12 - Bullets

1.4K 154 56
                                    

           Harry berlarian menerobos pintu utama klinik yang baru saja diputar kuncinya oleh Rosa, setelah selesai melakukan operasi selama kurang lebih tiga jam, mengeluarkan dua buah peluru dari tubuh Tony dengan peralatan medis seadanya. Terlebih merupakan peralatan yang digunakan untuk menangani kasus hewan bukan manusia. Tatapan matanya kosong itu yang sangat terlihat, saat Harry menemukan wanita di depannya dengan wajah sedikit pucat. "Selain aku, kamu gak kasih kabar keluarganya kan?"

          "Mas Tony gak mau dibawa ke RS, padahal aku bilang gak bisa, takut gak sanggup tangani karena masalah peralatan. Dia malah jawab sama aja. Paling yang beda, dosis untuk obat-obatan, cairan infus antara hewan sama manusia. Dan untungnya tadi, gak sampe kekurangan darah." Rosa mendongak, rasanya sampai sekarang terbayang dengan keadaan Tony, shock menemukan tubuh pria itu terkulai lemas menahan sakit pada punggungnya yang berlubang, ada dua peluru disana.

         "Besok sebelum berangkat ke luar kota, aku bikin laporan dulu ke Polres." Kata Harry memegang pundak Rosa sekaligus untuk menenangkannya. Mata wanita itu merah saat menengadah.

         "Jangan ambil langkah ke arah sana, itu yang dia bilang sebelum pingsan. Aku gak ngerti kenapa dia gak mau dan sampai senekat ini untuk penanganan lukanya." Rosa masih bicara dengan pandangan mata setengah hampa, kemudian menoleh pada Harry, air matanya baru saja turun. Sangat merasa bersalah. Tuhan masih memberikan kesempatan. Bagaimana jika pelurunya mengenai organ penting dalam tubuh Tony. Tidak bisa membayangkan sebesar apa rasa bersalahnya. Saat menemukan pun, Tony hanya berpesan agar tidak bertindak terburu-buru. Pria itu sampai harus begini karena datang ke kediamannya. Akibatnya, sekarang Rosa terpaksa berbohong pada Jeka.

      "Ya Tuhan, Tony, Tony. Bingung siapa yang ngurus dia, kalau dia gak mau dirawat di RS." Harry menekan saraf-saraf wajahnya yang letih. Padahal ini bukan perkara main-main. Nyawa hampir melayang. Tapi masih bisa sahabatnya itu bersikap tenang.

     

      "Aku yang bantu recovery. Mas Harry gak perlu khawatir."

      "Gak bisa Ros. Pertama; kurang tepat. Kedua; pemulihan tubuhnya bakal lamban kalau tetap kamu yang tangani. Urusan paling tepat itu ya di rumah sakit. Besok kamu pindahin dia kesana."

       Rosa tidak meng-iyakan permintaan Harry. Entah kenapa hatinya lebih menyetujui pesan yang Tony sampaikan.

9 jam sebelumnya 🔗🔗🔗

        Di dalam mobil yang diam terparkir sempurna, seseorang misterius memastikan sesuatu dengan komunikasi dari sambungan telepon selulernya. Kemudian mengarsipkan bukti otentik dari kejauhan potret Rosa berdiri di depan pintu tersenyum dengan kunjungan tidak terduga dari Tony yang saat itu sedang menaiki undakan anak tangga. Tidak datang dengan tangan kosong tentunya, ada dua paper bag yang pria itu bawa.

       "Lho mas,"

       "Ini, kamu mau keluar?" Tony terkejut dengan Rosa yang sudah rapi.

       "Iya nih, udah makan siang ? atau mau bareng. Biar pake mobil aku aja." Ajak Rosa sambil menekan tombol remot mobilnya.

       "Aku udah beli—satunya buat kamu." Mengangkat bungkusan yang ia bawa pada Rosa. Wanita itu berdecak sambil tersenyum. Mempersilahkan Tony masuk. "Ini beneran gak papa."

        "Makan sendiri gak enak." Sahut Tony meletakkannya di atas meja sambil melihat keadaan di dalam klinik, "Tumben sepi, biasanya ada satu asisten kamu yang jaga."

       "Oh, biasanya ku kasih ijin sih sesekali kalau mereka berdua mau lunch bareng."

        Setelah itu keduanya mengobrol ringan di sela waktu makan siang. Sampai Tony pamit untuk kembali ke kantor. Rosa sempat menceritakan ada sedikit masalah sistem di kediaman barunya dan mengatakan perihal keinginan untuk menjual rumah barunya, "nanti malam aku baru bisa cek lokasi."

       "Kira-kira jam berapa mas ?"

       "Mungkin paling telat jam sembilan."

       "Gitu ya, oke ntar kabarin kalau mas Tony udah sampe."

❄️❄️❄️

        Didesak untuk menjelaskan reaksi terkejut itu, Jeka justru menghindar saja. Pelit suara. Ia pergi ke sudut ruangan agar leluasa dan sebagai alasan supaya Jimin dan Lisa tidak bisa mendengar pembicaraan nya. Bersikap setenang mungkin, tidak ada niatan lebih lanjut dari Jimin ataupun Lisa untuk mencecar Jeka. Pria itu seorang diri semakin khawatir karena tidak ada satupun panggilan atau pesannya yang dibalas oleh Rosa.

      "Udah dibalas chatnya." Suara lembut seseorang di ujung panggilan.

      "Astagaa, kenapa telepon gue gak diangkat dari tadi," gertak Jeka melepas rasa paniknya.

     "Tadi di kamar mandi."

Mendengar suara Rosa yang baik-baik saja, hati Jeka sedikit lebih tenang.

     "Besok lo susul gue kesini ya sesuai chat yang gue kirim."

    "Gak bisa Jeka, aku sibuk minggu ini."

     "Tolong, demi gue. Biar gue gak khawatir."

    "Aku mau istirahat, gak perlu khawatir apa-apa. Kamu istirahat, jaga kesehatan. Bye" 

      Panggilan telepon dimatikan sepihak, Jeka hanya bisa memandangi layar ponsel yang menghitam. Kembali bergabung dengan Jimin dan Lisa yang semakin sibuk. "Li, udah dapat berapa nama." Suara Jeka mengudara di antara mereka yang hening. Sebelum menyerahkan kertas miliknya Lisa diam memandang sinis, "gak ada yang lo tutupin dari kita berdua kan...jangan sampai gue sama Jimin dapet masalah. Inget ya, lo ketua tim. Tanggung jawab penuh ada pada anda bapak Jeka."

     

❄️❄️❄️


      Ruangan ini dingin karena suasana dari kedua orang yang sedang terlibat pembicaraan serius. "Sudah gue bilang, cara lo gak bakal berhasil. Terlalu konservatif. Hasilnya ckckck. Terus, masih hidup atau mati dianya ?" menaruh setengah cerutu uang masih menyala di atas asbak. Suga menunduk melihat lantai memandangi salah satu sepatunya. "Belum gue pastikan."

      "Beresin sampe kelar lah... Cek semua rumah sakit. Urusan begitu jangan sampe anak buah lo gak bisa tangani. Inget ya...KE-LE-DAI aja gak mau gagal dua kali."

         Melirik sekilas wajah pria yang duduk di sofa seberang. Tatapan mereka sama-sama serius. Masing-masing aura kuat dari mereka menyebar di dalam ruangan. "Oke, gue setuju pake ide lo."

       "MoU bisnis yang pernah kita bahas itu syaratnya. Gue bantu; gak gratisan."

Bisa tebak...siapa rekanan Suga...

Kill My Pain || Blackbangtan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang