Empat

22 7 1
                                    

Dirga menatapku tajam, membuatku sedikit menundukkan wajahku takut. Sedangkan Rissa jangan ditanya, dia langsung kabur ke kelas meninggalkanku berdua dengan Dirga, sialan memang.

Aku berdiri, menatapnya takut, aku tidak tau apa yang harus kukatakan jadi sepertinya aku akan menyusul Rissa. "Gue permisi, bye,"

Aku baru saja akan kabur saat Dirga menahan pergelangan tanganku. "Yang lo omongin sama temen lo itu, bener?" Tanyanya.

Aku menatap wajahnya ingin menjawab tapi rasanya suaraku tidak bisa keluar jadi aku hanya mengangguk. Dirga menghela nafas, ia melepas genggamannya di lenganku.

"Apapun yang pak suruh ke lo, jangan turutin, gue nggak perlu pengasuh." Katanya ketus.

Aku mengerti dia pasti merasa sedikit tersinggung, tapi ucapannya tadi menunjukkan kalau dia tidak merasa bersalah, seharusnya dia sadar dan merubah sikapnya itu, "Lo pikir gue mau? Lagi pula sikap lo sendiri yang jadi penyebabnya kan?" Tanyaku sinis.

Dirga mengalihkan tatapannya menatap koridor yang semakin sepi. "Bukan urusan lo," jawabnya yang justru membuatku bertambah kesal.

"Emang bukan urusan gue, tapi lo sadar nggak sih, sikap lo ini bisa berimbas ke anak-anak kelas juga. Kami semua berjuang supaya bisa masuk ke kelas ini bukan untuk kecipratan masalah lo tau nggak?"

"Kalau gitu salahkan orang yang nempatin gue di kelas ini, karena gue sama sekali nggak meminta untuk itu." Setelah mengatakan itu Dirga berjalan melewati ku, sama sekali tidak membiarkanku mengakan sepatah kata pun, dan seperti kemarin aku hanya menatap punggungnya yang semakin menjauh sebelum akhirnya mengulang di belokkan. 

Bel tanda istirahat selesai berbunyi, membuatku tersadar dan segera kembali ke kelas dengan otakku yang terus bekerja, memikirkan apa yang harus kulakukan agar kelas dua belasku dapat berjalan tanpa masalah yang dibuat oleh biang kerok itu.

Ya, kini aku mengakui perkataan Rissa beberapa hari lalu. Dirga Prayoga, berandalan itu harus dihentikan sebelum dia menjadi penyebab kehancuran ku.

***

Pak Sugi, sedang menjelaskan materi awal akuntansi, setelah dua tahun kami belajar ekonomi, akhirnya di tahun terakhir ini kami mendapatkan pelajaran akuntansi. Tapi, walaupun begitu aku sama sekali tidak bisa fokus, pikiranku masih memikirkan persoalan tadi,  ditambah lagi dengan Dirga yang bahkan sudah membolos lagi, dia itu memang bebal atau bagaimana?

Tolong, jangan anggap aku lebay atau semacamnya, karena ini bisa dibilang merupakan persoalan yang serius.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, di sekolahku ini kelas diurutkan berdasarkan peringkat dan juga perilaku, dan hampir seluruh murid di sekolah ini pasti ingin masuk ke kelas ini, karena hanya dari kelas bernomor satu saja kita bisa mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di kampus milik yayasan yang sudah berskala internasional, tentu saja untuk mendapatkan beasiswa itu masih ada beberapa klasifikasi yang harus dipenuhi, tapi jika dilihat dari tahun-tahun sebelumnya hampir seluruh siswa di kelas ini mendapatkan beasiswa itu, jadi siapa yang ingin melewatkan kemungkinan itu?

Dan sistem sekolah yang paling ditakutkan adalah masa percobaan selama tiga bulan, dimana jika selama tiga bulan pertama ini prestasi kami tidak lebih bagus dari kelas lainnya, akan diadakan ujian ulang yang berarti kami dapat dikeluarkan dari kelas ini.

Dan jika Dirga semakin banyak berbuat ulah selama tiga bulan ini, kemungkinan kami tidak berhasil melewati masa percobaan ini akan semakin besar. Dan aku tidak mau itu terjadi, aku tidak ingin Kak Reza marah padaku karena aku tau dia memantau kegiatanku di sekolah.

"Jules," Rissa menyenggol lenganku. Aku mengerjap, mendapati teman-teman sekelas yang menatapku.

Aku mengalihkan tatapan ke depan, dan melihat Pak Sugi yang juga sedang menatapku. "July, tolong perhatikan ke depan." Tegurnya.

"Eh, saya merhatiin kok pak," elak ku.

"Kalau begitu coba kamu jelaskan perubahan akun modal di persamaan akuntansi," tanya Pak Sugi, mengetes apakah aku benar-benar memperhatikannya tadi.

"Modal bertambah di kredit dan berkurang di debit," jawabku, aku beruntung aku sempat belajar tadi malam.

Guru senior itu menghela nafas, "Lain kali saya tidak mau melihat kamu bengong di kelas saya," ujarnya lalu kembali melanjutkan pelajaran tentang persamaan akuntansi.

"Hoki lo Jules," ujar Rissa begitu Pak Sugi keluar kelas setelah bel pergantian pelajaran berbunyi.

Aku hanya mengangkat bahu menanggapinya, pikiranku masih melayang entah kemana.

"Eh btw tadi lo ngomong apa aja ke Dirga? Dia nggak marahin lo kan?" Tanya Rissa.

"Ya kali dia marahin gue di depan ruang guru, lo sih tadi main ninggalin gue," kataku kesal, dan semakin bertambah melihat Rissa yang hanya nyengir.

Aku baru akan menceritakan obrolanku dengan Dirga saat tau-tau saja cowok itu masuk ke kelas dan dengan santainya duduk di kursinya, yang jika kalian lupa tepat berada di belakangku.

Aku lantas mengurungkan niatku untuk bercerita dan mengubah posisi dudukku yang tadinya sedikit miring menghadap Rissa menjadi lurus ke depan, rasanya malas sekali jika harus melihat cowok itu, walaupun hanya melalui ekor mata.

"Tuh kan, kalian tadi berantem, bisanya lo ngelirik-lirik dia," bisik Rissa kearah ku.

Aku melotot padanya, enak saja dia bicara, bagaimana jika Dirga mendengarnya? Mau ditaruh dimana wajahku.

"Eh gue benerkan? Lo kan emang sering ngeliatin dia," ujar Rissa, ia akhirnya mengganti topik saat aku masih menatapnya ganas. "Jadi gimana, nih? Lo minta di gantiin aja lah sama walas." Usul Rissa.

Dia ini mikir tidak sih sebelum bicara. "Lo yakin ada yang mau gantiin gue?" Tanyaku.

Rissa menggeleng, "Nggak, nggak akan ada yang mau, tapi serius, kalau gini terus gue khawatir kalau nanti kita bakal diganti, kayak kejadian dua tahun lalu pas kita kelas sepuluh."

Aku menatap buku akuntansi yang masih terbuka di hadapanku dalam hati membenarkan perkataan Rissa, ucapan Rissa tadi malah membuatku semakin bertambah bingung.

Bu Rini, guru bahasa Indonesia memasuki kelas dan langsung memulai pelajaran. Aku menoleh kebelakang, mendapati Dirga yang menaruh kepalanya di lipatan tangannya di atas meja dengan earphone yang bertengger di telinganya, aku kembali memperhatikan ke depan kelas, sepertinya aku tau apa yang harus kulakukan.

Besok, lihat saja besok, aku akan membuat cowok itu tidak berkutik.

TBC

16.11.19

Love Rise on JulyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang