Kisah tentang matinya puluhan laki-laki di desa itu akibat bentrok dengan tukang pukul Om Napan masuk berita utama koran lokal. Tukang pukul, walau punya debus, mereka banyak juga yang luka dan cedera. Pertempuran itu bagai ombak menerjang karang. Warga sepakat untuk tidak meniru para laki-laki itu. Bisa-bisa habis penduduk desa ini. Kebanyakan pada tidak berpikir dengan akal sehat. Semua menuruti kemauan setan. Atau kemauan mereka yang diamini setan. Tolong, jangan salahkan setan melulu. Yang punya pikiran itu kalian. Yang punya niat itu kalian. Setan sesungguhnya adalah kalian.
Pak Kiai menggerakkan kembali para muda mudi yang masih sehat akal pikiran untuk mengajak warga desa mengaji di musala. Apabila masih tidak mau, setiap ada pengajian megafon musala akan dinyalakan maksimum. Biar mereka mendengarkan, mau tak mau. Pak Kiai menekankan agar mereka bisa menahan diri. Meski dalam bulan ramadan, bukan berarti setan-setan terbelenggu semua. Setan-setan memang terbelenggu. Tapi setan dalam wujud manusia yang tidak.
Semakin hari, semakin dekat lebaran, musala semakin sepi. Hanya tinggal sebaris jamaah yang setia mendengarkan, walau sambil ngantuk-ngantuk. Pak Kiai resah, baru di tahun ini nuansa ramadan begitu mengerikan. Terlalu banyak darah dan tragedi.
Warga mungkin tidak berani melawan Om Napan lagi. Tapi mereka amat kecewa dengan Pak Kiai dan Pak Kades yang kelihatan memihak Om Napan. Sesungguhnya Om Napan bukanlah warga asli sini. Dia pendatang. Dia beli tanah milik Pak Kiai.
"Kalau ada uang, orang setaat Pak Kiai pun bisa dibeli kok. Gampang itu mah." Begitu sentimen warga.
"Kalau begitu aku malas jadi orang kaya." Kata yang lain.
"Lho kenapa?"
"Cobaan berat. Aku tak yakin mampu."
"Halah. Untuk jadi kaya memang kau tidak mampu."
"Nah, karena itu aku bersyukur."
Warga masih berkabung atas kematian puluhan laki-laki. Bahkan ketika lebaran sudah tiba, mereka masih berkabung dan mengadakan yasinan di mana seharusnya malam dipenuhi takbiran. Warga yang berkabung itu membentuk perkumpulan untuk bergosip. Mereka membicarakan Pak Kades yang berambisi untuk jadi calon presiden. Duitnya cukup untuk itu. Entah dapat dari mana. "Dari pesugihan mungkin."
"Bisa jadi."
"Bisa jadi Karti Benguk gila karena jadi tumbal."
"Ya, bisa jadi. Lalu istrinya lumpuh tiba-tiba itu juga kemungkinan karena dijadikan tumbal. Lalu anaknya, si Sulastri itu, tahu-tahu hilang juga mungkin dijadikan tumbal."
"Anehnya, kenapa Pak Kiai masih berkawan dengan Pak Kades ya. Dengan Karjo saja Pak Kiai tak peduli. Malah berkata kalau Karjo penganut ilmu sesat."
"Aku masih heran, kenapa Karjo jadi kolor ijo. Yang kutahu, dia tak ada bau-bau berguru pada dukun."
"Yah, setan tidak pilih-pilih."
"Hasutan setan, ya?"
"Apalagi?"
"Hawa nafsu?"
"Lebih baik aku pulang dan menemui bini di rumah."
"Hmm, kasian para janda itu."
"Dengar-dengar Pak Kades tengah memilah-milah para janda itu. Dan kemungkinan besar, jandanya Karjo yang bakal dipinang dalam waktu dekat."
"Atau bisa jadi, mengikuti jejak Om Napan? Langsung tiga?"
"Benar juga. Banyak janda cantik di desa kita. Untungnya, mereka tidak berakhir seperti perawan-perawan yang gila habis diperkosa Kolor Ijo."
"Kolor Ijo Karjo. Kolor Ijo Karjo."
"Kacau kacau kacau."
"Desa kita perlu dirukiyah."
"Kalau mau begitu, kita perlu rukiyah dulu Pak Kades, Pak Kiai dan Om Napan. Itu baru benar."
"Sekalian saja rukiyah massal. Desa kita memang bermasalah."
"Halah, nanti malah bakal jadi kesurupan massal."
"Wah, mengerikan."
"Sudah, nanti biar Mbok Sinawang turun tangan."
Mereka tertawa. Lalu membicarakan hal lain. Salah satu mereka mengeluarkan foto dari dompet. "Ini tuh siapa sih? Kenapa kita semua punya foto dia?"
Mereka tengah melihat foto Tini cantik yang pernah datang hampir satu tahun lalu.
"Entahlah, wajah wanita itu sering sekali datang di mimpiku."
"Mimpi basah?"
"Mimpi lengket."
"Kalau aku, sedang main dengan bini, yang kebayang di pikiran, selalu wanita di foto itu. Makanya aku cepat sekali keluarnya."
"Binimu ngambek dong."
"Ya begitulah. Tapi anehnya, ketika biniku melihat foto wanita itu, dia seperti naik lagi birahinya. Aku dihajar lagi walau otongku sudah lemas."
"Wah gawat. Aku cuma bisa melakukannya dalam mimpi. Sialnya, mimpiku itu selalu putus, padahal otongku baru mau masuk. Tahu-tahu berubah jadi si Karti Benguk."
"Hahahaha, sial betul mimpimu itu."
Perbincangan perkumpulan itu berputar-putar saja topiknya. Kalau tidak tentang Pak Kades, ya Om Napan, kalau tidak tentang Om Napan, ya Pak Kiai, kalau bukan tentang Pak Kiai, ya Karti Benguk, kalau bukan tentang Karti Benguk, ya wanita cantik dalam foto. Perbincangan itu seringkali berakhir dengan perbincangan mesum yang bikin sempak sesak.
Di kediaman MbokSinawang, tuyul-tuyul mati secara penasaran. Mata gundu mereka lepas.Berputar-putar. Mbok Sinawang sedih bukan main. Ada sekitar lima belas tuyulyang bernasib demikian. Dia tidak tahu kenapa.

KAMU SEDANG MEMBACA
SETAN LEWAT
HororBersama setan yang lewat sembarangan. Tini alias Karti Benguk menitipkan dendamnya. Menghilang selama bertahun-tahun, Tini kembali ke desanya dan membuat semua lelaki gempar. Tini yang dulu dicap edan, kini kembali dalam wujud perempuan jelita pemi...