Lima

22 8 1
                                    

Hari ini aku datang lebih pagi dari biasanya, apa lagi jika bukan untuk melaksanakan niatku kemarin. Untuk hari ini dan juga hari-hari berikutnya aku berniat menjadi pengikut Dirga, dalam artian aku akan pergi kemanapun dia pergi dan akhirnya nanti dia akan risih sendiri dan akhirnya berhenti membuat masalah atau paling tidak berhenti membolos.

Selama seminggu dikelas ini membuatku tau jika Dirga selalu datang pagi-pagi sekali, aku selalu melihat tas miliknya sudah berada di kursinya setiap kali aku sampai, jadi kini aku harus datang lebih pagi, atau paling tidak di waktu yang sama dengannya.

Jam baru menunjukkan pukul enam dan sekolah benar-benar masih sepi, sepanjang perjalananku ke kelas aku belum melihat satu orang pun, kecuali penjaga gerbang tentunya. Dan jika aku adalah tipe orang penakut seperti Rissa, maka mungkin aku tidak akan berani memasuki gedung sekolah dan menunggu di gerbang sampai ada beberapa siswa lagi yang datang.

Beberapa meter sebelum aku sampai dikelas akhirnya aku melihat adanya manusia lain, sekaligus membenarkan dugaan ku tentang Dirga, lihat saja cowok itu baru saja keluar dari kelas, membuatku memperlambat langkahku dan menjaga jarak, biarlah aku akan menaruh tasku nanti.

Aku terus mengikutinya dengan tetap menjaga jarak, tidak ingin dia tau jika ada seseorang yang mengikuti. Dia menuju tangga di ujung bangunan sekolah, tangga ini lebih mirip tangga darurat di perkantoran atau pusat perbelanjaan yang tertutup dan hanya ada satu pintu untuk menyambungkannya dengan setiap lantai. Dari tadi kami terus menaiki tangga, dan sesampainya di lantai empat-terbukti dengan nomor empat berwarna hitam di dinding- rasanya aku ingin menyerah saja dan kembali ke kelas, aku benar-benar lelah apalagi dengan Dirga yang kini terus menaiki tangga, sepertinya ia ingin pergi ke rooftop.

Aku berjalan dengan menunduk sambil mengatur nafasku yang mulai ngos-ngosan, menatap satu per satu anak tangga yang aku lewati. Lalu langkahku terhenti saat mataku menangkap sepasang sepatu di atas sebuah anak tangga, aku mendongak dan melihat Dirga yang berdiri menatapku dengan menyilangkan tangannya di dada.

Aku nyengir menatapnya yang melotot padaku. "Ngapain lo?!" Tanyanya kasar.

Aku bergidik, selama ini aku memang sering menerima sikap kasar dari Kak Reza, hanya saja menerima sikap tersebut dari orang lain tetap membuatku takut. "Lo kan tau gue ngapain? Mau gue jelasin lagi?" Tawarku dengan sikap sok, sok tegar dan sok berani padahal rasanya aku ingin menangis saja.

"Sana balik ke kelas," usir nya. "Gue bilang gue nggak butuh pengasuh," ujarnya kejam.

Aku ikut menyilangkan lengan sok mengikuti gayanya, padahal ini caraku supaya dia tidak melihat badanku yang gemetar, aku baru menyadari sekarang kalau aku ternyata penakut juga, padahal selama ini aku selalu menyangka jika aku adalah orang yang pemberani, paling tidak lebih pemberani daripada Rissa.

"Nggak, gue nggak bakal pergi kalau lo nggak ikut sama gue ke kelas," ujarku.

"Gue bilang pergi," usir nya lagi.

Aku menggeleng, "Nggak sebelum lo ikut sama gue," ujarku keras kepala.

Dirga berdecak, tampak sangat terganggu dengan sikapku, biar saja, dia pikir dia bisa menyuruh orang seenaknya?

"Terserah," katanya lalu berbalik dan kembali menaiki tangga, aku kembali mengikutinya.

"Cuma jangan salahin gue kalau nanti lo ketinggalan pelajaran," tambahnya. Aku berhenti melangkah sebentar, menjadi ragu karena ucapannya tadi, dia benar, bagaimana kalau aku ketinggalan pelajaran hanya karena mengikuti berandalan ini?

Aku menggeleng, tidak apa, aku mungkin akan ketinggalan sedikit pelajaran tapi itu sebanding jika akhirnya nanti aku dapat bertahan di kelas itu dan mendapatkan beasiswa yang menjadi tujuan utamaku masuk ke sekolah ini. Lagi pula aku bisa belajar sendiri dirumah. Aku menguatkan tekadku dan mempercepat langkahku, menyusul Dirga yang sudah menghilang dibalik pintu keluar.

Aku mengedarkan pandanganku, ini pertama kalinya aku kesini setelah hampir tiga tahun aku bersekolah disini, jam baru menunjukkan pukul enam lebih dua puluh dan keadaan disini belum terlalu panas, cerah tapi tidak panas.

Aku berjalan menuju ke tepian tidak menghiraukan Dirga yang duduk di kursi lama yang diletakkan di sini, lalu menatap kebawah, aku bergidik menyadari jika tempatku ini sangat tinggi, aku dapat melihat siswa-siswa yang mulai berdatangan, yang sedang memarkir motornya, berpamitan dengan orang tuanya bahkan yang baru turun dari angkot di depan gerbang sekolah, aku bisa melihat semuanya disini walaupun mereka terlihat sangat kecil.

"Ga, lo yakin nggak mau masuk ke kelas? Jam pertama sosiologi, pak walas yang ngajar." Bujuk ku.

"Enggak," sahut Dirga ketus.

Aku menoleh kebelakang, mencari keberadaan Dirga, dan menemukan sesuatu yang tidak ku sangka akan ku lihat disini. Dirga yang kini tengah menghisap salah satu benda yang  paling banyak menyebabkan kanker paru-paru.

"Lo ngerokok?" Tanyaku tidak percaya.

"Mata lo masih berfungsikan?" Tanyanya sarkastik.

Aku menghampirinya lantas dengan keberanian yang entah ku dapatkan dari mana, aku mengambil rokok di datangannya dan menginjaknya untuk mematikannya.

"Apa-apaan lo?!" Seru Dirga tidak terima.

Aku mundur beberapa langkah dengan mengangkat kedua tanganku. "Sori, tapi gue cuma mau memperkecil masalah yang mungkin lo terima dimasa depan," kataku.

Aku melihat Dirga berdecak lalu mengambil sekotak rokok di bawah laci meja, membuatku melotot dan dengan cepat bergerak untuk merebutnya, mungkin hari ini memang hari keberuntunganku karena aku dapat dengan mudah mengambil bungkus rokok itu.

"Jules," Dirga berkata pelan, suaranya terdengar dalam dan mengintimidasi.

Aku menatapnya dengan alis terangkat, oh, kupikir dia tidak tau namaku.

Aku membuka kotak itu mengeluarkan isinya dan kembali menginjak semua rokok yang tersisa. Aku kembali menatap Dirga, hanya untuk melihat ekspresinya yang sangat menunjukkan jika dia terkejut dengan perbuatan berani ku itu. Yah, bukan hanya dia, aku sendiri juga terkejut dengan diriku sendiri.

Aku ingat beberapa menit lalu aku takut setengah mati padanya, dan kini aku malah menghancurkan semua rokoknya. Dia akan memarahiku, dia pasti memarahiku, tapi bisakah aku berharap jika dia hanya akan mengomel? Dia tidak akan memukul seorang perempuan, kan?

"Hm," aku berdehem saat melihatnya yang terdiam, itu justru membuatku tambah takut.

"Lo seharusnya berterima kasih sama gue,  karena gue baru aja mencegah kemungkinan lo kena kanker paru-paru sepuluh tahun lagi." Ujar ku, berusaha terdengar berwibawa.

Dirga menatapku kesal dan aku dapat melihat tangannya terkepal, oh tuhan, aku tidak ingin mendapat lebam hari ini.

"Lo itu ya," Dirga mengangkat tangannya ke samping wajahnya, aku pikir dia ingin menamparku tapi ternyata dia malah mengusap wajahnya dengan kasar. "Oke, gue nyerah, jadi sebenernya lo mau apa?" Tanyanya.

Aku tersenyum menatapnya, apa akhirnya dia akan menurutiku? Aku tidak tau kalau tugas ini akan menjadi sangat mudah.

"Mudah kok, jangan bolos, jangan merokok, berhenti melanggar peraturan, dan dengan begitu gue akan berhenti ngikutin elo, tapi kalau lo nggak mau ya..." Aku mengangkat bahu. "Gue bakal terus ngeganggu elo." Jelas ku.

Diam. Dirga terlihat memikirkan ucapan ku barusan. Lima menit dan dia masih belum bersuara, aku semakin tidak sabar apalagi bel masuk akan berbunyi sebentar lagi.

"Oke," ujar Dirga, hampir membuatku melompat senang, tapi aku diam dan hanya mengangguk.

"Bagus, dengan begitu gue nggak akan..." Ucapan ku terpotong saat tiba-tiba Dirga mengangkat daguku.

"Tapi lo, harus jadi babu gue," ujarnya yang membuatku melotot kaget.

Tepat saat itu bel masuk berbunyi, dan Dirga langsung berjalan meninggalkanku. "Ayo cepet, lo bilang gue nggak boleh bolos kan?" Katanya begitu ia membuka pintu menuju tangga.

Aku mengerjapkan mataku, sialan, bukan ini rencana ku!


TBC


21.11.19

Love Rise on JulyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang