Ada beberapa hal yang terjadi pasca kematian mengenaskan Om Napan. Pertama, warga dengan bebas dan gembira merampas harta yang ada di rumah besar itu. Yang mengoordinir adalah Mat Samsi. Seorang bapak dari pemuda yang mati karena kerusuhan waktu itu. Sebelum merampas, Mat Samsi menginventaris dahulu barang-barang yang ada dan perkiraan harganya di pasaran.
"Kita telah bersabar menunggu keajaiban orang itu lenyap atau terusir dengan sendirinya. Tentu kita masih bisa bersabar dalam mengelola harta rampasan ini. Demi kemakmuran." Ungkap Mat Samsi.
"Demi kemakmuran!" warga yang lain menyetujui.
Dibantu oleh pemuda-pemuda yang melek internet, Mat Samsi melakukan semua itu dengan baik. Pembagian harta itu merata, semua antri menunggu giliran jatah dengan sabar. Bahkan pakai kupon segala. Yang dibuat dalam waktu singkat pakai tulisan tangan, "Kupon Harta Rampasan Napan."
Kedua, Pak Kades yang telat mengetahui kematian mengenaskan Om Napan, mendadak stres. Betapa tidak, Om Napan adalah pendana utama kampanye untuk merintis jadi kandidat calon presiden dari partai Nagawarawiri. Dana yang dijanjikan Om Napan baru cair seperempatnya. Mendengar Mat Samsi tengah membagi-bagi harta rampasan Om Napan, Pak Kades lemas. Sebetulnya dia geram seketika, tapi melihat warga begitu banyak, bikin keder juga. Dia menghindari amuk massa. Sentimen selama ini yang didengar tapi tak digubrisnya, adalah siapa pun yang berafiliasi dengan Om Napan adalah musuh warga. Itu berarti termasuk dirinya dan Pak Kiai. Tak ada pilihan, Pak Kades harus mencari cara lain untuk mendapatkan dana kampanye awalnya. Pendaftaran calon presiden masih ada waktu satu tahun lagi.
Ketiga, Pak Kiai sudah tak mengerti lagi dengan cara pikir warganya. Bahkan jamaah pengajian setianya ternyata ikut-ikutan pembagian harta rampasan itu. Pak Kiai kehilangan wibawanya. Nasehatnya tak lagi didengar. Ada sentimen yang sampai di telinganya, "Dia itu kiai gadungan sebenarnya. Ngajinya cuma khatam juz amma. Ceramahnya nyontek masjid desa sebelah."
Untuk pertama kalinya, Pak Kiai merasakan murka. Musala tempatnya mengajarkan ilmu agama, jadi sasaran. Dia hancurkan megafon. Sebelumnya dia mengumumkan bahwa warga sudah gila. Dia hancurkan podium dan merobek-robek kelambu pembatas makmum, lalu membiarkan keran-keran menyala sampai banjir ke jalanan. Semua itu dilakukannya dengan mengharap ada warga yang menghentikannya, tapi ternyata tidak. Warga tak lagi peduli. Toh sudah beberapa bulan ini musala sangat sepi. Bahkan Pak Kiai sering azan dua kali, tapi hanya satu yang datang. Itu pun karena sungkan. Seorang marbot yang sudah beberapa minggu tidak bersih-bersih. Itu kali terakhir si marbot datang. Apa yang terjadi di desa ini, membuat iman Pak Kiai goyah. Goncangan batin. Tapi dia tak boleh menyerah. Beginilah jalan dakwah. Susah. Tapi dia tak kuasa menahan gejolak untuk melampiaskan amarah.
Isi musala porak poranda, kecuali satu, rak kitab suci alquran. Semurka-murkanya Pak Kiai saat ini, dia tak mungkin melukai kitab-kitab itu. Dia takut kena azab kilat, dikutuk jadi rusa, batu atau ikan pari.
Selagi dia menggila memorakmorandakan isi musala, Mbok Sinawang berdiri di luar menikmati tontonan itu. Perempuan tua itu terbahak-bahak. Inilah yang dinantinya seumur hidup. Ketika sudah lelah, Pak Kiai keluar dan duduk di selasar yang sudah basah karena air keran yang tak berhenti mengalir. Pak Kiai menatap tajam Mbok Sinawang.
"Jadi, siapa yang gila di sini?" tanya Mbok Sinawang.
"Semuanya."
"Termasuk kau?"
"Termasuk aku. Mungkin. Aku gila karena percaya warga bisa mengikutiku."
"Selamat datang di dunia nyata, kawan."
"Memangnya aku dulu tinggal di dunia maya?"
"Dunia fatamorgana, tepatnya."
"Terserahlah."
"Kau menyerah?"
Pak Kiai tidak menjawab pertanyaan itu. Dia menimbang-nimbang. Amarah ini pasti cuma sesaat. Dia sedari tadi sudah mengucap istighfar. Tapi hatinya masih membara saja.
"Mungkin kau perlu umat yang baru. Bukan warga sini."
"Apa maksudmu?" Pak Kiai mengernyit.
"Antara kau pergi dari desa ini, atau kau mengusir warga dan mengundang warga pendatang baru."
"Kedua itu hal yang mustahil."
"Maka, tidak ada jalan bagimu."
Pak Kiai meludah, lalu beristigfar, "Selalu ada jalan."
"Jalan ke neraka lebih mudah. Aku sudah mencobanya. Seperti yang selalu kaukatakan tentangku."
"Tidak heran, banyak orang yang senang mengambil jalan itu."
"Nah itu kau tahu."
Hening kemudian. Hanya diisi oleh suara keran mengucur dan suara burung di siang hari, bertengger di dahan pohon kapas sebelah musala. Mbok Sinawang terbahak-bahak lagi.
"Kenapa kau tertawa?" Pak Kiai terusik.
"Ada satu hal yang sangat ingin kuungkapkan kepada warga."
"Maksudnya?"
"Tentangmu. Tentang apa yang telah kaulakukan ke seorang gadis bernasib malang."
Jantung Pak Kiai berdetak kencang. Kekhawatiran menguasainya. "Apa maksudmu? Tidak usah bertele-tele."
"Aku tahu apa yang telah kaulakukan kepada Sukartini."
"Aku tidak tahu apa maksudmu." Pak Kiai tahu betul maksud Mbok Sinawang. Bangkai busuk yang disembunyikannya telah terendus.
"Aku akan membuat pilihan ini jadi lebih mudah untukmu. Jadi kau tidak perlu memilih atau menentukan."
Ucapan Mbok Sinawang, setiap kalimatnya membuat tulang-tulang renta di tubuh Pak Kiai ngilu. "Jangan." Ucap Pak Kiai, melas.
"Kau tahu sendiri, warga lebih memercayaiku daripada mengikuti nasehatmu. Kita buktikan di sini, siapa yang sebenarnya sesat, siapa yang sebenarnya bejat."
"Tolong, jangan." Pak Kiai mengatakan itu dengan suara bergetar, tanda gentar. "Aku akan memenuhi segala permintaanmu, asalkan kau jangan mengungkapkan hal itu."
Mbok Sinawang tertawa sarkastik. "Mudah ya bagi kalian, kaum laki-laki. Kalian pikir dengan menyogok, menjanjikan hal-hal duniawi, dapat menyelesaikan masalah. Dapat membungkam kebenaran. Akan kubuktikan, hal itu sudah tak berlaku lagi. Aku tidak peduli dengan tawaran duniawimu. Itu tak lagi penting. Anggap saja ini karma burukmu selama di dunia. Dan aku yakin, di akhirat yang kau imani, balasan ini akan tetap disajikan untukmu."
"Tolong, jangan, Mbok."
"Seribu kata melas darimu, tidak akan menghentikanku. Tapi kau boleh tenang. Aku tidak akan mengungkapkannya dalam waktu dekat."
Ada secuil kelegaan di muka Pak Kiai.
"Kau akan tahu nanti. Karma ini akan datang seperti tsunami. Tak terantisipasi. Ah ralat, karena aku sudah mengatakannya sekarang, tentu kau akan mempunyai rencana untuk mengantisipasi itu. Kau akan memikirkan dua pilihan yang kusebut di awal. Pilihan pertama adalah yang paling mudah, kalau saja kau mau ambil itu."
Pak Kiai memutar otak.Ada pilihan ketiga, yaitu mengeliminasi ancaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
SETAN LEWAT
HorrorBersama setan yang lewat sembarangan. Tini alias Karti Benguk menitipkan dendamnya. Menghilang selama bertahun-tahun, Tini kembali ke desanya dan membuat semua lelaki gempar. Tini yang dulu dicap edan, kini kembali dalam wujud perempuan jelita pemi...