"Kamu tidak bisa menolak fakta bahwa tersenyum mampu membuatmu merasa lebih kuat, seburuk apa pun keadaanmu."
***Pagi hari, Sheril sedang bersiap-siap berangkat ke sekolah. Ia tidak melihat adanya ayahnya yang biasa duduk di ruang makan一menunggu sarapan buatan Mawar selesai dimasak. Kini rumah begitu sepi. Hanya ada Mawar yang tengah menyiapkan sarapan Sheril.
"Sheril, sini sarapan dulu biar nggak laper di sekolah."
Dengan ragu ia duduk bergabung bersama Mawar di ruang makan, menyantap roti berselai matcha itu lalu meneguk segelas susu hangat. Ia melihat sebuah kotak bekal di dekatnya.
"Itu untuk kamu, Ril. Makan siang kamu di sekolah. Nasi goreng aja nggak pa-pa, kan? Mama cuma bisa buatin ini sementara nanti Mama masakin yang lebih enak lagi." Mawar berujar membuat Sheril menghela napas pelan.
"Nggak usah bawain bekal, aku di sekolah nggak lapar."
Mawar tahu Sheril berbohong dan sedang mencoba untuk menghindarinya seperti yang ia lakukan sebelumnya. Sheril jarang memakan masakannya bahkan jarang berbicara dengannya. Tetapi, kali ini Mawar ingin mencoba lagi untuk lebih dekat dengan Sheril walaupun bukan anak kandungnya.
"Nggak pa-pa, bawa aja ke sekolah. Isi perut kamu biar nggak kosong. Lumayan kan, hemat uang. Nanti Mama pulangnya malam ya, bentar lagi Mama mau berangkat kerja."
Sheril hanya mengangguk sebagai jawaban. Sheril ragu untuk bertanya di mana Mawar bekerja sekarang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya, namun gengsinya terlalu besar hingga ia tidak tahu menahu apa pun tentang keluarganya.
Mawar mengantar Sheril hingga pintu luar dan memberikan kunci motor.
"Ini ...."
"Iya, itu kunci motor kamu. Mama berusaha minta sama papa kamu supaya kamu naik motor ke sekolah biar hemat ongkos. Tapi janji, harus rajin belajar dan dapet juara kelas. Ini juga uang jajan kamu, ditabung ya."
Sheril menerima kunci motor dan sedikit uang yang diberikan Mawar padanya. Ia menyalim tangan Mawar kemudian bergegas menaiki motornya untuk berangkat ke sekolah.
Sesampainya di parkiran sekolah, Sheril dihampiri oleh beberapa teman Mogens yang juga baru sampai. Sheril berniat pergi namun kesannya akan begitu sombong jika ia benar melakukannya niatnya.
"Akhirnya naik motor juga lo, Ril. Lebih bebas ya, dari pada naik angkot terus." Yudha berujar di dekat Sheril.
"Iya, mau ke mana-mana juga gampang." Steven ikut menimbrung.
Tampak Mogens baru sampai di parkiran dan memarkirkan motornya di sebelah motor Sheril karena di sana masih kosong.
"Eh, Gens. Semalam gue telpon lo nggak angkat. Ke mana, sih? Jangan bilang lo seneng-seneng sendiri lagi. Wah, nggak setia kawan lo, Bos." Sean berkata dengan nada sedikit kesal.
"Siapa yang seneng-seneng sendiri? Semalem hp gua silent. Mana gua tau lo ada nelpon." Mogens memprotes karena tidak terima temannya berkata demikian.
"Yang bener?" tanya Sean lagi.
"Iya bener. Semalem Mogens lagi一" Ucapan Sheril terhenti akibat mulutnya dibekap oleh sebelah tangan Mogens dari belakang.
"Semalem gua jalan-jalan sama nyokap. Ribut lu pada."
Setelah berkata demikian, Mogens menarik Sheril menjauh dari mereka dan membawanya menuju lapangan sekolah.
"Hampir gue mati, Gens. Lo kalo dendam sama gue jangan segitunya juga kali." Sheril berujar setelah mulutnya bebas dari tangan Mogens.
"Lo jangan pernah keceplosan sama temen-temen gua kalo gua lagi berurusan sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
MOGENS
Teen Fiction[Semakin mereka saling menjauhkan hati, waktu akan semakin mendekatkan keduanya] Mogens Larzo, dikenal sebagai pemimpin yang sangar, galak, dan sumber masalah di sekolahnya. Siapapun tidak ingin terlibat masalah dengannya kecuali yang sudah bosan hi...