Bertamunya Lutung Putih dan Kebo Bule

456 41 1
                                    

Mbok Sinawang pengin memiliki tuyul lagi. Tapi ternyata sudah lama tak diketemuinya pasangan-pasangan gelap yang menggugurkan kandungan. Si genderuwo sudah bahagia bersama Sulastri. Dia tak mau lagi diminta bantuan. Tuyul-tuyul yang ada, sudah tak mau untuk menjelajah waktu. Mereka menutup mata dengan ikatan kain yang telah dijampi-jampi sendiri menggunakan air kencing dan cuilan kuku kuda. Ikatan itu tidak bisa Mbok Sinawang buka. Acapkali tangannya mau menyentuh, melepuh yang dia dapat. Dan khasiat lain dari ikatan pesing itu adalah para tuyul jadi tidak bisa digapai sama sekali. Satu tuyul ada di depan mata, tapi ketika mau ditangkap, mereka berpindah seketika.

"Baiklah, kalau begitu kalian tidak perlu lagi menyusu jempol kakiku. Silakan kalian pergi. Tidak usah kembali. Silakan cari jempol kaki baru."

Tuyul-tuyul itu betulan pergi. Sebelum mereka pergi, perkakas dalam rumah Mbok Sinawang diacak-acak. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Mbok Sinawang benar-benar sendiri. Dia mau menangis tapi tak keluar air mata.

Di malam-malam gundahnya, mimpi itu selalu datang. Mimpi kedatangan sosok yang dilihatnya di balik kandang sapi tempat Karti Benguk dulu dipasung. Sosok itu masih tak jelas bagai kabut dan asap. Tapi ancamannya begitu terasa. Membuat Mbok Sinawang menggigil, baik masih di mimpi maupun di dunia nyata. Bangun-bangun, tempat tidurnya basah oleh ompol.

Mata terbuka pertama di pagi hari itu disambut oleh mata bulat penuh ancaman dari sosok dalam mimpi. Bulat dengan pupil pipih. Dikelilingi api. Seumur-umur Mbok Sinawang sering menemui makhluk-makhluk gaib dengan tampang buruk. Mereka buruk, tapi tidak menakutkan, walau sebagian besar dari mereka suka sok sok seram. Tapi yang ini, sedari tidak begitu jelas tampangnya saja sudah menguarkan ancaman. Mbok Sinawang khawatir dengan hidupnya.

Apakah ini tandanya Mbok Sinawang harus taubatan nasuha? Waktunya Mbok Sinawang pergi menghadap Pak Kiai dan mengucap kalimat syahadat? Pak Kiai pasti sangat senang, mungkin. Kecuali memang Pak Kiai sedari awal punya sentimen negatif terhadapnya. Mau niat sebaik apa pun, pasti tertolak. "Amit amit." Kata Mbok Sinawang sambil meludah ke samping.

Mbok Sinawang sudah tahu sesuatu yang busuk dari orang sok berpenampilan suci itu. Akan diungkap nanti-nanti saja.

Mbok Sinawang menenangkan diri dengan berendam air kembang tujuh rupa. Lalu membakar kembang untuk dihirup aromanya. Lalu dia pergi ke kebun keramat, di kuburan leluhurnya. Berdiam diri di sana. Bersandar pada batu Yathuk. Keduanya hening karena sama-sama malas mengeluarkan suara.

Saking malasnya, Mbok Sinawang tidak melakukan apa-apa ketika desa kedatangan lagi tamu gaib. Yaitu lutung putih mengendarai kebo bule. Kedua makhluk itu datang di tengah malam. Para peronda di gerbang desa dibuat tidur pulas. Lutung putih dan kebo bule membuat orang-orang awam langsung tersirep. Mereka jalan-jalan di sepanjang jalanan desa. Melewati depan setiap rumah. Berhenti di setiap jendela yang terbuka, membuat mata yang masih melek membelalak kaget lalu pingsan. Lutung putih dan kebo bule itu berpendar transparan. Sebelum orang-orang pingsan atau tersirep, mereka sudah terlebih dulu melihat penampakan mereka. Lutung putih dan kebo bule memastikan tidak ada seorang pun yang tak melihat kedatangannya. Bahkan lutung putih sengaja mengetuk jendela agar penghuni rumah melihat kedatangannya.

Ada satu yang tidak dilihat oleh semua warga, termasuk Mbok Sinawang. Ralat, kecuali satu, si Yathuk batu. Ketika lewat di kebun keramat lutung dan kebo bule itu seperti sedang dicegat. Kabut-kabut membentuk sosok-sosok dan menghalangi mereka. Saat itu juga lutung dan kebo bule lenyap. Sosok-sosok dari kabut itu yang sering mengucap permisi ketika lewat depan Yathuk. Entah apa tujuan mereka mencegat lutung dan kebo bule. Sayang sekali Mbok Sinawang tidak menyaksikan itu. Padahal dia greget sekali untuk menangkap salah satu setan sopan yang suka mengucap permisi.

Esok harinya, warga pada membicarakan tentang lutung dan kebo bule itu. Mbok Sinawang yang mendengar obrolan itu, jadi uring-uringan. Dia terlalu tenggelam dalam duka sampai melewatkan hal tersebut. Dia menanyai Yathuk.

"Lihat lutung dan kebo bule kau semalam?"

"Ya."

"Lalu?"

"Ya begitu saja."

"Begitu saja bagaimana?"

"Hilang begitu saja."

"Hilang begitu saja bagaimana?"

"Entah, seperti ada yang mengusir."

"Siapa yang mengusir mereka?"

"Ya."

"Heh! Jawab yang benar."

"Aku tidak lihat."

"Dasar pemalas. Lain kali lihat dong yang lebih jelas. Sudah jadi batu masih tetap malas. Tak peduli kau dengan desa ini?"

"Tidak."

"Bedebah."

"Ya."

"Bikin malas saja."

"Bagus."

Yathuk juga tidak tahu kenapa dia tidak bisa mengungkapkan tentang sosok-sosok kabut lebih jauh kepada Mbok Sinawang. Seperti ucapan permisi oleh setan-setan itu membuatnya berjanji demikian. Perjanjian tersembunyi dan tak disadari.

Sebal dan dikuasai duka, Mbok Sinawang menyiram batu Yathuk dengan bensin dan membakarnya. Yathuk bergeming. Api tidak menyakitiya. Tapi setidaknya ada kepuasan tersendiri bagi Mbok Sinawang saat menyulut api. Sambarannya menyenangkan.

Ada sesuatu yang dilakukan oleh lutung putih dan kebo bule selain numpang eksis dan mengetuk jendela setiap rumah. Hewan-hewan buas di kandang pribadi Om Napan, hilang. Agak siang, anak buah Om Napan mendapati pintu kandang gembok dan selotnya dalam kondisi terbuka. Hal itu memicu kepanikan. Om Napan mencoba agar hal itu tidak bocor. Tapi bertepatan dengan itu, Pak Kades bersama empat istrinya datang berkunjung untuk minta dana kampanye. Si anak buah yang panik tampak oleh empat istri Pak Kades yang disuruh menunggu di luar, duduk-duduk di taman. Mantan istri Karjo penasaran, dia menanyai si anak buah. "Sepertinya, hewan buas Om Napan pada lepas." Mantan istri Karjo berjengit. Hal pertama yang ada di kepalanya adalah: harus beritahu yang lain!

Mantan istri Karjo mengirim pesan kepada teman-teman arisannya.

Siang itu, desa terserang kepanikan massal.

"Hewan buas lepas!"

Rumah-rumah langsung dikunci rapat. Pagar digembok bertubi-tubi. Jendela kaca dipasangi teralis. Hewan-hewab buas Om Napan yang lepas antara lain adalah: macan kumbang, harimau putih, dan gorila. Ketiga hewan itu, sengaja tidak dijinakkan oleh Om Napan.

"Menyesal kita kenapa batal mengusir orang itu. Peliharaannya berbahaya!"

"Kita lapor ke pihak berwenang?"

"Kayak mereka peduli dengan kita saja."

"Mungkin ada yang peduli."

"Pamor yang mereka pedulikan."

"Lalu bagaimana ini?"

"Biarkan hewan buas itu saling bunuh."

"Mana mungkin?"

Sampai sore dan hari-hari selanjutnya, kepanikan itu berangsur-angsur hilang. Sebabnya adalah tak ada berita tentang rumah yang diserang hewan buas.

"Ke mana mereka pergi?"

"Ke habitat aslinya mungkin?"

"Kenapa Om Napan tidak juga kembali ke habitat aslinya?"

"Memang Om Napan habitat aslinya di mana?"

"Neraka."

Pesan berantai masuk keponsel masing-masing warga. Mereka berangsur-angsur berani keluar rumah.

SETAN LEWATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang