02. Debat

17K 1.5K 99
                                    

Mogens Larzo, cowok bermata hijau yang bertubuh tinggi dan atletis. Badboy-nya SMA Raksana. Tidak sedikit para kaum hawa mengejar cowok yang terkesan galak, kasar, dan berandal itu. Bukan hanya dari satu sekolahnya, bahkan dari sekolah lain juga ada yang mengaguminya.

Tidak heran kalau Mogens temannya banyak. Siapa juga yang tidak mengenal leader geng SANGAR, memiliki nama kepanjangan dari Sekelompok Anak Garang. Merupakan geng yang dianggap sangar seperti namanya, juga paling disegani oleh geng lain. Geng yang beranggotakan dua puluh lima orang dengan lima generasi, di mana setiap generasi beranggotakan lima orang. SANGAR juga merupakan geng yang masuk ke daftar hitam geng lain.

Walaupun koneksi Mogens itu banyak karena pergaulannya tetapi, musuhnya juga banyak.

Keluarganya terbilang cukup mapan, terbukti dari motor sport hitamnya. Motor yang selalu ia bawa ke mana-mana. Dirinya sendiri juga memiliki mobil mewah yang jarang dipakai.

Sifat kasar dan pemarahnya diturunkan dari sang ayah. Bisa dikatakan, kalau hubungannya dengan ayahnya tidak begitu baik. Di rumah, ia lebih sering sendirian ataupun bersama ibunya saat berada di ruangan yang sama. Tidak banyak percakapan di antara mereka tetapi, wanita yang paling dihormatinya di dunia ini hanyalah ibunya seorang. Seseorang yang selalu bisa mengerti dan menenangkan dirinya ketika ia tidak bisa mengontrol emosinya dengan baik.

"Ma, Mogens berangkat dulu, ya." Mogens menghampiri Ibunya yang ada di ruang tamu, mencium tangan Ibunya kemudian mengecup lembut kening Ibunya seraya berpamitan ke sekolah.

Evaa Larzo, ibu yang sangat berarti untuk Mogens tengah tersenyum menatap anak semata wayangnya itu. "Jaga diri kamu, ya. Jangan berantem-berantem terus."

Mogens mengangguk sambil tersenyum. Dirinya tidak tahan untuk tidak memeluk ibunya. Pelukan itu perlahan dilepas Mogens, kemudian beralih menatap seorang pria paruh baya yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang ibunya. Mogens melangkah mendekati ayahnya, Bram Larzo. Tidak lupa juga ia mencium tangan Bram.

"Aku berangkat dulu."

Bram hanya mengangguk sekali tanpa menyahut. Hal itu sudah biasa bagi Mogens. Ayahnya yang keras dan tegas membuat Mogens tidak terlalu nyaman berada di sisi ayahnya. Kakinya melangkah melewati ibunya menuju pintu luar. Sebelum ia benar-benar keluar, dapat didengarnya bahwa Evaa menegur Bram untuk tidak terlalu diam pada puteranya.

"Sahutlah dia walaupun hanya sekali, Sayang," ucap Ibunya yang bisa terdengar jelas di telinga Mogens. Dan cowok itu tidak membutuhkan sahutan dari ayahnya jika memang Bram tidak ingin menyahutnya.

Sesampainya di luar, Mogens menaiki motornya dan mengenakan helm full face hitam kesayangannya. Ia menghidupkan mesin motor lalu memelesat ke luar gerbang. Kini dirinya menjadi pusat perhatian di jalanan karena suara kenalpot racing-nya yang terdengar berat dan keras. Tidak ingin terjebak macet, lajunya semakin dipercepat, menyalip kendaraan lain dengan lincah. Setibanya di parkiran sekolah, tidak sengaja ban motor depannya menabrak kenalpot motor seseorang. Dengan sebal Mogens membuka kaca helmnya dan menatap si pemilik motor dengan tatapan garang.

"NGAPA LO MUNDUR TIBA-TIBA, BEGO!" sentak Mogens kasar membuat sang pemilik motor terkejut dan menoleh.

"Gila! Motor lo gede dan seenak jidat lo ngenabrak motor matic gue?!"

"Salah sendiri lo di sana."

"Gue, kan, mau parkir. Gimana sih, lo?! Main tabrak motor orang, aja! Otak lo di mana, hah?!"

MOGENSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang