16. In My Dream

39 6 0
                                    

Setelah membeli bunga, aku dan Adam langsung menuju ketempat itu. Karena tempatnya yang sedikit jauh, akhirnya kami tiba setelah 15 menitan.

“Sepi ya. Udah lama juga ngga kesini.” Aku turun dari jok motor itu, lalu melihat sekeliling.

Seperti biasa yang menyapa pandangan pertama kali adalah pintu gerbang masuk yang besar itu.

Karena pada waktu-waktu seperti ini tempat ini sepi akhirnya pintu itu dibiarkan tertutup tetapi tidak dikunci.

Aku melangkah masuk kedalam, Adam mengikuti tetap dibelakangku dia melangkah sangat berhati-hati.

Setelah berjalan agak jauh dari pintu gerbang, akhirnya aku menunduk disalah satu nisan yang berada diujung tempat ini.

Nisan bertuliskan namanya pada saat seperti ini dapat dikenali dari jauh sebagai penanda adalah pohon bunga mawar yang setahun lalu kutanam dengan Bang Akmal.

“Halo om, apa kabar? Maaf ya aku udah lama ngga kesini.” Aku berjongkok tepat disamping nisan itu.

Aku mengelusnya pelan, setelah membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh disana, kuletakkan bunga yang sudah kubeli tadi.

Kurasakan angin bertiup sedikit kencang, mungkin ini pertanda bahwa dia yang ada disana menyambutku datang.

“Bang, maafin Adam ya. Adam dulu sering datang dengan tangan kosong. Tapi sekarang Adam bawa bunga kok buat abang.” Adam meletakkan bunga mawarnya disamping bungaku tadi. Entah sejak kapan dia sudah berjongkok didepanku.

“Eh om, lihat boyband kesayangan kita comeback lagi loh. Lagunya bagus sekali.” Aku mengeluarkan handphoneku.

Sedangkan Adam sudah membaca ayat-ayat seperti orang kebanyakan.
Karena aku sadar, aku tidak ingin mengganggu Adam yang sedang membaca.

Akhirnya aku meletakkan handphoneku didepan nisan itu. Suara-suara penyanyi itu mengalun pelan.

“Om, tau ngga Faw sekarang sudah sekolah lagi loh. Seneng banget deh rasanya.” Aku tertawa sendiri dengan menghadap batu nisan itu.

Akhirnya hening kembali menyelimutiku, suara angina, suara penyanyi itu masih terdengar. Tetapi Adam sudah berdiri ditempatnya tadi.

“Faw ayo pulang, sudah sore.” Dia menarik tanganku pelan. Aku melihat kearahnya wajahnya seperti diliputi rasa bersalah.

“Bentar lagi ya Dam. Satu kali lagi.” Aku kembali mengambil hapeku yang sudah berhenti memainkan music itu.

“Faw! Musikmu sudah 15 kali diputar, sedangkan kamu hanya diam disini. Kita harus pulang Faw. Abang sudah puas dengerin lagumu itu.” Dia berteriak kepadaku lalu menarik tanganku dengan sangat keras hingga aku berdiri dengan satu kali tarikan.

“Lo boleh kesini, tapi lo harus tau Faw. Disini lama-lama ngga bagus.”
Dia berjalan mendahuluiku, tiba-tiba disana berdiri seseorang.

Dia berdiri didepan nisan yang berada ditengah-tengah. Beberapa kali dia terlihat mengusap wajahnya.

“Faw, kayaknya itu teman kita deh.” Adam menoleh kearahku.

“Eh iya. Tapi kayaknya aku nggak kenal.”

“Pulang aja yuk.”

Saat aku dan Adam sudah hampir didepan gerbang masuk tadi anak itu berjalan dibelakang kami.

“Kalian kenapa ada disini.” Suara itu mengalun pelan, suara yang akhir-akhir ini sering sekali terdengar di telingaku.

“Eh Bina, gua kira tadi siapa. Makanya kayak kenal.” Adam menepuk bahu Bina yang sekarang tersenyum itu.

“Iya, kalian kesini buat ketemu sama siapa?” Dia bertanya kepadaku, matanya menghadap kearahku bukan kearah Adam.

“Lah lo sendiri kesini ketemu siapa?”

“Gua kesini buat ketemu ibu.” Dia tersenyum, lalu beberapa detik kemudian mengusap lagi wajahnya pelan.

“Eh sorry ya. Gua ngga tahu kalo mama lo ada disini. Tau gitu gua bawain bunga sekalian.” Adam berbicara kepadanya lagi jelas-jelas wajah Bina sepertinya cuek dengan keberadaannya.

“Ngga papa kok Dam.” Setelah mengerjap beberapa kali akhirnya dia menoleh juga kearah Adam.

“Gua pulang duluan ya, Ayo Dam.” Tanpa banyak bicara lagi aku menarik tangan Adam agar segera pergi dari sana.

To be continued

My Second LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang