku, dokter Adit menjelaskan tentang sakitku dan kejadian pagi tadi. Semula mereka membahas tentang kehidupan dokter Adit, aku baru tahu bahwa dia adalah seorang santri dan sekarang jadi pengurus pondok meski ia harus merantau ke Surabaya untuk memenuhi sumpah dokternya. Aku juga baru tahu bahwa ibu (mereka memanggilnya Ummi) dokter Adit adalah sahabat dekat bunda.

Kemudian perbincangan yang mengalir ringan itu tiba-tiba menjadi perbincangan yang penuh misteri dan kode-kode buatku.
“Sepertinya kita harus meneruskan kesepakatan kita nak Sakha,” ayah menyeletuk tiba-tiba saat keheningan mulai merambat di meja makan.

‘Kesepakatan? Apa maksud ayah dengan kesepakatan. Aneh sekali, kan mereka baru bertemu kok malah bahas kesepakatan. Itu dokter juga ngapain senyum-senyum gitu?’ kataku menggumam dalam hati.
Mereka lebih terlihat seperti sedang berkonspirasi. Entah apa maksudnya tapi perasaanku tak enak, ditambah tatapan mereka yang bergantian memandangku. Seolah aku adalah objek penting dalam pembicaraan ini.

“Apa ndak nunggu siap dulu yah, lagian masih ada trauma dari kejadian masa lalu. Biarkan mereka saling kenal dulu lah yah..” Kata bunda menimpali.

‘Siap? Siap apaan nih?! Pake bawa-bawa trauma lagi. Jangan-jangan mereka mau nyembuhin trauma aku. Tapi kan aku udah bilang aku nggak mau nemuin psikiater. Duh Tuhan, mereka ini ngomong apa sih?.’

Oh iya aku lupa cerita bahwa aku punya trauma otak karena sewaktu kecil aku pernah mengalami kecelakaan mobil yang cukup parah dan harus dilakukan tindakan operasi otak. Operasi ini membuatku kehilangan ingatan, yang disebut retrograde amnesia atau kondisi dimana aku kehilangan memori yang baru terbentuk, menurut bunda aku melupakan kenangan pada kelas sebelas dan duabelas. Sehingga pada masa itu aku harus home schoolling. Tak sampai disitu, aku juga kehilangan ingatan masa kecilku. Dan ini yang paling parah, aku bahkan benar-benar kehilangan semua ingatan masa kecilku.
Sejak saat itu aku terus mengalami mimpi buruk. Bahkan tiap malam aku selalu dihantui dengan mimpi kecelakaan, sampai aku harus konsultasi ke dokter. Namun seiring berjalannya waktu mimpi itu perlahan menghilang seperti tabir. Hanya beberapa kali saja ia muncul, itupun saat aku stress atau sakit.

“Iya om. Masih banyak juga yang harus dipertimbangkan.” Kata dokter Adit menimpali.

Okay fixed, aku tak mau terlibat dengan perbincangan ini. Percuma juga kalau nggak tahu apa yang dibahas. Mungkin lain waktu aku akan mencari tahu tentang misteri apa dibalik semua ini. Tapi yang pasti bukan sekarang karena kepalaku benar-benar pusing saat ini. Percayalah rasanya aku hanya ingin tidur dikamar saja.
“Iya yah, kita jangan gegabah ngambil keputusan tanpa mempertimbangkan keadaan yah. Itu kan keputusan penting dalam hidup,” kak Azzam ikut menambah aku bingung.

Perbincangan ini kemudian tetap berlanjut dengan kemisterian yang menambah kerutan di dahiku. Malam ini adalah malam yang berbeda dalam hidupku. Pertemuan yang membawaku pada seseorang yang entah mengapa aku merasa de ja vu. Seseorang yang wajahnya sangat tak asing bagiku. Seseorang yang menyebalkan karena aku tahu gara-gara dia ngambil cuti, aku jadi dibimbing sama dokter Zainal yang killernya melebihi guru privat matematikaku dulu waktu SMA. Benar-benar deh, ah kenapa jadi bahas dia mulu sih? Jadi nggak mood mendadak aku.

🍁🍁🍁

Gimana gimana ?
Jgn lupa bintang ya......

Dokter!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang