Unjuk Taring Dengan Menyewa Orang Sakti

434 42 3
                                    

Hari-hari berlalu. Angin bertiup semu. Daun-daun berjatuhan, menghampiri wajah yang jemu. Sudah hampir satu minggu Pak Kiai tidak beranjak dari musala. Air tetap mengucur. Barang-barang yang berserakan, dia tata kembali, lalu diporakporandakan lagi. Air tetap mengucur. Tapi Pak Kiai tidak mandi-mandi. Warga tidak ada yang peduli sudah seminggu tidak ada yang azan. Di kala malam, musala dibiarkan gelap. Sementara Pak Kiai tetap di tempatnya. Tidak beranjak. Warga tidak ada yang khawatir kalau-kalau Pak Kiai meninggal. Tak ada yang mengecek. Sanak saudaranya tidak ada di desa ini, semuanya merantau ke kota. Pak Kiai sama dengan Mbok Sinawang, sebatang kara. Tua dan sebatang kara.

Diam dan merenung. Diam dan berpikir. Tenggelam dalam kelam. Di setiap manusia, memiliki sisi kelam. Pada waktu yang tepat, sisi itu akan terkuatk, walau sepanjang hidup mencoba menampilkan saja yang terang. Apakah pada waktu kelam mengungkapkan dirinya, di situlah titik terpuruk seorang manusia? Mungkin iya mungkin tidak. Atau bisa saja itu malah mengungkapkan sisi sejati manusia? Sisi terbaik bahkan. Sisi dengan potensi maksimal.

Pak Kiai tengah tenggelam dalam pikirannya.

Hati dan pikirannya berkecamuk. Seperti badai. Saling bertentangan. Saling berperang. Kalau mata gaibnya dibuka, sudah pasti akan terlihat dua sosok merah dan putih. Yang merah membisikkan niatan jahat, yang putih menasehati agar tidak mengikuti yang merah.

Di malam-malam kelam, hati dan pikiran Pak Kiai berkecamuk, sampai dia tak sadar ada yang hadir selain dirinya di sekitar musala. Tepatnya di pohon kapas. Di situ ada sepasang mata kuning melayang di kegelapan. Pak Kiai tidak menyadari adanya suara selain hening. Ada suara geram rendah dari makhluk yang mengintai. Makhluk itu sudah mengamatinya dari tiga hari yang lalu. Tapi tak kunjung menyergap dan melumatnya seperti korban di kandang kambing.

Si macan kumbang senang saja mengamati orang yang sedang dalam dua pertimbangan. Antara membunuh atau menyerah. Si macan sudah kenyang. Dua malam kemarin dia sudah menyerang desa-desa seberang. Ada enam belas manusia yang terkoyak tubuhnya. Si macan kumbang tenang saja, dia tak akan pernah tertangkap, sebab dia memiliki penjaga dalam wujud kabut. Yang senantiasa akan menyelimutinya dalam halimun.

Di kala hari terang, Mbok Sinawang mengunjungi Pak Kiai. "Kau mulai gila."

Pak Kiai tidak menjawab. Dia masih terkurung dalam pikirannya yang berkabut. Kabut ilusi. Pak Kiai sudah kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang bukan. Satu minggu dia uring-uringan dan berbaring saja di depan musala. Dia tidak mendengarkan apa yang dikatakan siapa pun dan apa pun.

"Masuk dunia lain kau?" Mbok Sinawang menendang-nendang tubuh Pak Kiai, tapi tak ada respon dari orang saleh itu. Mata Pak Kiai menatap tanpa kedip tepat ke arah matahari. "Bisa katarak kau."

Mbok Sinawang akhirnya pergi meninggalkan Pak Kiai. Di dalam kepala Pak Kiai, kejadiannya berlangsung berbeda. Dia sudah menentukan pilihan. Mengeliminasi ancaman. Mbok Sinawang adalah ancaman besar baginya. Taruhannya adalah reputasi. Pak Kiai adalah orang alim di desa ini. Kalau rahasia itu terkuak, bisa habis dia.

Di dalam kepala Pak Kiai, kejadiannya berlangsung berbeda. Dia mencengkeram batu sekepal dengan sisi-sisi tajam. Sekepal namun berbobot. Kalau dihantamkan ke kepala, bisa bocor ngocor. Dia bangkit dan melompat tinggi, seperti adegan di film silat, ketika musuh menyerang dari belakang. Hiyaaaahhh. Prok. Kepala bocor, musuh jatuh terkapar. Alias, Mbok Sinawang jatuh terkapar. Rahasianya mati bersama perempuan itu.

Tapi itu hanya berakhir di dalam kepala. Pak Kiai tidak sanggup melakukannya. Pertikaian merah dan putih di samping telinga, membuat tubuhnya lumpuh. Matanya tak mau terpejam. Seperti dikutuk.

Di hari kelimabelas, Pak Kiai sudah tak lagi di musala. Tahu-tahu dia sudah ada di rumah. Melakukan kegiatan seperti biasa. Tapi dia tak lagi pernah ke musala. Dia pergi ke masjid desa sebelah.

Di malam sebelum hari kelimabelas itu tiba, ada yang muncul dari kabut. Pak Kiai tak bisa melihatnya. Si macan kumbang yang bisa. Karena munculnya sosok wanita cantik itu bareng bersamanya. Macan kumbang menjadi peliharaan wanita itu. Si wanita berjalan anggun dengan pakaian rok pendek. Dia berdiri tepat di atas muka Pak Kiai. Kalau saja Pak Kiai sadar, matanya akan langsung melihat celana dalam si wanita. Si wanita berdecak menyaksikan Pak Kiai yang ngadat itu. Si wanita mengingat masa lalu. Pak Kiai itu telah melakukan hal keji padanya. Mbok Sinawang tahu.

"Karmamu masih nanti datangnya. Waraslah dulu." Si wanita membungkuk, telunjuknya menyentuh kening Pak Kiai. Kalau saja Pak Kiai sadar, matanya pasti langsung melihat belahan dada si wanita.

Dalam satu bulan, musala sudah penuh sarang laba-laba. Keran sudah kering, tak mengucurkan air lagi. Pak Kiai sama sekali lupa terhadap musala itu. Dia setiap sore jalan-jalan keliling desa dengan perasaan ringan. Setiap sore dia selalu lewat jalanan depan musala, tapi musala itu seolah tak tampak di matanya. Yang paling tampak di matanya adalah kabut membentuk di kebun keramat Mbok Sinawang. Di sana tempat batu Yathuk berdiri. Pak Kiai rutin mampir di sana. Dia tidak sadar, di balik kabut ada si macan kumbang yang mengawasinya. Kabut sore yang magis.

Sementara itu, warga yang mulai kaya mendadak, bingung mau berbuat apa dengan harta yang dimiliki. Mat Samsi sampai bingung mau bagaimana membagi harta di rumah Om Napan yang seolah tak pernah habis. Dia sampai capek menginventaris harta-harta itu. Lama kelamaan dia sendiri curiga, karena setiap kali dia mengambil satu barang berharga seperti piala emas, di tempat dia mengambil barang itu tadi, muncul barang baru secara magis.

Desa itu punya rutinitas baru. Setiap siang jam sekian, mereka akan mengantri di rumah Om Napan untuk mengambil barang-barang. Sore mereka membawa barang itu ke pasar, ke toko emas untuk dijual. Mereka pulang membawa barang lain beserta uang sisa yang cukup banyak. Barang dan uang itu mereka tumpuk di rumah masing-masing.

Desa seberang ada yang penasaran. Salah satunya pura-pura lewat, dan mengamati rumah Om Napan yang penuh orang mengantri. Si orang desa sebelah itu mendengar kalau di rumah itu sedang ada pembagian barang untuk dijual dan dimanfaatkan. Dan si orang desa sebelah itu melihat warga pulang membawa bergepok-gepok uang.

Si orang desa sebelah itu bersiap untuk nanti malam. Istrinya disuruh begadang menjaga lilin.

Sementara itu Pak Kadesmengamati dari jarak aman apa yang terjadi di rumah Om Napan. Dia sebal bukanmain. Harta Om Napan yang seharusnya jadi modal kampanyenya, dirampas olehwarga desa dengan seenaknya. Itu tak bisa dibiarkan. Pak Kades harusmenunjukkan lagi taringnya. Dia pergi mencari orang-orang sakti untuk merebutkembali rumah Om Napan.

SETAN LEWATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang