Teriakan Yang Memulai Pagi Panjang

440 52 6
                                    

Sebuah teriakan memekikkan telinga memulai pagi yang panjang di desa itu. Sebuah rumah warga yang dekat dengan kebun keramat. Anak penghuni rumah itu yang menjerit histeris lantas memukul kentongan tanda butuh bantuan akan marabahaya. Warga lain yang masih kriyip-kriyip matanya, bangun malas-malasan untuk menengok apa yang terjadi. Si anak memukul kentongan seperti waktu lagi membangunkan sahur ramadan beberapa bulan lalu.

Pak Kiai kemudian yang mengajak warga untuk keluar rumah dan menyelidiki apa yang terjadi.

Bau darah kental menguar di udara. Sontak membuat warga yang berbondong datang menutup hidung rapat-rapat, meski begitu ada anak kecil yang malah sedap menghirupnya. Bocah itu, kebiasaan mengirup lem aibon memang. Bocah itu menyelinap di kerumunan orang dewasa dan berhasil menuju lokasi jeritan panjang di pagi hari itu dimulai.

Lokasinya adalah kandang ternak. Warga itu dikenal sebagai pemasok kambing waktu kurban. Selama beberapa tahun terakhir ini kambingnya hanya sedikit. Cuma lima ekor. Dulu waktu dia masih kondang-kondangnya, sepanjang tahun kambingnya paling sedikit ada dua puluh ekor. Namun semua itu berubah ketika salah satu gerombolan Karjo tertangkap basah memerkosa salah satu kambingnya. Entah bagaimana, kambingnya kalau lebih dari lima ekor, kambing keenam akan mati misterius. Maka Cak Wedus, nama peternak itu, tidak pernah memelihara kambing keenam dan seterusnya. Yang mungkin terjadi adalah dia akan menjual kelima atau beberapa kambingnya, lalu menambah lagi, tapi tidak boleh lebih dari lima. Itu pelajaran baginya, setelah lima kali percobaan. Pemuda yang dulu memerkosa kambingnya, ikut mati dalam huru hara di rumah Om Napan. Cak Wedus bersyukur akan hal itu. Pemuda itu bikin sial usahanya.

Sayangnya, si bocah menemukan penyebab jeritan panjang di pagi hari itu adalah jasad Cak Wedus yang terkoyak, membujur mustahil, badan tertekuk-tekuk dikelilingi lima bangkai kambing yang lehernya pun terkoyak. Serentak, warga yang mendapati hal itu tersambar kengerian dan saling menjerit.

"Astaga!"

"Kutukan apa lagi ini!"

"Wabah misterius tak henti-hentinya melanda desa kita."

"Ini pasti ulah vampir!"

"Bukan, ini perbuatan macan kumbang yang lepas dari kandang Om Napan."

"Tapi itu belum tentu."

"Kau mau jaga?"

Pagi itu spekulasi-spekulasi bermunculan. Semua pihak punya versi yang diyakini. Si bocah tukang hirup lem aibon itu muntah-muntah, setelahnya dia lari cepat menuju rumah Mbok Sinawang.

"Mboook!"

Sepuluh kali panggilan, Mbok Sinawang baru menyahut, dan keluar dari rumah. "Ada apa bocah lem?"

"Ada yang mati!" bocah itu mengatakan mati ditambah k yang mati di belakang i. Bocah lem itu ngos-ngosan. Mengambil napas. Tapi ketika mengucapkan informasi itu nadanya jelas dan nyaring.

"Siapa lagi yang mati?"

"Cak Wedus."

"Oh, si tukang angon kambing gagal itu."

"Iyak! Mbok mau ke sana tidak?"

"Memangnya diperlukan? Bukannya Pak Kiai sudah di sana?"

"Mereka pada adu bacot."

"Adu bacot apa?"

"Tentang penyebab kematian Cak Wedus dan kambing-kambingnya."

"Memangnya seperti apa kematiannya?"

"Mengerikan, leher dan tubuh Cak Wedus terkoyak-koyak. Seperti dilindas tronton."

Mbok Sinawang membayangkan situasi itu dengan jelas di kepalanya. Pasti warga di sana pada muntah-muntah. "Orang-orang muntah-muntah?"

"Ada beberapa termasuk aku. Tapi sisanya malah bikin isu."

"Dasar emang warga kita kebanyakan menggosip."

"Jadi Mbok mau ke sana tidak?"

"Lihat nanti saja." Waktu melihat si bocah lem, Mbok Sinawang teringat akan tuyul-tuyul yang mati dan tuyul-tuyul yang durhaka padanya. Bentukan si bocah lem persis seperti tuyul-tuyul. Dia botak dan ingusan. Kulitnya hitam karena kebanyakan keliaran siang bolong, mencari kaleng lem bekas di terminal.

Waktu si bocah lem kembali ke tempat kejadian perkara, di sana sudah ada mobil polisi dan mobil jenazah. Pak Kiai yang memanggil mereka. Istri Cak Wedus, menolak jasad suaminya dibawa. Dia mau suaminya dikubur di desa ini saja. Tidak perlu diselidiki. Pak Kiai membujuk istri Cak Wedus, "Ini demi keamanan warga. Kematian suamimu sangat tak wajar. Polisi pengin membantu mengungkapnya. Biar kita tahu ada ancaman apa."

Seorang petugas polisi, bicara dengan rekannya, dan pembicaraan itu terdengar oleh warga. Warga yang mendengar itu langsung teriak mengumumkan. "Ini akibat terkaman binatang buas! Tidak salah lagi, ini pasti macan kumbang yang lepas dari kandang Om Napan!"

Warga langsung berbalik arah menuju rumah Om Napan untuk meminta pertanggungjawaban. Bocah lem jadi semringah, dia suka kalau ada konflik seperti ini. Sangat seru. Seperti di film-film. Dia mengikuti warga. Mengendap-endap di tempat aman. Maklum, dia takut ketimpuk batu atau senjata lainnya. Sebetulnya dulu waktu terjadi kerusuhan, dia ada di dekat lokasi, di atas pohon, ditemani sosok halus yang tak bisa dilihatnya.

Petugas polisi yang datang langsung mengikuti warga, berusaha mendahului dengan naik mobil. Tapi mereka malah dihadang, mobil polisi tidak bisa bergerak. Kaca mobil digedor-gedor. Polisi dimaki-maki. "Mau membela si pembunuh tajir itu lagi heh? Tak akan kami biarkan!"

Warga lebih menuruti amarah daripada mengurusi jasad Cak Wedus. Apa daya, akhirnya istri Cak Wedus mengurusi jasad suaminya sendiri. Membungkusnya dengan kain sarung dan menggali tanah di dekat kandang, dan menimbunnya. Dia berharap, ada pohon nangka tumbuh dari situ. Suaminya menginginkan pohon nangka semasa hidup.

Kaca mobil polisi pecah. Warga yang beringasan menarik keluar si polisi dan dihajar langsung di tempat. Petugas ambulans yang ketakutan, langsung lari meninggalkan mobil, mencari jalan keluar dari desa itu selain dari gerbang desa. Tidak masalah kalau harus menyeberang sungai dan menyusuri jurang.

Warga yang sudah menyusun rencana untuk suatu waktu menghakimi lagi Om Napan, sudah tahu titik-titik rentan di rumah Om Napan. Mereka sudah pada posisi dan menyusup masuk. Sementara para tukang pukul sibuk menghadang warga dari depan. Warga yang menyusup itu menculik tiga istri Om Napan, sebagai jaminan.

"Om Napan si mafia, tanggung jawablah kau. Hewan-hewan buasmu telah lepas dan sekarang kembali untuk memangsa saudara kami. Tanggung jawablah. Kami tidak mau tahu bagaimana caranya, tangkap kembali hewan-hewan buasmu, atau tiga istrimu kami gauli ramai-ramai. Sementara waktu, kalau hewan-hewan buasmu belum tertangkap, tiga istrimu kami sekap."

Om Napan baru panik. Dia mementingkan keselamatan tiga istrinya. Dengan gagah dia keluar rumah membawa senapan laras panjang. Puluhan tukang pukulnya menjaga pagar besi agar tidak roboh didorong-dorong oleh warga.

"Aku akan tanggung jawab. Aku sudah siapkan senapan pembius hewan buasku. Aku akan kerahkan orang-orangku untuk ronda malam dan berburu. Jangan khawatir."

Anak buah Om Napan melirik bosnya dengan tatapan mata ngeri. Dalam hati mereka, "Sial, kita yang jadi tumbal."

Sementara itu, di kebun keramat, Mbok Sasih menginterogasi Yathuk batu. "Ada yang kaulihat tadi malam?" Mbok Sasih tahu, Yathuk yang malas, juga sering malas tidur.

"Ada apa?"

"Ada yang mati."

"Oh. Baguslah."

"Apa yang kaulihat tadi malam?"

"Ada dua."

"Dua apa?"

"Dua macan." Yathuk kemudian tertawa.

"Kenapa tertawa, sialan?"

"Kalau tiga, jadi grupdangdut."

SETAN LEWATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang