Dar Dor Dar Dor Bak Buk Bak Buk Dezing Dezing

499 47 2
                                    

Sesuatu yang sangat mudah kau sulut tanpa perlu bensin dan korek api adalah amarah. Amukannya lebih dahsyat daripada pom bensin kebakaran. Apalagi yang tersulut adalah massa. Enam letusan peluru itu mengundang tanya banyak warga. Banyak yang tak jadi sahur dan lebih memilih berbondong mendatangi rumah Om Napan. Di situ Pak Kiai sudah datang, dia di depan gerbang dan menahan warga. Sepertinya Pak Kiai sudah tahu duduk perkaranya.

Entah kapan datangnya, ada dua ambulans di rumah Om Napan. Warga melihat petugas rumah sakit tengah menggotong enam mayat terbungkus. Warga yang begitu penasaran, tak sudi dibendung oleh Pak Kiai, mereka menghampiri petugas rumah sakit dan memaksa membuka kantong mayat. Mereka pun kaget bukan main. Enam pemuda yang mereka kenal, terdapat lubang peluru di masing-masing dahi.

Demi membungkam amarah warga saat itu juga, Om Napan meletuskan lagi pelurunya ke langit. Dengan suara menggelegar mengalahkan megafon musala, dia mengumumkan apa yang terjadi, "Enam pemuda tengik ini hendak memerkosa tiga istriku. Untung aku pulang tepat waktu. Mana kutahu kalau mereka warga sini. Mereka pakai topeng!"

Warga melihat senapan Om Napan dengan takut-takut. Senapan itu kentara masih panas, baru saja memuntahkan lagi pelurunya ke langit. Peluru ancaman agar warga yang tersulut marah segera mundur. Pak Kades datang terlambat. Lalu dia mengajak bicara Om Napan. Pak Kades manggut-manggut dan bersalaman. Dengan suara menggelegar juga, Pak Kades minta warga untuk pulang melanjutkan sahur.

"Sudah imsyak Pak!"

"Terserah. Bubar kalian!"

Warga bubar dengan bersungut-sungut. Keluarga dari enam pemuda itu menyusul mobil ambulans. Mereka menangis menderu-deru.

Pak Kades dan Pak Kiai sepakat ini bukan kejadian disengaja. Om Napan hanya membela diri. Dia mengira enam pemuda itu perampok yang sekalian mau memerkosa tiga istrinya. Pak Kades dan Pak Kiai menyaksikan Om Napan tengah menenangkan tiga istrinya yang masih syok, dan masih mengenakan lingerie tipis transparan. Pak Kades dan Pak Kiai sama-sama tidak mengedipkan mata.

Demi menenangkan amuk warga, Pak Kades dan Pak Kiai membujuk Om Napan agar bersedia membawa kasus ini ke polisi. Mereka yakin alibi Om Napan bisa diterima. Om Napan sama sekali tidak tahu kalau enam pemuda itu warga sini. Om Napan setuju.

Agak siang, warga desa melihat mobil polisi parkir di depan rumah Om Napan. Mereka berkerumun di sana. Rumah Om Napan pun diberi garis polisi. "Tangkap saja itu pembunuh!" seru warga.

"Pistol dan senapannya tak berijin tuh!"

"Tembak saja kepalanya!"

Bukan rahasia, warga desa sesungguhnya tidak suka dengan Om Napan. Orang kaya itu lebih mirip mafia. Entah mafia apa. Om Napan terlihat berbahaya. Membuat warga desa takut-takut segan. Di rumahnya banyak tukang pukul yang berjaga. Salah satunya disewa jadi sekuriti rumah Pak Kades. Entah bisnis apa yang dilakukan Om Napan. Yang warga tahu, Om Napan suka berburu. Di rumahnya yang besar itu banyak hewan-hewan buas dalam sangkar besi. Rumornya, pernah ada maling nekat yang berakhir di salah satu kandang macan. Habis dimakan. Om Napan tak ubahnya mafia berdarah dingin.

Warga kecewa karena Om Napan dinyatakan tidak bersalah. Polisi hanya menyita senpi yang dipakainya membunuh enam pemuda. Di surat kabar yang beredar hari itu, salah satu judul beritanya adalah "Tiga Istri Enam Pemuda Enam Peluru"

Warga gerah membaca itu. Di suatu perkumpulan yang terdiri dari dua puluh laki-laki perkasa, baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga, membahas betapa muaknya mereka dengan Om Napan. Dia telah membunuh enam pemuda terbaik yang dimiliki desa ini. Perbuatan Om Napan harus dibalas. Mereka mau mengusir Om Napan dari desa ini.

Hawa malam berubah. Ada angin bertiup tapi tak membawa sejuk. Malah membawa pengap dan hawa dingin yang langsung menusuk tulang, tanpa melalui kulit. "Seperti ada yang lewat." Kata salah satu.

Mereka membahas lagi tentang Om Napan. Dan setiap menit, semakin mereka terbakar amarah.

"Bakar!"

"Bakar!"

"Bakar!"

Mereka menghentakkan kaki dan memukul drum yang digunakan anak-anak membangunkan sahur.

"Bakar!"

"Bakar!"

Mereka mau membakar rumah Om Napan. Salah satu dari mereka, kebetulan punya bengkel, membawakan botol-botol bensin yang disumbat kain. Mereka menyiapkan korek. Lainnya membawa golok, pentungan, linggis, kapak, dan sajam-sajam lain. Mereka mau berperang. Demi nama enam pemuda terbaik desa. Mereka tidak percaya enam pemuda itu mau memerkosa tiga istri Om Napan. Mereka menyulut juga laki-laki yang di luar kumpulan. Sebagian besar mudah tersulut dan ikut dalam kerumunan murka. Malam-malam, mereka seperti sedang piawai obor.

Di depan rumah Om Napan, sudah banyak para tukang pukul berjaga. Rupanya Om Napan sudah mengantisipasi hal ini. Tanpa basa-basi, warga melempar rumah Om Napan dengan bom molotov. Meletuslah perang. Empat puluhan warga melawan belasan tukang pukul bermuka sangar Om Napan. Belasan tukang pukul itu bersenjatakan ruyung, gada berduri, rantai dan gir motor, dan paling mematikan, pistol. Dar dor dar dor bak buk bak buk desing desing. Lolongan warga yang penuh amarah bak banjir bandang menghajar para tukang pukul.

Tapi apalah guna massa kalau tak punya perhitungan. Para tukang pukul itu sudah terlatih. Mereka punya keahlian debus dan bela diri yang mumpuni. Malam itu, desa kehilangan empat puluh laki-laki. Kenyataan itu membuat warga lain menjadi tak lagi berani melawan Om Napan. Meski begitu, mereka masih menanam murka. Suatu waktu, Om Napan harus diusir dari desa.

Dari kejauhan Mbok Sinawang menyaksikan dengan menggelengkan kepala, sambat. "Dasar laki-laki."

Desa itu telah kehilangan banyak perawan dan laki-laki dalam waktu singkat. Pak Kiai dan Pak Kades menyebut hal itu sebagai bencana kemanusiaan.

"Bencana kemanusiaan gundulmu." Kata Mbok Sinawang, tanpa dibunyikan. "Yang bencana itulah kalian, kaum laki-laki."

Di tempat yang jauh, di tempat antah berantah. Seperti dalam gua, tapi dengan interior bak istana, Tini dan ibunya menyaksikan bencana kemanusiaan itu. Tini bertepuk tangan sementara ibunya menggelengkan kepala. "Separah itu."

"Ya Bu, separah itu."

"Lalu ayahmu?"

"Nanti akan mendapat gilirannya."

Sudah tak ada cinta didalam hati Inayah ke laki-laki yang menjabat Kades itu. Dia tak ubahnya budakbagi laki-laki itu. Janjinya dulu waktu muda, akan menjadikannya ratu. Tapiternyata malah jadi babu. Tahu begitu mending tidak usah kawin saja. Laki-lakiitu, memaksa Inayah berhubungan badan sebelum waktu. Kemungkinan, di saatitulah benih laki-laki itu bersemi dan menjadi janin Sukartini. Mereka menikahtak lama setelah hubungan badan pertama itu. Biar buntingnya tidakmencurigakan. Waktu itu si Kades masih jadi ajudan Kades sebelumnya. HanyaInayah yang tahu, suaminya meracuni si Kades sebelumnya.

SETAN LEWATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang