Genderuwo Menyaksikan Keributan Sambil Makan Marneng

445 47 2
                                    

Mbok Sinawang bangun dengan kepala berdenging. Dia merasakan kepalanya habis tergencet dua tembok. Dia bangung terhuyung-huyung, limbung kehilangan pegangan. Pijakannya tidak mantap. Dia mencari-cari buntelan sirih untuk dikunyah, hanya itu yang bisa membuatnya terlepas dari derita ini. Ini sudah kali kelima pusing tujuh keliling menimpa kepalanya. Dia sampai malas mau tidur. Tapi apabila melek terlalu lama, mata pusing juga. Lagipula dia sudah tua. Energinya sudah terkikis. Apalagi para peliharaannya sudah lama pergi meninggalkannya. Yang bisa dilakukannya saat ini hanyalah mengamati betapa konyolnya warga desa, menyapu kebun keramat, menyirami kuburan-kuburan leluhur, dan berdiri saja di pinggir kebun. Kadang ditemani oleh Yathuk batu. Si bocah pemalas itu belum mati juga.

"Sepertinya enak jadi batu." Kata Mbok Sinawang.

Si bocah tidak menggubris karena malas.

"Kenapa kau bisa jadi batu?"

Si bocah tidak menjawab.

"Batu memang sudah sepantasnya hening."

"Tapi sakit kalau dibuat menghantam kepala." Kata Yathuk pada akhirnya.

"Yang aku tahu, kau bukanlah anak durhaka."

"Ya, aku hanya pemalas."

"Tidak adil. Masa karena malas saja jadi batu."

"Tanyakan saja kepada setan lewat yang iseng sekali mengabulkan permintaanku."

"Oh, jadi itu karena permintaanmu?"

"Ya. Setan lewat pura-pura jadi jinnya Aladdin."

"Tiga permintaan?"

"Cuma satu."

"Satu celaka seumur hidup."

"Tidak celaka. Aku batu, kalau tetap di tempatnya, aku tidak akan celaka."

"Oke. Batu tidak bisa terluka."

"Tapi hati bisa."

Paling setiap sore itu yang bisa dilakukan Mbok Sinawang sebagai hiburan tambahan yang manusiawi. Lama-lama dia pusing juga menyaksikan kelakukan-kelakuan tak masuk akal warga desa. Terutama si Kades itu sendiri. Pak Kades menggalang dana dan membeli suara. Demi melancarkan posisinya untuk melamar jadi calon presiden partai Nagawarawiri. Mbok Sinawang geleng-geleng tak menyangka si bebedah itu berani mencalonkan diri. Padahal mengurus desa saja tidak becus. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan Mbok Sinawang, tentu tanpa bantuan tuyul sekarang, mengatakan bahwa Pak Kades terinspirasi seorang tukang pijit yang mendadak viral karena kutipan-kutipan lucu berbau politik. Pak Kades menganggap orang itu sungguhan mencalonkan diri jadi presiden dengan nomor urut 10. Lama kemudian Pak Kades menyadari bahwa orang itu hanyalah sebuah parodi. Maka dari itu, Pak Kades mau mengambil langkah lebih serius. Lebih serius daripada orang parodi itu. Lebih serius karena Pak Kades punya uang.

Uang dari mana?

Dari pesugihan gunung kemukus.

Mbok Sinawang menduga salah satu istri mudanya dijadikan tumbal. Kalau Pak Kades enak-enakan melakukan ritual senggama di gunung, si istri muda di rumah digerayangi genderuwo yang berpindah tempat sekejap dari gunung sana ke rumah Pak Kades. Pak Kades melakukan ritual lama sekali. Satu bulan. Dia menjual sekaligus empat istrinya kepada iblis. Dia mau menjual sekalian Sunarti tapi tidak bisa. Entah bagaimana lidahnya terkunci sewaktu mau menyebutkan nama tumbal Sunarti. Lalu dengan seenak hati dia menyebut nama istri-istri warga di desa. Parah.

Warga mulai mengeluhkan istri-istri yang terlampau birahi. Percekcokan rumah tangga terjadi karena para suami yang tak mampu mengimbangi birahi para istri. Adu pukul tak terelakkan. Umpatan-umpatan kelamin terlempar dari mulut masing-masing. Genderuwo yang menikmati para istri, tertawa sambil makan marneng.

SETAN LEWATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang