Sunarti merasa seperti bukan dirinya sendiri. Samar-samar dia bisa merasakan, ada yang mengambil alih tubuhnya. Susah untuk dijelaskan. Tapi mau dijelaskan, dijelaskan kepada siapa memang? Sunarti terkurung di rumah, menjadi selayaknya budak buat ayah bejat dan empat istri barunya yang setiap hari selalu saja menghardik.
Ayah Sunarti sama sekali tidak peduli dengan kepergian ibu. Justru malah senang bukan main. Akhirnya ada alasan untuk kawin lagi. Tentu kawin dulu, baru menikah. Itu sudah jadi pemandangan biasa bagi Sunarti. Sehari setelah ibunya hilang. Dia samar-samar ingat, seperti mimpi di fajar, ibu menghilang ditelan kabut tebal. Bersama sesosok perempuan cantik. Seperti bidadari. Sehari setelah ibunya hilang, ayah sudah membawa seorang wanita. Itu diam-diam dia lakukan tanpa sepengetahuan Sulastri. Waktu itu Sulastri lagi ada pengajian yang terpaksa harus diikutinya karena ibu sudah tidak ada. Dulu, waktu ibu masih ada, pengajian itu yang datang ke rumah. Mendoakan agar Bu Inayah segera sembuh. Tapi lama-lama Sulastri pun tahu, karena parfum wanita sewaan itu menempel di dinding rumah. Sulastri marah besar. Tapi Pak Kades lebih ringan tangannya, memukul Sulastri dan mengatainya tak tahu diri. Sunarti sampai bingung, siapa di sini yang tidak tahu diri. Jangan-jangan dirinya sendiri?
Sunarti kasihan pada kakaknya. Makanya dia menawarkan diri untuk menggantikan tugasnya. Sulastri sering sakit. Itu akibat dipukuli oleh ayah. Makin hari ayah makin kelewatan, di rumah dia bercinta dengan wanita-wanita sewaan dengan berisik. Sunarti dan Sulastri sampai saling menutupi telinga, erat-erat. Kalau saja warga tahu tentang hal ini, kemungkinan besar ayah akan diseret keluar dan diarak sambil telanjang. Tapi itu tidak pernah terjadi. Ada sekuriti di depan yang pintar sekali membohongi warga yang bertanya-tanya. Atau, mereka disumpal dengan uang. Uang sangat bisa untuk membungkam rahasia. Menyelamatkan mereka yang aslinya bermasalah tapi sok menampilkan diri sebagai malaikat.
Warga sendiri tahu Pak Kades sering berkelakar tentang mau kawin lagi. Itu tidak jadi masalah. Warga mafhum karena istri Pak Kades sudah tak fungsi lagi. Menurut mereka laki-laki selalu butuh pelampiasan, biar tidak gila. Biar seimbang. Tapi ya tidak begitu juga, pikir Sunarti. Ayah pandai bohong, dia bilang ke warga kalau ibu pergi ke seberang pulau untuk berobat dan sudah mengijinkan agar dia dapat menikah lagi.
Sunarti bahagia Sulastri mengikuti jejak ibunya. Lenyap begitu saja. Itu lebih baik buat Sulastri. Kasihan kakaknya, selama ini jadi budak di rumah. Di suatu malam yang dingin dan berisik setelah ayahnya menikah lagi dengan jandanya Karjo, Sulastri mendatangi Sunarti di alam mimpi.
"Maafkan kakak meninggalkanmu."
"Tidak apa, Kak. Kalau itu bisa bikin kakak bahagia, Sunarti juga akan bahagia."
Sulastri memeluk Sunarti. Di belakang Sulastri, Sunarti bisa melihat ada sosok manusia tinggi besar, tapi terhalang oleh kegelapan.
"Maafkan kalau selama ini kakak ketus padamu."
"Tidak apa-apa Kak, itu mungkin aksi reaksi dari apa yang kakak alami selama ini. Disiksa ayah."
"Kau yang paling kuat dari kita bertiga. Bertahanlah. Suatu waktu nanti, kau pun akan berhasil keluar dari jeratan ayah."
"Iya, Kak."
"Cepat atau lambat. Laki-laki bejat biadab itu akan mendapatkan azab."
Sunarti tidak tahu bagaimana menanggapi itu.
"Kakak pamit dulu."
"Selamat berbahagia, Kak."
Mimpi itu membuat Sunarti bangun dan menangis.
Mungkin kakaknya benar, mungkin juga kakaknya keliru. Mungkin Sunarti tidak sekuat apa yang dikatakan kakaknya. Sebab, dia sendiri tidak tahu. Sunarti lebih sering kehilangan memori. Seperti tubuhnya bergerak sendiri. Pilot otomatis. Banyak kejadian, banyak peristiwa, banyak aktifitas, lewat begitu saja. Tak membekas. Mungkin itu yang membuatnya kuat. Tidak merasakan apa-apa.
Di waktu-waktu sadarnya, dia sangat tertekan dengan tindak tanduk ayahnya. Rumah tak ubahnya neraka. Di waktu-waktu tak sadarnya, dia seperti melanglangbuana. Menjelajah kisah. Menjelajah waktu. Menjelajah tempat. Menjelajah ruang. Tapi tak pernah ada memori membekas pula. Siapa yang menggerakkannya? Apakah dirinya kesurupan? Kalau begitu lebih baik. Lebih baik diri sadarnya tidak pernah merasakan apa yang terjadi di dunia yang penuh orang jahat ini. Ayahnya, seharusnya menjadi dunianya. Dunia yang baik. Seperti ayah-ayah temannya. Mengayomi, melindungi, menyayangi. Tapi semua itu didapatinya sebagai kebalikan. Menjadikan dunia yang seharusnya jadi nirwana malah menjadi dunia fatamorgana yang dilibas neraka.
Seringkali, Sunarti merasa tak seimbang. Dia berjalan suka limbung. Bangkit dari duduk, dia terjatuh. Kepalanya pening tujuh keliling. Seperti sebagian otaknya menggedor-gedor batok kepala minta udara segar. Saat menggapai sadar seperti itulah momen-momen istri-istri bacot codot ayahnya menyuruh-nyuruh banyak hal. Kalau lambat sedikit saja, hardikan menyakitkan akan dia terima. Sunarti berharap dirinya kesurupan saja saat itu juga. Tapi diri sadarnya baru saja kembali, entah setan apa yang menyurupinya, seperti sedang ambil waktu istirahat dulu. Seandainya Sunarti bisa berbincang dengan setan itu, dia mau disurupi dengan kekuatan. Dia ingin balik menyiksa istri-istri kurang ajar itu. Sunarti pengin punya kekuatan untuk melakukan hal itu. Saat ini, dia tak punya semua itu.
Di waktu-waktu tersakitinya, Sunarti punya pikiran untuk mencelakai saja istri-istri celaka itu. Pakai racun yang paling mudah. Tapi didapat dari mana? Dipikir-pikir lagi, Sunarti tak punya keberanian untuk itu.
Suatu suara menggelitik telinganya. Dari sudut matanya, Sunarti samar-samar melihat ada bayangan tanpa wujud di tembok. Seperti laki-laki. Kepalanya bergerak-gerak, sedang bicara padanya.
"Sabar. Akan ada waktu indah untukmu. Tak perlu berpikiran jahat, nanti takut setan lewat mendengarnya."
Padahal yang bicara itu adalah setan lewat yang dimaksud. Setan yang sopan itu tidak menginginkan Sunarti melakukan hal-hal yang selayaknya dilakukan oleh setan-setan berwujud manusia. Atau manusia-manusia berwujud setan.
Sunarti menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia menenangkan diri. Mencoba mengendalikan diri. Menggapai lagi keseimbangannya. Mendengarkan nasehat entah siapa tadi. Mungkin suara hati, pikirnya. Sunarti penasaran, pikiran-pikiran jahat itu datangnya dari mana? Dari hatikah? Atau dari otak? Dari mana nafsu itu muncul?
Sunarti menyingkirkan pikiran-pikiran jahatnya. Menyingkirkan bibit-bibit dendam. Dia akan bertahan. Menanti waktu indah yang dijanjikan oleh suara. Entah itu suara hati, atau suara malaikat bijak. Semoga saja suara pangeran tak kasat mata.
Pisau yang digenggamnya dengan erat, diletakkannya kembali. Tadi, di matanya, dia membayangkan ada darah istri-istri celaka. Bahwa pisau itu akan menusuk-nusuk perut mereka. Pisau itu tadi seperti menghasutnya. Tapi untungnya suara hati tadi menyadarkannya. Pisau itu hanya akan digunakan untuk memotong bahan makanan. Bukan daging manusia.
"Sunarti! Mana teh dan roti bakarnya! Lama sekali, becus tidak sih! Kampret!"
Sunarti mengantarkan teh dan roti bakar yang sudah diolesi mentega dan ditaburi meses. Dia mengantarkannya kepada empat istri yang sedang pangku-pangkuan menonton acara gosip selebriti. Sunarti memberi mereka senyum.
"Kenapa kau cengar-cengirseperti kuda balap! Pergi sana dari hadapan kami!"
KAMU SEDANG MEMBACA
SETAN LEWAT
TerrorBersama setan yang lewat sembarangan. Tini alias Karti Benguk menitipkan dendamnya. Menghilang selama bertahun-tahun, Tini kembali ke desanya dan membuat semua lelaki gempar. Tini yang dulu dicap edan, kini kembali dalam wujud perempuan jelita pemi...