Tak terasa hari sudah menjelang malam. Sebentar lagi bengkel akan ditutup. Sheril yang sudah berberes pun kini berpamitan pada atasannya dan rekan kerja lainnya untuk pulang. Sheril mendongak ke atas langit一tampak begitu gelap, mungkin sebentar lagi akan hujan.
Ia senantiasa menunggu angkot lewat namun kebanyakan angkot yang lewat sudah penuh oleh penumpang一wajar saja karena jam pulang kerja. Bisa saja Sheril memaksa masuk tetapi hatinya tidak tega jika penumpang lainnya harus duduk berdesakkan hanya karena penambahan dirinya seorang.
"Kenapa di sini angkot selalu susah bener dapet yang sepi penumpang?" Sheril bergumam kecil lalu mengusap perutnya pelan. Ia merasa lapar sejak pulang sekolah dan kini perutnya memberontak minta diisi.
"Jangan laper-laper dong, kita kerja sama dulu ya. Mau ngisi kamu tapi nanti duit aku nggak cukup untuk biaya sekolah besok."
Mungkin orang lain akan mengira Sheril gila karena berbicara sendiri pada perutnya. Ia menghela napas pelan. Ia merasa dirinya sekarang seperti hidup segan mati tak mau. Apa pun yang ia dapat hari ini tetap harus ia syukuri, karena ia tahu keajaiban itu pasti akan datang walaupun ia tidak tahu kapan waktunya.
"Loh, Ril? Belum pulang?" tanya salah satu rekan kerjanya.
"Eh, iya, Bang. Belum dapet angkot."
"Oh, mau dianter? Biar sekalian jalan. Ayo."
"Enggak usah, Bang. Makasih. Abang duluan aja. Tuh, yang lainnya udah pada pulang." Sheril menolak, ia berharap rekan kerjanya dapat mengerti ucapannya.
"Ya, udah. Kalau gitu saya pulang duluan ya. Udah mau hujan, kamu hati-hati sendirian di sini."
Sheril mengangguk mengerti. Dalam hatinya bersyukur kalau ia tidak dipaksa untuk ikut pulang bersama cowok itu. Karena bagaimanapun, Sheril sudah bertekad untuk tidak membiarkan orang-orang asing yang baru ia kenal mengetahui kediamannya ataupun tentang keluarganya.
Jangan mudah mempercayai orang lain karena bisa saja di balik sikap baik mereka ada maksud tertentu.
Karena bosan, Sheril menundukkan kepalanya sambil memainkan batu kecil dengan sepatunya. Merasa ada sesuatu yang mengusiknya, ia mengangkat kepalanya dan seketika jantungnya berdetak lebih cepat. Hal yang sudah lama tidak ia rasakan.
Seorang cowok yang duduk di atas motor dengan helm hitam di tangannya menatap Sheril dengan diam. Saking terkejutnya gadis itu, uluran helm belum juga ia raih.
"Kok ... di sini?" tanya Sheril.
"Ambil helmnya. Tangan gua berasa mau patah." Bukannya menjawan pertanyaan gadis itu, Mogens malah mengomel kecil.
Sheril mengambil helm dari tangan Mogens. "Lo mau nganter gue pulang?"
"Ya, iyalah. Buruan, keburu hujan," ketus Mogens.
Helm itu dipakai Sheril lalu ia menaiki motor yang tinggi itu. Motor Mogens melaju kencang membelah jalanan kota. Meskipun tidak ada percakapan di antara keduanya selama di perjalanan, tidak apa-apa bagi Sheril. Hari ini ia hanya ingin seperti ini, berdua bersama Mogens.
Sesampainya di depan rumah Sheril, gadis itu turun dari motor lalu mengembalikan helm itu pada Mogens. Lagi-lagi ia merasakan getaran di dada seperti awal mereka berpacaran.
"Makasih, Gens. Besok-besok kalo jumpa gue di jalan, jangan sungkan-sungkan nyapa gue ya. Nggak perlu anter gue pulang juga nggak pa-pa kok."
Mogens turun dari motor setelah melepaskan helmnya. Tanpa diduga, ia membuka pagar bercat putih itu lalu melangkah masuk ke teras rumah. Sheril yang kaget pun langsung berlari menyusul Mogens yang ternyata sudah duduk ganteng di kursi teras.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOGENS
Teen Fiction[Semakin mereka saling menjauhkan hati, waktu akan semakin mendekatkan keduanya] Mogens Larzo, dikenal sebagai pemimpin yang sangar, galak, dan sumber masalah di sekolahnya. Siapapun tidak ingin terlibat masalah dengannya kecuali yang sudah bosan hi...