Aku sampai dikelas setelah sekitar lima belas menit, dan aku langsung duduk di kursiku dengan nafas tersengal, untung saja guru sosiologi yang merangkap sebagai walas kami itu datang sedikit telat, padahal aku sudah berlari saking takutnya terlambat.
Dirga seperti biasa datang memasuki kelas dengan santai, dan jika kulihat beberapa teman sekelas ku menatapnya heran, yah, berhubung cowok itu hampir selalu membolos setiap jam pelajaran pertama.
"Eh, tumben lo telat," ujar Rissa, saat aku melepas tas punggungku, sadar jika aku masih memakainya.
"Yah, begitulah," jawabku ambigu, tidak yakin akan menjawab apa.
Rissa menatapku heran lalu menoleh kebelakang meja kami, "Lo juga datangnya barengan sama Dirga, jangan-jangan lo tadi nemuin dia?" Tanyanya. Duh, Rissa jangan terlalu peka dong, kasian guenya.
Aku mengangguk, "Iya," jawabku sekenanya, aku mengambil buku sosiologi dari dalam tas.
"Aduh, lo itu ngapain sih? Udah deh, mending lo nggak usah turutin kata pak Syafran," keluh Rissa.
Aku mengangkat bahu, "Nggak papa kok, tuh liat dia udah nggak bolos kan?" Tanyaku.
Rissa mengangguk membenarkan, "Iya untuk sekarang, besok?" Tanyanya. "Lagi pula, lo ngapain sampe dia mau nurutin lo?"
"Gue jamin besok dan seterusnya dia nggak bolos," jawabku, lalu aku diam tidak yakin jika harus menjawab pertanyaannya yang lain.
Rissa mengangkat sebelah alisnya, menunggu jawaban dari pertanyaannya yang lain. Aku menggeleng, memutuskan untuk tidak memberi tahunya.
"Gue nggak ngapa-ngapain," kataku. "Cuma tadi pagi gue emang ngikutin dia ke rooftop, sih." Tambahku meyakinkannya.
"Serius, itu aja?" Tanya Rissa lagi, aku mendengus dia ini memang tidak akan berhenti sampai mendapat jawaban yang memuaskannya.
Aku mengangguk dan tidak mengatakan apapun, karena jujur saja aku payah jika harus berbohong.
Rissa menatapku menyelidik sebelum akhirnya dia mengangkat kedua bahunya. "Iya deh, gue percaya." Katanya menyerah.
Aku menatap ke depan dimana pak Syafran yang baru saja datang akan memulai pelajaran. Bagaimanapun aku tidak mungkin memberitahu Rissa tentang Dirga yang memutuskan ku untuk menjadi pesuruhnya, huh, mengingatnya saja aku sudah kesal. Lihat saja, aku akan menemui dan mengajukan protes padanya istirahat nanti.
***
Dan disinilah aku, di perpustakaan setelah tadi aku kehilangan jejak Dirga saat bel berbunyi, aku tidak tau kenapa dia bisa menghilang begitu cepat. Jadi kuputuskan untuk ke perpustakaan, mengingat aku pernah melihat Dirga disini saat istirahat minggu lalu, yah, sekalian menemani Rissa menemui sang pujaan hati.
Aku mendesah bahagia begitu melihat Dirga berada ditempat yang sama dengan minggu lalu, aku pikir jika aku tidak melihatnya disini berarti aku harus mencarinya ke rooftop, tempat yang jelas-jelas menjadi pilihan terakhirku untuk mencarinya.
Aku tidak mengatakan apapun, melainkan langsung menghampirinya dan duduk di kursi yang berhadapan dengannya, membuatnya teralihkan dari buku yang ia baca. Jujur saja, kini aku menjadi bingung, dia ini berandalan tapi senang membaca buku? Buku pelajaran pula.
"Apa?" Tanyanya ketus. Huh, entah kapan dia akan menyapaku dengan baik.
"Gue mau protes," kataku, dia menaikkan sebelah alisnya-yang entah mengapa mengingatkanku pada Rissa- diam, menungguku melanjutkan ucapan ku.
"Maksud lo tadi pagi apaan?" Tanyaku, aku menunjuk diriku sendiri. "Gue, jadi pesuruh lo?" Tanyaku memastikan.
Dengan tidak berdosanya Dirga mengangguk. "Ada demand ada supply, kalau gue cuma nurutin permintaan lo doang, keuntungan buat gue apa?" Jelasnya.
Wah, cowok ini benar-benar. Dia pikir kami sedang melakukan perdagangan? Lalu maksudnya aku yang sedang dijual, begitu?!
"Yah nggak bisa kayak gitu lah," protesku, kalau saja aku tidak ingat jika kini aku sedang berada di perpustakaan, aku pasti sudah ke sana dan menjambak rambutnya, yah... Kalau aku berani.
"Coba lo pikir ya, tanpa membuat gue jadi pesuruh lo juga lo udah di kasih keuntungan." Ujar ku lambat, mencoba me-lobby cowok menyebalkan itu. "Kalau lo berhenti bolos dan melanggar peraturan, lo akan bebas dari yang namanya hukuman kan?"
"Dan lo juga bakal dapet pahala gara-gara membebaskan kelas ini dari kemungkinan pergantian murid," tambah ku.
Dirga terdiam, dia menatapku lama, aku yakin jika saja dia menatapku sedikit lebih lama wajahku pasti akan berubah menjadi seperti kepiting rebus, alias merah.
"Gue nggak melihat itu sebagai keuntungan," putusnya. "Lagi pula gue nggak bakal nyuruh lo ngelakuin hal-hal aneh,"
"Eh, tapi kan..."
"Kenapa, lo nggak mau di ganti kelas, kan? Gue tau kok lo pengen dapetin beasiswa itu." Serangnya.
Kini aku yang kehabisan kata-kata. Dia benar, dan aku membutuhkan kerjasamanya untuk itu.
"Lo janji kan, nggak bakal nyuruh gue ngelakuin hal aneh?" Tanyaku, dia mengangguk. "Kayak beliin lo minum gitu?" Tanyaku memastikan.
"Nggak," jawabnya.
Aku menghela nafas, oke lah apa boleh buat, dia juga sudah memastikan tidak akan menyuruhku melakukan hal-hal aneh. "Oke gue setuju," putus ku.
"Eh, tapi gue juga punya syarat," sambung ku cepat saat melihatnya mulai mengembangkan senyum kemenangan, cih.
Dia menatapku tidak suka. "Apa?"
"Gue nggak mau satu orang pun tau tentang ini, dan lo harus benar-benar berhenti buat masalah, deal?"
"Deal."
Dan dengan begitu lah hidupku yang tenang perlahan mulai berubah.
TBC
25.11.19
![](https://img.wattpad.com/cover/188524633-288-k781586.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Rise on July
Ficção AdolescenteDua tahun lalu, July harus menerima kenyataan bahwa ibunya yang baru saja meninggal ternyata hanyalah istri simpanan ayahnya. Dan dia terpaksa menuruti ayahnya untuk tinggal dengan keluarga ayahnya yang lain, yang sama sekali tidak ia ketahui. Kedua...