08. Tuduhan

9.1K 1K 31
                                    

Geser ke kiri aja wkwk.
Percaya ga percaya, aku ngetik bab ini supaya dapet feelnya sambil dengerin backsound ost. Something in Between. Kalian udah nonton filmnya? Keren banget. Aku sampe NONTON DUA KALI di bioskop sendirian ga ditemenin orang, kurang kerjaan emang tapi asik (wkwkwk).

Hampir setiap bab Mogens gue dengerin instrumen ini karena memang cerita Mogens itu cerita yang cukup menyakitkan. Gue berusaha untuk gimana caranya cerita ini bisa menyayat hati para pembaca. Semoga kalian suka setiap bab Mogens.

一 Happy reading 一

***


Jam istirahat telah berbunyi. Murid-murid yang berolahraga tadi ada yang sebagian kembali ke kelas dan ada juga yang masih asik bermain basket. Tampak dua orang cowok dengan antusias menghampiri Mogens sambil membawa kantung plastik hitam besar. Sudah dijamin isinya adalah makanan dan minuman.

"Udah lama gua nggak piknik begini di lapangan sekolah!" seru yang tampak semangat duduk di dekat Mogens.

"Mana ada, sih, murid di sini yang kayak kita. Piknik berlima di pinggir lapangan." Steven menambahkan.

Mogens hanya menanggapi dengan senyuman. Ia akui, di SMA Raksana memang hanya merekalah pembuat onar sekolah, dan mengadakan piknik dadakan di pinggir lapangan seperti ini.

"Mari kita makan!" Elbert mengatakannya dengan antusias, hingga yang lainnya mengambil makanan yang ingin dimakan. Mogens yang merasa gerah karena berkeringat, hanya memilih untuk minum.

"Ini makanan napa makin lama makin kecil, ya? Isinya juga makin dikit." Yudha berujar seraya menatap makanan yang ada di tangannya.

Mendengar itu, Steven menyahut, "Namanya juga mau cari untung, Yud. Kayak lo kagak tahu aja pebisnis gimana."

"Makin kecil, makin dikit, tapi harga tetap sama. Gopek." Elbert ikut bercerocos.

"Sabar, ye. Entar dah gua buka pabrik jajanan, jajanannya gua jual seharga tiga ratus rupiah." Sean berujar dengan kekehan kecil.

"Bacot lo, tong." Yudha berujar seraya tertawa dan diikuti tawa lainnya.

Di seberang lapangan, ada tiga cewek yang tengah duduk bersama.

"Eh, Bel. Tolong ambilin hp gue dong di kelas. Lo mau ke kelas, kan?" tanya Sheril kepada Bella.

"Iya, nih. Hp lo di dalem tas, kan?"

Sheril mengangguk mantap. Bella pun bergegas ke kelasnya. Di sela-sela percakapan Sheril dan Laura, tidak lama kemudian Bella menghampiri keduanya. Bella memberikan salah satu ponsel di tangannya ke Sheril, dan si pemilik penerimanya.

"Makasih, ya, Bel."

Ponsel Sheril bergetar, ada panggilan masuk dan beberapa pesan dari nomor tak dikenalnya. Sheril sempat bingung siapa yang meneleponnya, akhirnya ia mengangkatnya juga.

"Halo? Siapa ini?" tanya Sheril.

[Malem ini gue tunggu lo di tempat pertandingan tinju yang biasa. Awas aja kalo lo nggak dateng.]

Kedua alis Sheril bertautan, ia seperti mengenal suara perempuan itu. "Lo siapa?" tanya Sheril sembari berdiri dan menjauh dari kedua temannya.

[Gue Revina, saudara kembarnya Regina.]

Seketika Sheril mematung saat mengetahui nama perempuan yang tengah meneleponnya. Tubuhnya mendadak kaku, lidahnya terasa kelu.

"Re-Revina?"

[Iya, gue Revina. Malem ini, gue tantang lo untuk duel di ring tinju. Lo gak dateng berarti lo kalah. Lo nggak suka kekalahan, kan, sampai lo ngebunuh Regina?]

Sheril diam. Ia menahan air matanya untuk tidak tumpah saat itu juga.

[Jawab gue! Kenapa lo diem? Karena lo baru sadar lo itu pembunuh? Lo pembunuh, Ril! Lo bunuh sahabat lo sendiri!]

"GUE BUKAN PEMBUNUH!" Sheril berteriak membuat beberapa orang yang tengah di lapangan kini beralih menatapnya, termasuk Mogens yang sedang berkumpul bersama kawan-kawannya.

"Lo nggak tahu apapun soal gue! Saat itu lo di Bali, lo mana tahu kejadiannya. Jadi lo gak ada hak nuduh gue pembunuh!"

[Lo mau beralasan sekarang? Semua bukti udah jelas di atas ring tinju! Kalau lo itu pembu一]

"GUE BILANG GUE BUKAN PEMBUNUH! GUE NGGAK NGEBUNUH REGINA!"

Air mata Sheril rebas. Ia tidak peduli lagi dengan suara teriakannya sendiri. Ia tidak tahan lagi menanggung beban itu. Terus-terusan dituduh sebagai pembunuh. Sheril mematikan sambungan telepon itu dan menghapus air matanya. Ia berbalik dan melangkah, saat itu juga ia tidak sengaja menoleh ke arah kanannya一melihat Mogens dan kawan-kawannya yang berada di pinggir lapangan.

Gadis itu dengan cepat mengalihkan pandangannya ke depan. Melangkah meninggalkan lapangan dan kedua temannya yang masih duduk di pinggir lapangan dengan wajah bingung.

Hingga Sheril melangkah cepat di koridor lantai tiga, Mogens tetap tidak mengalihkan pandangannya dari arah lapangan. Yang cowok itu tidak sangka ketika melihat Sheril adalah kelakuan gadis itu. Sheril tampak menjambak rambutnya sendiri dengan kedua tangannya dengan tatapan penuh ketakutan sambil berkomat-kamit tidak jelas. Sheril tampak depresi.


***

Sepulang sekolah, Bella da Laura khawatir akan keadaan Sheril yang sedari tadi hanya diam di kelas tanpa bersuara sedikitpun. Tidak makan, tidak minum, hanya melamun.

Sampai di parkiran motor pun, Sheril dengan lemas menuju motornya sendiri. Dengan tatapan kosong ia memakai helmnya dan menghidupkan mesin motornya.

Bella dan Laura hanya melihat Sheril dengan pandangan cemas dari kejauhan sambil menunggu jemputan pribadi. Keduanya tidak tega melihat keadaan Sheril saat ini. Saat mereka mengajak Sheril untuk berbicara, gadis itu hanya mengangguk dan menggeleng sebagai jawaban.

Kini Sheril melajukan motornya menuju gerbang, hampir saja ia menabrak belakang motor murid lain kalau saja ia tidak sadar akan tindakan cerobohnya. Sheril mengambil jalan lain untuk keluar dari gerbang sekolah.

Dari arah kejauhan, beberapa cowok sedari tadi memerhatikan Sheril dengan raut wajah bingung juga kasihan. Tidak terkecuali dengan Mogens yang terus melihatnya dengan diam.

Sesampainya Sheril di rumah, gadis itu hanya duduk di depan meja belajarnya. Memandang beberapa foto yang masih ia simpan. Foto yang menampakkan diri kedua cewek yang tengah tersenyum lebar. Tertulis dua nama di sudut kanan bawah foto tersebut.

Sheril dan Regina.

Sheril menumpahkan air matanya dengan diam sambil meminta maaf dalam hati. Ia mengepal kuat kedua tangannya di atas meja sambil menumpahkan segala kepedihan hatinya selama ini.

Banyak pesan masuk di ponselnya, Sheril tidak menghiraukan. Ia tidak meraih ponsel itu meskipun ia tahu pasti teman-temannya yang memberi pesan.




-M O G E N S-


Sejauh ini bagaimana cerita ini menurut kalian? Mau tau dong, hehe...

Aku rasa mungkin ini cerita pertama yang paling menyakitkan yang pernah aku tulis di wattpad.
Semoga kalian suka ya.

Jangan lupa tinggalin jejak ya 💕

Ig: nataliatans
LINE: @ncw9757a (pakai @)

See you!

Salam,
Natalia Tan

MOGENSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang