Part 4

4.3K 223 10
                                    

Assalamu'alaykum Ukhtifillah...
Jangan lupa tekan bintang dan sempetin comment ya 😆
Syukron Katsiiir 😙

🌹 Happy Reading 🌹

🍁🍁🍁

Author POV

Senja mulai menyapa. Datang bersama mega merah yang beriringan di langit cerah. Semburat jingga mewarnai langit sore Kota Surabaya. Menampakkan lukisan maha karya Sang Pencipta. Beberapa burung mungkin sudah kembali ke sarang. Matahari juga sudah terbenam di peraduan. Berbeda dengan muda mudi yang masih terjebak di macetnya jalanan.

Sore ini Zahra tak pulang sendiri, ia juga tak pulang naik gojek. Wanita ayu itu duduk di kursi samping kursi kemudi. Yah ia pulang bersama dokter yang ia ketahui bernama Achmad Sakha Aditya Naufal Dary Abiyyu. Terlalu panjang bukan? Panggil saja ia Sakha. Tapi bagi Zahra ia akan tetap memanggilnya Adit.

Flashback On

Selesai menghabiskan makanannya. Adit memberikan obat tipes pada Zahra. Gadis itu tentu menurut karena rasa pusing yang ia derita bertambah seiring jam yang ia lewatkan. Zahra merasa de ja vu. Seperti pernah melihat tapi entah dimana ia sendiri tak ingat. Begitupun yang dirasakan Sakha, ia merasa tak asing dengan senyum gadis di depannya ini.

“Nama kamu siapa?” tanya Sakha membuka keheningan. Mencoba mencairkan suasana yang kian membeku dan enggan mencair.
“Zahra Adeeva Nuha Afsheen Myesha,” jawab Zahra tersenyum manis, membalas senyum Sakha yang sedari tadi tak bisa lepas dari bibirnya. Membuat wajahnya seakan berseri-seri. Rupawan wajah belum tentu rupawan hati bukan?

“Zahra,” gumam Sakha. Nama gadis itu mengingatkan Sakha pada seseorang yang ia sayang. Seseorang yang selalu menghias tidur Sakha, seseorang yang selalu menjadi isi dari doa Sakha selain orang tua dan sahabat tentunya. Seseorang yang ia harap namanya disandingkan yang Maha Kuasa dengan namanya di Lauh Mahfudz.

“Hah?” tanya Zahra polos. Telinganya jelas tak salah dengar. Ia rajin membersihkan telinga, bahkan kemarin baru saja ia melakukan hal rutin itu. Ia yakin telinganya mendengar bahwa lelaki berjas dokter itu menggumamkan namanya. Nama kecil yang ia khususkan untuk orang tersayang dan ia gunakan di pesantren dulu.
“Ah tidak, Saya Achmad Sakha Aditya Naufal Dary Abiyyu. Biasanya orang lain memanggil saya dengan sebutan Sakha.” Kata Sakha mencoba menyembunyikan perkataannya barusan.

“Oh, boleh saya panggil Adit?” Zahra berkata. Nama tadi entah mengingatkannya pada sesuatu. Tapi ah lupakan.
Sakha terdiam agak lama. Masalahnya hanya satu orang saja yang memanggilnya dengan sebutan itu. Dia Zahra. Gadis pilihan Umminya yang sengaja dijodohkan dengannya. Namun, karena kecerobohannya ia juga kehilangan gadis itu.

“Nama anda membuat saya ingat pada seseorang di masa lalu. Dokter, dokter!” Panggil Zahra sedikit berteriak. Karena sejak mendengar ucapannya tadi dokter itu langsung melamun. Sorot matanya menyendu dan tersirat rasa penyesalan dan kesedihan yang amat jelas tercetak di wajahnya. Zahra bisa merasakan itu meskipun di wajah lelaki itu masih terukir senyum.

“Ah iya, boleh saja.” Kata Sakha kemudian saat tangan Zahra melambai di depan wajahnya. Menyadarkannya dari lamunan. Entah mengapa ia tak bisa menolak kata-kata Zahra.

Flashback Off

Mobil sedan hitam itu keluar dari kemacetan jalanan tepat saat adzan maghrib berkumandang. Sisa perjalanan hanya diisi dengan keheningan. Zahra hanya berbicara sesekali saat diperlukan, itupun hanya untuk menjawab pertanyaan Sakha yang menanyakan belok kiri atau kanan. Begitupun dengan Sakha, ia hanya diam dan tetap terfokus ke jalanan. Diam diluar tapi hatinya tengah badai. Beberapa kali ia menarik nafas dan menghembuskannya pelan. Hatinya tak henti-hentinya mengucap istighfar berharap agar badai yang bergemuruh di hatinya reda meski hanya sedikit. Dari tadi Sakha hanya memikirkan satu hal.

“Mungkinkah ia adalah Zahra?,” pertanyaan itu terus saja bergema di pikirannya.

🍁🍁🍁

Sakha POV

Kami memasuki komplek perumahan setelah beberapa menit menghabiskan perjalanan dalam diam. Zahra hanya duduk diam sambil menatap jendela sedangkan aku, aku sibuk beristighfar dalam hati agar meredam debaran jantung yang seakan keluar dari tulang rusuk.

“Berhenti dok, ini rumah saya.” Kata Zahra saat kami melewati rumah berpagar hitam dengan cat merah bata. Rumahnya cukup besar bahkan bisa dikatakan mewah sebab sedari tadi saat aku melewati komplek perumahan ini tak ada yang semewah ini.
“Mari dok, mampir dulu,” Zahra melepas safety belt lalu memakai tasnya.
“Apa saya nggak merepotkan?” tanyaku mengingat matahari sudah sepenuhnya menghilang.

“Ya nggak lah dok. Mari dok,” timpal Zahra kemudian seraya membuka pintu dan turun. Aku mengikutinya turun dari mobil menyalakan alarm dan melenggang masuk setelah seorang ibu-ibu yang kuasumsikan sebagai asisten rumah tangga Zahra membuka pagar.

“Makasih Bi Iyem. Ayah sama Bunda ada?” tanya Zahra sopan pada wanita paruh baya itu.
“Ada Non, Den Azzam juga ada.” Kata wanita bernama Bi Iyem itu. “Oh ya sudah, bilangin sama mereka ada tamu ya Bi.” Katanya kemudian.

Rumah Zahra memiliki taman yang cukup rindang, tepat ditengah taman yang ada dihalaman rumah besar ini terdapat gazebo kecil dengan meja dan tempat duduk dari batu. Beberapa pohon rindang membuat suasana terasa sejuk dengan semilir angin yang menenangkan.

Assalamu’alaikum. Bun, Ayah, aku pulang. Ini ada tamu,” Kata Zahra sembari melepas sepatu dan meletakkannya di lemari kecil dekat pintu.“Mari masuk dok,” tawarnya sembari mempersilahkan aku masuk.

Assalamu’alaikum.” Salamku setelah melepas sepatu dan meletakkannya di samping sepatu Zahra.

Wa’alaikumussalam. Mari masuk nak, Astaghfirullah!!!,” pekik wanita paruh baya saat melihatku. Akupun tak kalah terkejut sebab wanita paruh baya ini adalah sosok yang aku kenal. Dia adalah ibu dari Zahra. Ibu dari seseorang yang akan dijodohkan denganku sewaktu aku masih SMA dulu.

“Tante Aida?. Astaghfirullah, apa kabar tante?” tanyaku sembari mencium sopan tangannya.

Subhanallah, sungguh tak terkira nikmat yang engkau berikan Ya Rabb. Engkau mempertemukan kembali hamba dengan orang yang hamba cari bertahun-tahun.

“Tante baik nak, kamu sendiri apa kabar?” tanya tante Aida sedikit terisak.
Alhamdulillah baik tante,” jawabku.
“Zahra masuk ke kamar trus mandi yah. Nanti kalo sudah turun ke bawah kita sholat jamaah trus makan malam yah sayang,” pinta tante Aida pada Zahra yang terlihat bingung melihat keakrabanku dan bundanya. Tapi ia menurut tanpa kata, melenggang menuju lantai atas dan menghilang di ujung tangga.
“Sini nak duduk.” Tante Aida mempersilahkanku duduk di salah satu sofa.

“Apa kabar ummimu nak? Beliau baik-baik saja kan?” Tanyanya kemudian. “Alhamdulillah baik tante, beliau sedang sibuk mengurusi pesantren. Om Aziz sama bang Azzam bagaimana tan? Beliau baik?” Tanyaku setelah tak kulihat eksistensi dua orang itu.

“Nah itu mereka,” tunjuk tante kepada dua laki-laki yang sibuk membenahi peci satunya sibuk membenahi kain sarung.
“Yah, Azzam, lihat siapa yang datang!” seruan tante membuat dua lelaki tersebut menoleh dan membelalakkan matanya seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.

Mereka segera menghampiriku, Azzam yang paling antusias berlari dan menerjang tubuhku. Memelukku dan menepuk punggungku tegas. Kubalas ia, baru menyalami Om Aziz dan menanyakan kabarnya. Beliau memelukku dengan sayang, sifatnya yang kebapakan membuatku merasa nyaman. Kami tertawa, menertawakan tingkah laku kami yang menye-menye sama seperti remaja labil menurut Om Aziz. Dan perbincangan serta cerita pun mengalir hangat. Sehangat hatiku yang kembali dipertemukan dengan keluarga yang selama ini kucari.

🍁🍁🍁

Saya mau curhat dongs.... mau ya dengerin...

Hari ini adalah 40 hari meninggalnya nenek saya. Nah hari ini saya BISA BIKIN KUE!!! 👏👏👏👏👏👏

Awalnya sih cuma jadi asisten kakak saya doang, trus coba2 tapi jadinya bagus dan rasanya enak. Jadilah saya di rekrut jadi koki kedua. Wassekkk!!!

Dokter!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang