Bahkan sesungguhnya, mata perempuan pun akan membelalak takjub dan tersihir ketika melihat Tini. Pada saat pertama kedatangannya yang langsung menuju rumah Pak Kades, adalah Sunarti, adik bungsunya yang membukakan pagar. Sunarti yang masih SMP itu sempat berubah jadi patung ketika melihat Tini membuka kacamata hitamnya sembari menyibakkan rambut, adegannya cukup berulang-ulang terputar di kepala Sunarti. Tini bak supermodel yang baru tersorot kamera di sebuah film, sosoknya membelakangi matahari. Matahari yang ikut tersihir kecantikannya, memancarkan sinar tak terlalu panas. Khawatir membuat Tini tak nyaman. Sunarti menganga, bengong.
"Sunarti." Panggil Tini. Seketika Sunarti terlempar sadar, bahan batu yang menjadikannya patung sesaat lalu, hancur. Dia melangkah pelan menyambut orang yang memanggil namanya secara lirih. "Aku kakakmu."
Sunarti bahkan hampir lupa segala ingatannya tentang dunia, tentang jati dirinya, keluarganya, dan makhluk apa dia. Dia pun sampai lupa aksara dan bahasa. Sunarti terpaku membisu. Masih menganga. Tini menjentikkan jari dan segala ingatan yang sirna sekejap itu kembali merasuki adiknya. Masih cukup linglung, "kakak?" yang Sunarti ingat adalah kakak keduanya yang bernama Sulastri. Saat itu lagi ada di dapur, membuatkan ayahnya kopi. Sulastri tidak secantik perempuan yang sedang berdiri di depan pagar. Jauh sekali. Perempuan yang datang itu sama sekali tidak mencerminkan kecantikan yang dimiliki putri-putri Pak Kades. Putri-putri Pak Kades, biasa saja.
"Ya, kakakmu. Sukartini. Panggil aku Tini saja sekarang."
Sunarti sebenarnya sudah mulai berjalan semenjak tadi, langkahnya terlampau pelan, menyaingi lambatnya bekicot bahkan. Pagar belum juga dibuka. Meski begitu, Tini tetap sabar. Dia menikmati efek dari kehadirannya. Sunarti mencoba menjaring kembali ingatannya tentang kakak pertamanya. Hampir nihil. Ayahnya tidak pernah cerita. Ayah tidak pernah cerita Sunarti punya kakak artis. Atau bukan artis? Sunarti mencoba mengingat dengan berkali-kali menyebut nama Sukartini. Belum juga dapat.
"Habis gelap terbitlah terang." Tini memicu ingatan Sunarti.
Mendengar kalimat itu ingatan Sukartini kini pindah ke momen-momen Ibunya masih sehat dan suka bercerita. Kala itu adalah 21 April, entah berapa tahun lalu, ibunya masih segar, dan pada hari itu tengah memakai kebaya, tapi bawahannya celana jins. Ayahnya sempat memrotes dan meminta dengan keras agar ibunya ganti pakai balutan kain. Ibunya menolak lebih keras. Ayahnya tak terima dan menampar ibunya. Ibunya tak menangis, justru mengajak Sunarti dan Sulastri masuk ke kamar dan menceritakan kakak tertua mereka yang bernama hampir sama dengan hari besar itu. Sukartini.
Sulastri sudah kenal dengan Sukartini, bahkan menyebut nama julukan yang diberikan orang-orang kepada Sukartini, yaitu Karti Benguk, karena hobinya teriak-teriak di malam hari. Ibunya tak suka Sulastri menyebut Sukartini edan. Akibatnya Sulastri ditendang sampai berguling jatuh ke lantai. "Kakakmu tak pernah gila. Yang gila adalah warga desa ini! Termasuk ayahmu."
Sulastri kabur dari kamar dan mengadu pada ayahnya. Sunarti kebingungan mencermati situasi itu. Waktu itu dia masih kecil. Dia sayang ibu. Ingatannya tentang kakak pertamanya samar-samar. Ketika dia sudah bisa menyadari isi dunia, Sukartini sudah hilang. Sunarti hanya bisa menangis dan meraung-raung ketika ibunya dipukul pakai sapu oleh ayahnya. Hinaan ibunya sudah sampai ke telinga ayah, berkat Sulastri. Ayahnya memukul sambil menyumpah, "Istri gila, ngasih anak pertama juga gila! Jangan sampai anak yang lain juga ikut gila!"
Dan itulah penyebab jatuh sakitnya sang ibu.
Sunarti kembali ke alam nyata. Melihat kembali ke Tini yang berdiri di depan pagar. "Kak Sukartini." Sunarti menyebut nama itu sambil meneteskan air mata. Sesungguhnya dalam hati dia mengutuk perempuan yang datang itu sebagai penyebab ibunya dihajar begitu sadisnya oleh ayah. Tapi tak ada yang bisa menghentikan Sunarti dari mengikuti permintaan Tini untuk menyambutnya dan mengajaknya masuk ke rumah.
"Terima kasih, Sunarti." Tini membuka tas dan mengeluarkan cetakan undangan. "Tolong simpan ini. Tujuh hari dari sekarang, tolong diedarkan ke semua laki-laki di desa ini." Sunarti menerima dan mengangguk. Dia simpan undangan itu. Dan dia baru akan ingat tugasnya tujuh hari kemudian.
Lebih parah dari Sunarti, Pak Kades melongo sampai keluar air liurnya. Penisnya berdiri melesak pengin keluar dari resleting celana ketika melihat Tini melangkah masuk. Kalau Sunarti tadi melihat Tini berpenampilan anggun bak artis, Pak Kades melihat Tini masuk ke rumah dengan bikini saja. Pak Kades melupakan kopi yang baru dibuatkan Sulastri. Kini Sulastri sudah masuk kamar untuk menemani ibunya.
Tini masuk tanpa mengucapkan salam kepada Pak Kades yang duduk di kursi goyang. Dia langsung saja berdiri di hadapan Pak Kades. Kalau di mata Sunarti Tini hanya sedang melepas jaket blazer, di mata Pak Kades, Tini sedang melucuti bikininya. Sehingga apa yang terpampang di mata lelaki itu adalah Tini yang sedang telanjang bulat. Apa yang tersaji itu membuat Pak Kades lupa diri. Lupa anak istri. Penis yang mendesak di resleting akhirnya dia bebaskan. Pak Kades ingin menyerbu Tini. Tapi dia tak bisa bangkit dari kursi goyang. Akhirnya tangannya saja yang bertindak. Air liurnya menderas. Membuat bajunya basah, dan dalam waktu tiga menit kemudian, celananya ikutan basah bercampur air mani yang muncrat. Sunarti melihat itu dengan jijik. Dia bahkan tak mampu untuk menutupi mukanya. Perilaku ayahnya membuatnya pengin muntah. Tini menjentikkan jari, membuat Sunarti melangkah maju ke depan Pak Kades. Bahkan di mata Pak Kades, Sunarti pun sedang tidak pakai baju. Dia membuka tangan pengin memeluk Sunarti yang kini sudah beranjak remaja, sudah ada payudaranya. Pak Kades melorotkan celananya, memamerkan penis setengah tegang. Yang diberikan Sunarti adalah muntahan sarapan. Lengkap kini mengotori pangkuan Pak Kades.
Tini menjentikkan jari lagi. Pak Kades mulai mengocok lagi penisnya. Sementara Sunarti mengikuti Tini masuk ke kamar ibunya.
Sulastri disuruh pergi. Dia keluar kamar dan melihat ayahnya sedang onani. Dia ikut menyumbang muntahan di pangkuan Pak Kades. Lalu berdiri saja di depannya. Bahkan di mata Pak Kades, Sulastri pun sedang tak mengenakan busana. Teruslah dia mengocok penisnya sampai lecet.
Di dalam kamar, Sunarti menyaksikan keajaiban. Dia menangis tersedu-sedu. Untuk pertama kalinya semenjak ibunya jatuh sakit, ibunya dapat memandang dengan benar. Ibunya menatap Tini dengan berkaca-kaca. Tangan ibunya bisa bergerak lagi. Mengusap pipi halus Tini. Air mata jatuh dari mata ibunya. Dan untuk pertama kalinya Sunarti mendengar lagi suara ibu.
"Tini, kau sudah pulang." Diucapkan secara lirih dan sangat perlahan.
"Aku sudah pulang bu." Tini mengecup kening ibunya. Lalu mengajak Sunarti untuk pelukan bersama. Sakit menahun ibunya kini sudah terangkat. Tini membantu ibunya untuk duduk. Tini dan Sunarti sungkem lama di pangkuan ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SETAN LEWAT
HorrorBersama setan yang lewat sembarangan. Tini alias Karti Benguk menitipkan dendamnya. Menghilang selama bertahun-tahun, Tini kembali ke desanya dan membuat semua lelaki gempar. Tini yang dulu dicap edan, kini kembali dalam wujud perempuan jelita pemi...