Part 7

3.6K 188 3
                                    

Assalamu'alaykum Ukhtifillah...
Jangan lupa tekan bintang dan sempetin comment ya 😆
Syukron Katsiiir 😙

🌹 Happy Reading 🌹

🍁🍁🍁

Zahra POV

Aku mengerjap perlahan ketika  telingaku mendengar suara tangisan. Suara tangisannya begitu menyayat hati hingga aku benar-benar membuka mataku dan mencari kemana gerangan bunyi menyayat hati itu berasal. Aku membelalakkan mataku ketika aku berada di sebuah tempat yang berhasil membuatku merasa de ja vu. Aku berdiri di sebuah tempat yang tak pernah kulihat namun terasa begitu dekat dan tak asing bagiku. Aku berdiri di teras depan sebuah rumah bergaya Jawa kuno, bisa disebut rumah itu bergaya joglo khas daerah Jawa. Di depan rumah itu terparkir sebuah mobil hitam BMW jaman dulu. Di samping mobil itu ada seorang anak kecil yang meronta dari cengkeraman tangan seseorang. Dari sanalah suara tangis itu berasal. Memecah derasnya hujan yang mengguyur tubuh gadis itu dan pria yang mencengkeram tangan mungilnya dengan kasar.

Pria berjaket hitam itu cukup tinggi. Tubuhnya membelakangiku yang terus termangu tanpa berbuat apa-apa. Rasanya aku ingin sekali menolong gadis itu tapi rasanya sekujur tubuhku membisu. Begitu kontradiksi dengan yang diperintahkan hati dan pikiranku.

Pria itu mungkin seorang remaja sebab tubuh kurusnya seukuran dengan anak sekolah SMA. Ah tidak-tidak, bukan seorang remaja tapi sepertinya seseorang yang lebih dewasa dari sekadar remaja. Sebab dari lengan jaket yang disingkap hingga siku pria itu menampakkan jelas tatto burung mockingjay berwarna hitam. Tangan kiri yang bertatto itu mencengkeram erat tangan gadis mungil yang terus saja meronta minta dilepaskan. Aku ingin berlari menyelamatkan gadis malang yang terus meminta tolong itu. Namun, sekali lagi tubuhku terasa kaku dan tak dapat bergerak. Siapapun tolong gadis kecil itu.

Aku terus berusaha menggerakkan tubuhku dan tanpa henti meneriakkan kata meminta tolong. Entah pada siapa tapi aku berharap ada yang mendengar suaraku. Kilatan petir disusul dengan bunyi guntur seakan menambah genting pemandangan yang sudah genting sebab derasnya hujan yang seakan ikut menangis, menemani tangisanku yang entah sejak kapan menelusuri pipi. Membelai pipiku yang dingin oleh guyuran air hujan yang tak henti menuruni bumi, memberikan gelenyar hangat sepanjang aliran air mata sebelum turun bersama hujan.

Pria berjaket yang sedari tadi membelakangiku membuka pintu mobil dengan tangan kanannya. Sekali tarikan pintu mobil BMW yang sudah terlihat tua itu langsung terjeblak lebar. Gadis kecil berumur sembilan belas tahun itu menahan tubuhnya dengan satu tangannya yang bebas dari cengkeraman agar tubuhnya tidak masuk kedalam mobil.

Rupanya gadis itu hendak diculik, Ya Tuhan kenapa tidak ada orang yang menolong?.
“Lepaskan dia!” tiba-tiba seorang anak kecil berlari menghampiri gadis itu dan menarik sebelah tangannya. Sayangnya aku tak dapat melihat wajahnya sebab anak kecil itu juga membelakangiku. Hanya punggungnya yang memakai kaos berwarna merah dengan tulisan dari sablon berinisial ‘A.S.A.N.D.A’ yang terlihat olehku. Aku terus meminta tolong hingga aku terkejut dan seketika terbangun dengan benda dingin yang menyentuh dadaku.

“Zahra! Kamu nggak apa-apa sayang?” pekik bunda saat aku terbangun dengan satu sentakan sehingga membuat posisiku langsung terduduk dengan napas yang terengah.

Aku masih tidak menghiraukan bunda sebab aku sendiri masih mengatur napasku yang menderu. Seperti aku baru saja berlari marathon. Detak jantungku terasa berdetak dua kali lebih cepat, bahkan tubuhku gemetar hebat. Badanku terasa lengket sebab keringat membasahi tubuh dan wajahku. Bahkan setengah bajuku basah.

Setelah napasku mulai stabil begitu juga dengan detak jantungku yang berangsur normal kembali, barulah aku memandangi isi kamarku yang berubah menjadi sangat ramai. Disampingku ada bunda yang duduk diatas ranjang, tangannya menyeka lembut keringat didahiku, sesekali aku menangkap air muka sedih dari ekspresi khawatir yang bunda tampilkan. Kak Azzam berdiri di sisi kiri ranjang dengan raut muka cemas dan tangan terlipat di depan dada, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. Sedangkan ayah berdiri di ujung ranjang dengan wajah yang tak kalah cemas, dari tempatnya berdiri aku bisa memandang lurus ke tempat ayah dan begitu juga sebaliknya sebab kami benar-benar berhadapan. Kenapa semua orang ada disini?.

Dokter!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang