Marsha- 8

959 48 6
                                    

Hari ini Ayana pulang. Entah apa yang terjadi, ia ingin pulang lebih cepat. Aku pun menghias rumah dengan balon dengan diisi kertas di dalamnya.

Satpamku mengatakan, Ayana sedang berjalan menuju sini. Aku pun mematikan lampu supaya ini jadi kejutan untuknya.

Trak!

Terdengar suara pintu dibuka. Dengan reflek aku memecahkan balon yang ada di tanganku.

Dor!

Dor!

"Selamat datang kembali, Ayana!" teriakku sembari memeluknya dengan erat.

Namun, ada yang berbeda darinya. Kenapa ia tidak membalas pelukanku? Apakah aku bau badan?

"Emm ... Ayana, kenapa dadamu terasa bidang? Apakah kamu sedang diet?" tanyaku, sembari perlahan membuka mata.

Trak!

Terdengar suara sakelar lampu menyala.

Cahaya lampu perlahan mulai menyorot mata. Apa yang aku lihat? Otot kekar, dada bidang, dan pakaian kemeja? Ini bukan mimpi 'kan?

"Kalian berdua! Apa yang sedang kalian lakukan?" Suara seseorang begitu memekik kencang, menggema di seluruh ruangan.

Perlahan aku melepas pelukan Pria di depanku. Seketika aku terperanjat kaget, ketika melihat sesosok Pria di depanku.

"Arthur?" ucapku lirih. Aku pun menoleh ke arah sumber suara yang memekik kencang tadi. "Ayana?"

Nampak mata Ayana sudah memerah. Matanya berkaca-kaca. Seluruh bawaannya, telah tergeletak di lantai.

"Ayana, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku hanya--"

"Tidak apa!" tukas Ayana. "Aku tidak punya hak untuk melawanmu, Marsha. Karena tadinya, kamu duluan yang membawa Arthur padaku," ucapnya sembari tersenyum 'miris'. Hidungnya mulai memerah, perlahan air mata mulai jatuh membasahi pipinya.

Aku pun langsung menghampirinya, dan hendak menyeka air matanya. Namun, sebelum aku memegang pipi mulusnya, tanganku ditangkis.

"Aku tidak apa-apa, Marsha. Serius!"

Aku mulai khawatir, ada rasa sesak di dada. Perasaan bersalah mulai menghantui diriku. "Kamu bohong Ayana, ayo kita ke ruang makan dan rayakan kedata--"

"Cukup!" Lagi-lagi, ucapanku diptong.

"Aku tidak apa-apa. Ini serius. Duluan saja, ada yang harus aku urus sebentar di luar sana," ucapnya sembari perlahan meninggalkan diriku bersama Arthur, dan Pria yang sedari tadi bersama Ayana.

Aku menatap Arthur dengan sorot mata kecewa. Namun, Arthur hanya menatapku dingin, tidak ada sedikit pun senyum terulas di wajahnya. Kini, Arthur juga tengah berlari untuk mengejar Ayana.

"Hai, Bro! Ga usah sedih gitu. Di sini ada aku." Pria yang bersama Ayana tadi mencoba menghiburku sembari memegang bahuku.

Wajahku pun mendadak kecut. "Siapa kamu? Apa urusanmu di sini?"

"Santai. Aku temannya Ayana, teman se-angkatanmu ketika sekolah. Kamu tidak ingat aku?" tanya Pria itu masih dengan wajah konyolnya.

"Tidak. Aku tidak ingat," kataku masih cemberut.

"Aku Aldi. Masa kamu tidak ingat?" Aku yakin, kini raut wajahnya sudah mengkerut kesal.

"Iya Aldi, aku Marsha temannya Ayana. Aku tidak ingat apa pun tentangmu!"

"Orang yang berpidato ketika acara penerimaan siswa, dan ketika wisuda?"

Aku berpikir sejenak, mulai mencerna perkataanya. Aku menyimpan jari telunjukku di kening. Ingatan begitu saja muncul, entah darimana.

Terlalu Cantik vs Terlalu Jelek [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang