11. Percakapan yang Tercipta

10.8K 1.1K 74
                                    

Sheril tiba di sekolah dengan kendaraan umum yaitu, angkot

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sheril tiba di sekolah dengan kendaraan umum yaitu, angkot. Karena kunci motornya disita oleh ayahnya, Sheril tidak bisa menggunakan motornya ke manapun ia ingin pergi. Bahkan, saat pulang sekolah pun, Sheril harus belajar di rumah.

Kakinya melangkah ke gerbang sekolah, ia berhenti sejenak di sana. Menatap gedung sekolahnya dengan batin tertekan. Ingin menangis namun selalu ia kurungkan niatnya.

"Sekarang, sekolah bagaikan Surga gue, dan rumah adalah neraka. Begitukah? Mungkin dua-duanya sama-sama neraka." Sheril tersenyum kecut lalu melangkah kembali menuju kelasnya.

Gadis itu tidak duduk di kelas berlama-lama, ia pergi ke rooftop untuk menenangkan diri. Angin berembus pelan, memberi sensasi tenang baginya. Ia melihat pemandangan di depannya, rumah-rumah, pohon-pohon, juga kendaraan berlalu lalang. Hanya suara klakson kendaraan yang menemani kesepian paginya.

"Gue bahkan nggak tahu, kenapa semua bisa begini, Re. Gue nggak berniat ngebunuh lo, Regina. Gue sama sekali nggak berniat ngelakuin itu. Tolong maafin gue, Re. Maafin gue yang udah buat lo menderita."

"Gue sendiri nggak tahu, gue ini siapa. Gue merasa gue bukan Sheril, gue merasa diri gue udah nggak ada. Difitnah, ditinggalin, dicaci maki, semua itu memang pantes untuk gue, kan, Re? Gue akan terima semua itu kalau memang cuma itu yang bisa buat lo maafin gue."

"Lo sahabat terbaik gue, Re. Tapi, kenapa? Kenapa saat pertandingan tinju itu, lo memilih gue sebagai lawan lo? Padahal lo sendiri juga tahu kalau salah satu di antara kita pasti bakal terluka."

Sheril menangis di atap, hatinya rapuh, ia begitu lelah menghadapi kenyataan pahit yang ada.

"Gue capek sama semuanya. Papa, temen-temen, semua udah beda. Semua ngejauh dari gue. Untuk apalagi gue hidup kalau memang gue cuma bisa nyusahin dan nyakitin orang lain?"

Sheril mencengkeram erat pembatas rooftop. Satu kakinya ia angkat ke pembatas itu, dan satu kakinya lagi hendak ia angkat namun ragu. Ia terus meneguk ludahnya.

"Gue pengen mati."

Sheril kini mengangkat kakinya ke pembatas, kaki kanannya melangkah ke luar pembatas. Sheril siap-siap melompat, berharap jatuh dan mati dari ketinggian gedung lantai lima.

"1 ... 2 ... 3 ..."

Kaki kiri Sheril ikut melangkah keluar pembatas dan saat ia hendak melepaskan tangannya, justru tubuhnya ditarik paksa oleh seseorang untuk kembali ke lantai rooftop. Tubuhnya menghantam tubuh seseorang hingga keduanya jatuh bersamaan di lantai semen yang kasar.

"Argh!"

Suara erangan cowok terdengar saat tubuhnya menghantam kuat lantai rooftop yang tidak rata, bahkan seragam belakangnya sedikit terkoyak dengan luka di punggung belakangnya.

Tubuh Sheril tidak terluka sedikitpun karena cowok itu begitu melindunginya. Buru-buru Sheril mengangkat tubuhnya dan melihat siapa orang yang berani-beraninya menggagalkan aksi bunuh dirinya.

MOGENSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang