Sekejap Api Menjilat Abu Tuyul Lenyap Tak Bersisa

443 43 2
                                    

Tuyul-tuyul itu sudah seperti anaknya sendiri. Walaupun mereka menyusunya dari jempol kaki. Malam itu Mbok Sinawang sudah hampir mendapatkan petunjuk mengenai ke mana perginya Karti Benguk yang sebenarnya. Hari terakhir dia terlihat di desa. Rangkaian peristiwa itu sudah terekam di bola mata gundu para tuyul. Upaya penyatuan fragmen-fragmen dari setiap bola mata gundu. Empat puluh dua tuyul. Tapi ketika penjelajahan masa lampau itu menemuni titik terang ke mana Karti Benguk lenyap, tujuh belas tuyul generasi pertama dan tiga generasi kedua, tahu-tahu terpental balik ke masa kini. Mereka meronta-ronta sambil memegangi mata. Mata mereka berjatuhan. Keras. Seperti marmer ketemu marmer. Mbok Sinawang tidak bisa menyelamatkan bola mata gundu yang berputar-putar lalu retak dan pecah buyar. Mbok Sinawang, setelah sekian lama, akhirnya berteriak histeris. Dia menangis. Tuyul-tuyulnya gosong. Sudah hitam, gosong lagi. Rongga mata mereka mengeluarkan asap. Dan lebih dalam lagi, tampaklah ada bara yang menyala. Melelehkan isi kepala tuyul. Untuk kemudian merembes keluar dari setiap lubang. Lubang hidung, mulut, telinga, rongga mata. Cairan bau busuk yang seperti lilin. Dua puluh dua tuyul yang lain, menjauhi dua puluh teman mereka. Mereka kentara ketakutan. Dalam waktu lama, barang tentu mereka tidak lagi mau menjelajah waktu. Mbok Sinawang menangis dan menyerukan maaf berkali-kali. Tiga jam kemudian, dua puluh tuyul malang itu sudah berubah jadi abu total. Mbok Sinawang menyapu dan menuang mereka ke dalam kendi.

Mbok Sinawang berkabung selama empat puluh hari empat puluh malam. Dia meletakkan kendi-kendi abu tuyul di kebun keramat. Membentuk lingkaran. Mbok Sinawang duduk di tengahnya. Kabut membentuk di kebun. Bahkan batu Yathuk yang beberapa waktu lalu menghilang pindah sendiri, sekarang dibawa kembali oleh kekuatan tak kasat mata. Yathuk menyaksikan Mbok Sinawang menggerakkan badan ke kiri dan kanan dalam tempo lambat yang konsisten. Mbok Sinawang, kalau saja boleh menyebut, seperti sedang berzikir.

Suara setan yang dulu pernah mampir di telinga Yathuk, menjawab rasa penasaran. "Dia sedang mencari-cari tuan kami. Niscaya tidak akan ketemu."

Yathuk mengangguk, kalau saja batu bisa mengangguk.

Kabut kini melingkupi Mbok Sinawang. Di malam gelap berbulan purnama itu, kabut seperti menelan habis Mbok Sinawang. Seakan punya keinginan untuk membawa Mbok Sinawang ke dunia lain. Membawa ke realitas dan eksistensi lain.

Dalam semadinya itu Mbok Sinawang merangkai sisa-sisa keping yang berhasil dia rangkum dalam perjalanan waktu beresiko para tuyul kesayangannya. Berkali-kali upaya, hasil yang diperolehnya sama. Selalu saja bayangan tinggi dengan muka tak jelas. Menyambut tangan Karti Benguk. Lalu buyar begitu saja. Mbok Sinawang tak bisa melihat lebih jauh lagi. Dan saat dirinya terpental ke alam sadar, dia begitu ketakutan. Ada teror dari sosok yang samar dilihatnya.

Mbok Sinawang menggigil, dia mengusaikan acara semadinya dikelilingi kendi abu tuyul. Mbok Sinawang masuk kamar dan melilit tubuhnya dengan kain berlapis-lapis. Keringat dingin mengucur. Rahangnya bergetar hebat. Rasa-rasanya malaikat pencabut nyawa sedang berencana sowan menemuinya.

Yathuk yang masih di kebun melihat kabut-kabut mewujud sosok-sosok yang suka lewat di depannya, "Permisi, nak." Kata sosok-sosok itu. Mereka mengambil kendi-kendi abu tuyul, lalu membantingnya ke tanah sampai pecah.

Rumah terdekat dari kebun keramat itu, penghuninya mendengar ada yang sedang menyapu jam dua dini hari.

Sosok-sosok kabut itu menyapu abu tuyul lalu dengan hentakan kaki, abu itu tersulut api. Sekejap api menjilat. Abu lenyap tak bersisa. Begitu pula dengan sosok-sosok itu, mereka lenyap di balik kabut. Yathuk sudah biasa dengan hal tersebut. Dia terlalu malas untuk merasa takut. Toh dia juga sudah bukan manusia lagi. Lagipula, dia malas untuk jadi manusia lagi.

Paginya Mbok Sinawang yang sudah enakan badannya bangun dan langsung menuju kebun keramat. Dia terserang syok lagi ketika mengetahui kendi-kendi isi abu tuyulnya pecah berserakan. Tak ada lagi sisa-sisa eksistensi tuyul-tuyul kesayangannya untuk disayang-sayang. Yang tersisa hanya kenangan.

Mbok Sinawang kemudian mengurung diri di rumah selama tiga bulan. Selama tiga bulan itu ternyata banyak yang terjadi. Mbok Sinawang yang sudah mengurung diri selama tiga bulan, keluar rumah dan berusaha merangkum apa saja yang didengarnya dari warung-warung kopi dan tukang-tukang sayur keliling.

Dengar-dengar Pak Kades sudah mengawini jandanya Karjo. Lalu kawin lagi dengan tiga janda lain. "Kasihan mereka tidak ada yang mengayomi." Begitu kata Pak Kades. Mbok Sinawang pengin meludah di lubang hidung dan mulut Pak Kades.

Perawan-perawan korban kolor ijo sudah pada pulang dari panti rehabilitasi. Mereka sudah agak waras. Laki-laki remaja yang masih jomlo, sangat senang. Mereka tak peduli kalau mereka sudah tidak lagi perawan. "Yang penting itu hati, teman. Bukan tampang, bukan bodi."

"Tunggu saja kalau kau sudah mencicipi begituan. Kutipanmu akan lain."

Selain perawan-perawan korban kolor ijo, ada juga yang pulang. Orang yang dulu penisnya pernah diikat sampai membiru dan tak fungsi lagi, yaitu Mat Coli. Dia sudah kembali normal. Berkumpul lagi di pos ronda bareng teman-teman. Dia sedih mendengar berita banyak warga laki-laki yang mati akibat bentrok.

Mat Coli pun patah hati. Di desa sudah tak ada lagi Sulastri. Lama dia berkabung. Itu berhenti ketika dia melihat Sunarti. Tak dapat kakak, adik tak apalah. Masalahnya, banyak yang mengatakan kalau penyakit lama kakak pertamanya, Karti Benguk, menular ke Sunarti. Terlebih ketiak Pak Kades kawin lagi empat kali. Sunarti suka kelayapan dari siang bolong sampai lewat magrib. Dia sering ditemukan berdiri diam dengan mata kosong. Lebih sering lagi ditemukan berdiri di pinggir kebun keramat Mbok Sinawang. Tangan terangkat satu.

Mat Coli tidak peduli. Omongan warga ternyata benar. Mat Coli menemukan Sunarti tengah berdiri bengong di pinggir kebun keramat Mbok Sinawang. Susah diajak bicara, maka Mat Coli tuntun Sunarti pulang. Sekitar dua puluh meter mendekati rumah Pka Kades, Sunarti tersadar. Dia meronta pengin diajak pergi menjauh. "Bawa aku pergi dari rumah itu." Lalu Sunarti melihat Mat Coli, "Mas Kholil?"

"Ya, Sunarti. Mau dibawa pergi ke manakah?"

"Ke mana pun selain rumah itu."

Mat Coli membawa Sunarti ke rumahnya. Mat Coli tinggal sendiri. Mat Coli mengutuk diri sendiri karena kelepasan ngomong, juga karena terlalu cepat, "Sunarti, maukah kau kawin denganku?"

Sunarti kabur seketika.

Mat Coli patah hati lagi. Dia mencengkeram selangkangannya keras-keras. Menangis deras. Mengasihani nasib. Ini mungkin akibat dari terlalu lama di panti rehabilitasi. Cara dia bersosialisasi jadi ngawur adanya. Ajaran siapa, ketika pertama pendekatan, langsung mengajak kawin?

Mat Coli membenturkan kepala ke tembok sampai darah lekat di sana.

Waktu berlalu dan MatColi melupakan Sunarti. Ada kabar yang membuat penisnya berfungsi lagi. Yaitutentang Pak Kades yang ngotot mencalonkan diri sebagai presiden.

SETAN LEWATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang