Tiga

22 7 0
                                    

Aku membuka pintu rumah dengan tangan kiri sedang tangan kananku sibuk membuka sepatu.

"Aku pulang," ujarku dengan suara kecil, sangat kecil hingga nyaris menyerupai bisikan karena aku tau tidak akan ada yang membalasnya.

"Dari mana aja lo?"

Tubuhku menegang, lantas dengan perlahan memasuki rumah dan mendapati Bang Reza yang berdiri dengan tangan menyilang tidak jauh dariku.

"Aku abis ngerjain tugas dulu di sekolah, makanya pulang lambat," jawabku, aku menunduk tidak berani menatap wajah kakak tertuaku itu.

"Terserah," ujar Bang Reza ketus, ia mengambil jaketnya di sandaran kursi. "Gue peringatkan ke elo, jangan buat masalah di manapun, kehadiran lo aja udah menimbulkan terlalu banyak masalah."

Usai mengatakan hal itu, Bang Reza berjalan melewati ku dan menutup pintu dengan keras, lalu aku mendengar suara motor yang entah kenapa tidak kulihat beberapa menit lalu.

Aku menghela nafas, lelah dengan sikapnya padaku yang tidak pernah berubah sejak dulu. Aku melepas ranselku dan menentengnya, aku baru akan masuk dapur untuk minum saat Kak Reka turun dari tangga, ia melirikku sekilas, lalu langsung berlalu memasuki dapur membuatku mengurungkan niatku.

Lantas aku melangkahkan kaki menuju kamar, meletakkan tasku di tas meja belajar dan merebahkan diri di kasur. Pantas saja Bang Reza ada di rumah, ia pasti mengantar Kak Reka pulang  dari kampusnya. Padahal sudah hampir sebulan ini dia tidak pulang ke rumah ini, entah dia tinggal dimana, aku tidak berani mencari tau lebih jauh.

Aku cukup sadar diri untuk tidak terlalu masuk ke kehidupan mereka lebih dalam, karena seperti kata Bang Reza tadi, kehadiranku disini sudah menimbulkan cukup banyak masalah bagi keluarga mereka.

Ya, keluarga mereka karena aku tidak termasuk di dalamnya.

Aku bangkit duduk di tepi kasur lalu menatap fotoku dengan bunda yang terpajang rapi di meja belajarku, foto terakhir yang kami ambil sebelum bunda meninggal karena sakit yang bahkan tidak ku ketahui. Saat bunda meninggal, ayah tidak datang, dan aku tidak terlalu berharap dia datang karena kami memang tidak punya hubungan dekat, mengingat dia hanya menemui ku paling tidak sebulan sekali.

Setelah aku tinggal dengan adik ibuku selama hampir sebulan, akhirnya ayah datang dan membawaku ke sini, ke keluarganya yang lain yang sama sekali tidak ku ketahui. Dari situlah aku tau jika ternyata bunda hanyalah simpanan ayahku, bukan hanya aku yang baru mengetahui kabar ini tapi begitupun keluarga ini.

Mama, sebutan ku untuk ibu Kak Reka dan Bang Reza sama sekali tidak bisa menerimaku, dan kabar mengejutkan ini membuat penyakit jantungnya kambuh dan akhirnya harus menyusul bunda setelah dua bulan dirawat di rumah sakit.

Membuat rasa benci kedua kakak satu ayahku itu semakin bertambah. Kak Reka yang hanya berbeda dua tahun dari ku tidak terlalu menunjukkannya, dia hanya memilih untuk tidak menganggap keberadaan ku, berbeda dengan Bang Reza yang secara terang-terangan menyatakan kebenciannya padaku, seperti yang di lakukan ya tadi, dia bahkan memilih pergi dari rumah ini sejak setahun yang lalu, setelah ayah ikut meninggalkan kami karena kecelakaan.

Miris, itulah satu kata yang benar-benar cocok untuk kehidupanku ini, aku beruntung Bang Reza masih mau membiayai sekolahku, walaupun aku sempat berpikir jika ini cara agar aku tidak akan merepotkannya saat aku dewasa.

Tapi apapun alasannya, aku tetap berterima kasih, dan seperti ucapannya tadi, aku tidak akan membuat masalah yang nantinya akan menambah kebenciannya padaku.

***

"Jules, lo dipanggil walas ke kantor." Imam, menghampiri mejaku hanya untuk memberi tahuku itu dan merusak waktu istirahatku yang berharga.

Love Rise on JulyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang