"Kayaknya lebih gampang kalau lokasi klinik di sebelah kanan. Atau yang pernah aku sarankan tempo hari ke kamu," jelas Tony, Rosa sambil mendengarkan dan memperhatikan––melipat kedua tangannya bersamaan, berfikir ulang, meyakini agar pengambilan keputusan akhir tidak akan disesali.
"Dikelilingi air ya mas, apa gak masalah," gumam Rosa dengan nada yang malah mengindikasikan sebaliknya. Ia berpaling lalu memandangi Tony. Pria itu sedang menyingkirkan debu dari meja marmer yang sebagian bungkusnya masih disegel, dan pada siku lainnya tercabik asal. Sudah berjalan lima puluh persen pembangunan rumah barunya. Pemilihan lokasi sengaja disini agar dekat dengan lokasi tempat tinggal Jeka di Semarang. Meminta jasa Tony yang ia kenal dari satu tahun lalu melalui seorang kenalannya yang bernama Harry.
"Sekaligus buat healing atau relaksasi sebenernya. Tapi terserah kamu sih. Nyamannya gimana."
Keadaan semi formal dan serius, cukup teralihkan saat ada suara mesin motor yang berhenti beberapa meter di dekat pembangunan. Jeka melepas helm dan meletakkan di badan motor, ia mengetikkan pesan di layar LCD ponsel, tetapi diurungkan setelah mendengar gema teriakan suara seorang wanita, mengudara memanggil namanya, "Sebentar mas." Kata ROsa pada Tony sebelum pergi.
Tony mengangguk, mempersilahkan dengan gerakan tangan sebagai tanda persetujuan, "aku mau ke atas ya. Cek di lantai dua kalau kamu nyari." Tony melanjutkan langkah dengan senyuman melengkung dari kedua sudut bibirnya.Jarak tiga meter, Rosa melambaikan tangan. Jeka hanya mengangguk tanpa tersenyum. Begitu mahalnya sebuah senyuman untuk pria itu.
"Mana Joji, hari ini kan jadwal check up rutinnya."
"Udah di Ambon dari kemarin. Tempat dinas gue yang baru nantinya disana."
Pantas saja, ia tidak menemukan Joji kemarin ketika pergi ke rumah Jeka. Rosa baru mengetahui hari ini, ia pun berusaha tersenyum santai, tetapi yang terlihat adalah senyumannya kaku. Jeka menengadah ke atas, daun-daun yang biasanya berwarna hijau sebagian menguning kemudian jatuh sendiri diterpa semilir angin kecil. Sekitar sepatunya dipenuhi dengan daun layu. Tetapi menjadi pemandangan cantik seperti musim gugur. Ada dua daun yang menempel di atas kepala Rosa. Wanita itu tidak merasakan karena ukuran benda itu ringan dan tidak juga menyadarinya. Jeka memungut kedua daun itu, memeriksa apakah ada sesuatu yang mengotori puncak kepala Rosa.
"Makasih hadiah ulang tahunnya, udah gue liat. Ini gue pake." Jeka menarik turun zipper jaketnya, menunjukkan pemberian Rosa untuknya.
"Oh iya, sampe gak sadar. Sama-sama." Rosa mengerjap-ngerjap beberapa detik, karena Jeka belum pernah bersikap semanis ini padanya. Biasanya pria ini lebih suka menunjukkan sikap dingin padanya.
❄️❄️❄️
Aura lelah, tetapi masih bisa ditahan karena faktor kebiasaan. Lisa langsung dapat mengetahui punggung seseorang walaupun wajahnya belum ia lihat. Dari cara berpakaiannya. Berjalan cepat agar untuk duduk disana. "Gue lari-lari, hiks." Menarik mundur kursi di depan Jimin. Menimbulkan sedikit bunyi gesekan ujung kayu dengan lantai. Bersiap meluncurkan semua kalimat keluh kesahnya. Tetapi Jimin Mengangkat satu tangan.
"Pertama; kita kesini buat makan. Gak enak kalau ngobrol doang tapi gak pesen. Kedua; kalau ini berkaitan sama Jeka Pratama Putra, gue no komen lah. Gue gak begitu deket sama dia. Ketiga; Gue baca garis wajah lo kayaknya tebakan gue yang kedua bener."
Sekarang Jimin beralih memeriksa daftar menu. Membiarkan Lisa tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Tolong bilang apa kek Chris ke Jeka. Biar jauh-jauh gak iseng. Sumpah ganggu banget."
"Lo mau gue jujur sesuatu gak. Tiap gue liat lo, liat Jeka. Bahas yang udah-udah. Gue inget masa lalu lo cuek dan gak perduli ke gue. Kasarnya gue udah coba lurus aja lempeng. Gak inget-inget lagi. Tapi tetep aja inget. Padahal gue serius sama lo waktu itu. Jujur ya, nyesek. Pas gue dapat kabar lo jadian sama dia itu gue pendidikan di Sentul." Sungut Jimin tanpa memberikan atensi. Ingatan Lisa kembali dalam lembar-lembar buram.
"Astaga...kok jadi gini sih. Lo masih marah sama gue. Serius Jim, marah...gue minta maaf kalau gue ada salah dan bikin lo sakit hati waktu itu." Tanya Lisa dengan sopan. Ia tidak bisa menebak isi pikiran Jimin. Pria itu tiba-tiba tersenyum. Tidak ada kalimat lanjutan yang Jimin ucapkan.
Begitulah manusia. Apa yang diucapkan berbeda dengan apa yang dirasakan. Lebih nyaman hanya diri sendiri yang mengetahui.
'Entahlah, apa rencana Tuhan. Aku menyadari detik ini, jika tali kami bertiga tidak pernah terputus.'
__________________
Main Cast
__________________BADAN SIBER DAN SANDI NEGARA
DEPUTI BADAN PEMANTAUAN DAN PENGENDALIAN BSSN
Direktorat Pengendalian Informasi, Investigasi, dan Forensik Digital
Jeovanna Bawkaren
Note : Ini yang dibahas Jeka dan Rosa. Namanya "Joji"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kill My Pain || Blackbangtan [END]
Fanfiction[ C O M P L E T E D] "Pain is real. But so is Hope." Hubungan Lisa dan Tony harus terganggu karena mantan kekasihnya di masa lalu (Jeka), yang sudah memiliki calon pendamping hidup: Rosalie (kriteria wanita yang disetujui oleh kedua orang tuanya)...