Jangan Makan Banyak Banyak Nanti Perutmu Meledak

476 51 2
                                    

Di suatu tempat antah berantah, Tini dan ibunya sedang menertawai apa yang terjadi di desa. Melalui mata Sunarti mereka menyaksikannya. Mata fisik dan mata batin. Ada sihir yang ditanam di dalam diri Sunarti oleh Tini. Tini bisa mengakses ingatan dan penglihatan Sunarti, dan bisa menggerakkan wujud astralnya untuk melanglangbuana dan merekam kejadian. Pada saatnya nanti, ketika hukuman terakhir terjadi, yang lebih masif, Sunarti akan diajak kemari. Bergabung dengan Tini dan ibunya. Itu sebuah janji.

Tini dan ibunya melihat semua itu melalui sebuah baskom yang diisi air. Mereka paling terhibur dengan si Kolor Ijo dan si manusia batu. Tini mengiyakan pertanyaan ibunya, "apakah mereka yang dulu mengusikmu?"

"Iya, Bu."

"Tentang Mbok Sinawang, tidakkah kau pengin memberitahunya? Dia dulu suka menolong ibu."

"Nanti saja. Takutnya dia malah mau menghentikan setan-setan itu."

"Baiklah."

Saat ini mereka tengah menyaksikan hukuman baru. Sebetulnya bocah itu tidak pernah mengusik Tini waktu masih jadi Karti Benguk. Melainkan ayahnya. Sayangnya, ayahnya sudah mati duluan.

Bocah itu yang mencorat-coret batu Yathuk. Bocah itu yang pengin buka puasa dengan sebanyaknya makanan. Sebut bocah itu dengan nama Madang. Sepulangnya dari mencorat-coret batu Yathuk, dia kelaparan bukan main. Dia mengintip isi kulkas, meja makan, tapi masih pada kosong. Azan magrib memang tinggal tiga jam lagi. Tapi perutnya keroncongan bukan main.

Dia keroncongan dan juga ketakutan. Dari tadi dia terus-terusan mendengar suara, "Permisi, nak." Suaranya lembut dan membikin semakin lapar. Dan ada aromanya. Aroma makanan favorit Madang.

Sebentar lagi ibunya mulai masak. Dia gelisah bukan main. Dia mencengkeram perutnya yang bergejolak. Dia pengin segera buka. Tapi juga dia tidak pengin membatalkan puasa. "Permisi, nak." Terdengar lagi. Dia menoleh ke segala arah, mencari siapa yang barusan lewat. Dia sedang di kamar. Masa iya ada yang lewat di kamarnya. Mungkin di luar jendela. Madang membuka jendela dan menengok ke luar. "Permisi, nak." Dia melihat sekilas muka seorang pramusaji membawakan nampan berisi makanan. Ada risoles, telur gulung, lontong, oncom, arem-arem, pastel, risol, lemper, tempe goreng, bakwan, tahu isi baso, dan banyak lagi. Madang semakin kelaparan. Dia sudah basah mulutnya oleh air liur tergiur. Ditengok lagi ke luar, sosok pramusaji itu sudah hilang. Aroma wangi takjil membayang-bayangi pikirannya. Saat itu juga Madang memutuskan pergi. Di jalanan pasti sudah banyak yang menjual takjil. Dia masih belum mau membatalkan puasa. Paling tidak, matanya sudah kenyang dulu melihat banyaknya jajanan menggiurkan. Hitung-hitung ngabuburit juga. Madang mandi dulu, ganti pakaian koko, dan pergilah dia berburu takjil. Dia pun menawarkan diri kepada ibu, barangkali ada yang mau dibeli. Tapi ternyata tidak. Baiklah, Madang akan buka puasa di musala saja. Dia akan ambil banyak, diam-diam. Selagi orang salat magrib dia akan menyomot banyak risol dan lemper.

Madang menghirup aroma takjil yang dijual di jalanan dengan begitu hikmat. Dia menelan air liur tergiurnya berkali-kali. Bibirnya sampai basah, karena berkali-kali lidahnya menjilati bibir kering. Madang gatal pengin mencomot dagangan orang. Tapi dia melarang diri. Waktu magrib tinggal satu jam lagi. Dia amat tergiur menyaksikan orang membeli sekantung penuh takjil. Dia akan menyantap lebih banyak dari orang itu beli.

Rasanya Madang pengin membelah diri agar dia bisa menyatroni lebih dari satu musala. Oh, dia punya akal. Madang mencomot kantong plastik dari pedagang. Itu boleh. Kantong itu bakal digunakannya untuk mengantongi takjil-takjil di setiap musala. Madang akan ikut dalam buka saja, ketika salat, dia akan pindah ke musala lain. Mantap.

Ternyata sudah azan magrib. Madang segera berlari ke musala terdekat. Tapi di jalan dia melihat ada bagi-bagi takjil gratis. Dia ambil satu bungkus. Lalu pura-pura balik, dan lewat lagi di depannya, dia ambil lagi sebungkus. Dia jalan cepat ke musala sambil melahap takjil gratis itu. Dua kantong habis olehnya. Sampai di musala, dia langsung duduk dan mencomot gorengan. Madang berpura-pura makan, tapi tangannya memasukkan gorengan itu ke kantong plastik. Sembari itu juga dia melahap setiap jenis takjil, paling sedikit, sejenis tiga. Dua lagi dia simpan dalam kantong. Orang-orang mulai ambil wudu dan beranjak ke dalam mengambil shaf, Madang mengantongi lebih banyak lagi takjil. Lalu dia pergi ke musala selanjutnya. Lebih gampang, karena mereka sudah bersiap salat. Madang mengembat banyak takjil. Lalu dia melihat kotak amal dalam kondisi tak tergembok, dia embat juga beberapa lembar dari dalamnya untuk dia gunakan membeli takjil di jalan. Sore itu Madang tidak salat. Dia berhenti dan menggelar sarungnya di sebelah kebun keramat Mbok Sinawang. Madang tidak sadar kalau tempatnya dekat dengan kebun keramat.

Di situ Madang melahap rakus semua takjil yang diperolehnya. Setiap lahapan membuatnya semakin rakus. Dia tidak merasa kenyang-kenyang. Mulutnya tidak berhenti makan. Dua mata madang, yang kiri dan kanan, satu hidung Madang, satu mulut Madang, tidak berhenti makan. Perutnya sudah membuncit penuh takjil tapi juga tak jera. Masih kelaparan dan dia pulang untuk menyantap nasi beserta lauk pauk. Tadi sore ibunya bilang mau buat es cendol. Sedap. Madang dari tadi belum kedapatan takjil minuman segar. Tadi adanya bubur sum sum, itu pun dia sudah ambil empat gelas, semuanya juga sudah habis di kebun tadi. Madang mengambil gelas besar, sebesar teko, untuk diisikan es cendol. Ibunya sampai heran. "Jangan banyak-banyak, bisa meledak perut kamu."

"Habisnya enak banget Bu."

Satu teko cukup besar es cendol bisa habis oleh Madang. Lalu dia ambil nasi, menyendoknya banyak-banyak ke dalam piring sampai membentuk tumpeng. Itu dilakukannya ketika ibu sedang salat isya. Semua yang dimasak ibu sore itu dihabiskan oleh Madang. Benar-benar ludes. Padahal ibu belum berbuka. Baru sepotong tempe saja.

Ibu Madang kaget bukan main. Lemas dan nyaris pingsan. Selesai salat isya sekalian tarawih, dia pergi ke dapur dan mendapati Madang terkapar di lantai dengan perut meledak.

Di tempat antah berantah, ibu Tini muntah-muntah menyaksikan itu semua. "Kasihan anak itu."

Lalu Tini menceritakanapa yang dulu dilakukan ayah Madang. Dulu, sebelum Tini gila dan jadi KartiBenguk. Setiap kali pulang dari musala, pada waktu ada acara selamatan,bungkusan makanan yang dibawa Tini selalu direbut oleh ayah madang. Itudilakukannya terus. Pada waktu ramadan tiba juga. Apa yang diperoleh Tini sukadiambil paksa. Ayah Madang adalah preman. Entah kenapa selalu Tini saja yangdiincar. Mungkin ada masalah dengan Pak Kades. Dan ketika Tini gila, ayahMadang selalu menyeret Tini dan mencekokinya dengan makanan basi. Karti Bengukmuntah-muntah dan sempat ambruk berhari-hari. Ayah Madang, mati diracun premanrival di pasar.

SETAN LEWATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang