Sepuluh

17 6 1
                                    

Sepanjang jam pelajaran terakhir aku sama sekali tidak bisa fokus. Apa lagi jika bukan karena memikirkan perkataan Rissa di kantin tadi. Rissa bilang kalau cewek yang aku lihat kemarin sedang bersama Dirga adalah pacar Dirga, sedangkan aku sendiri tau jika Dirga kemarin makan siang dengannya adalah Rissa, jadi yang dimaksud Rissa pacar Dirga itu adalah Rissa itu sendiri!?

Aku melipat kedua tanganku diatas meja dan menyenderkan kepalaku disana, aku pusing. Seperti yang aku rencanakan sebelumnya, begitu aku tau kebenaran hubungan Rissa dan Dirga, aku akan memikirkan tindakan ku selanjutnya dan aku pikir, aku akan menjauhi Dirga seperti yang Rissa pinta padaku. Ya, Rissa pacar Dirga.

Disatu sisi aku merasa lega karena bisa segera membuat keputusan, tapi di sisi lain aku merasa sakit hati. Entah karena perasaanku yang ternyata hanya bertepuk sebelah tangan atau karena ternyata Dirga berpacaran dengan sahabatku sendiri.

Aku juga merasa kecewa pada Rissa, hal yang belum pernah aku rasakan padanya, kenapa dia tidak mengatakan yang sejujurnya saja kalau ternyata dialah pacar Dirga sebenarnya, Rissa seharusnya tidak perlu mencari alasan agar aku menjauhi Dirga. Sampai mengatakan kalau dia melihat Dirga makan siang dengan seorang perempuan padahal perempuan itu adalah Rissa sendiri.

Dan Dirga, dia sama sekali tidak berusaha menjelaskan apapun. Padahal aku yakin sekali jika Dirga melihatku di sana kemarin. Sebenarnya jika dipikir-pikir, Dirga memang tidak perlu menjelaskan apa-apa, toh, kami memang tidak memiliki hubungan apapun, jadi terserah cowok itu jika dia ingin pergi dengan siapapun kan?

Tapi bukankah beberapa minggu ini kami memang dekat? Dia yang selalu memaksa mengantarku pulang dan mengurangi sikap menyebalkankannya padaku, huh, terkutuklah, kenapa sih cewek mudah sekali terbawa perasaan?

Aku menertawakan kebodohan ku sendiri yang terlalu terbawa perasaan dan menjadi terlalu mengharapkan sesuatu yang belum tentu terjadi, hal yang tidak pernah aku lakukan selama ini.

Aku sadar, selama ini hidup telah banyak memberi cobaan kepadaku, mulai dari masalah orang tua ku sampai dengan sikap kedua kakakku, seharusnya setelah semua itu aku bisa untuk tidak terlalu mengharapkan sesuatu dari orang lain. Tapi tenyata, aku salah.

Bel berbunyi nyaring membuatku menegakkan badan ku, mengambil buku-buku yang berserakan diatas meja dan menyusunnya didalam tas. Aku menumpukan kedua telapak tanganku di tas meja dan berdiri, mendapati Dirga yang berdiri di samping mejaku.

"Apa?" Tanyaku, aku ngernyit mendengar suaraku sendiri yang terdengar aneh bahkan untuk diriku sendiri.

"Gue anter lo pulang," Dirga bersidekap, huh, Dirga dan semua sifat arogannya.

"Ayo," ujar Dirga lagi, lelah denganku yang hanya diam.

Aku menghela nafas, bukan hanya dia, aku sendiri lelah dengan diriku yang tidak bisa menolak ajakan Dirga, aku baru saja akan berjalan saat tiba-tiba pergelangan tanganku di tarik kebelakang.

"Jules, pulang bareng gue, yuk."

Rissa, tentu saja.

Aku memejamkan mataku dan menarik nafas, ya aku tidak boleh egois, seberapa besar pun rasa senangku dengan perhatian Dirga aku harus ingat dengan Rissa.

"Nggak usah, gue mau ke toko buku," tolakku.

"Gue anter," Dirga berujar, cowok itu menatap Rissa tajam yang dibalas sama tajamnya oleh cewek itu dan tentu saja aku melihat itu semua.

"Bareng gue aja Jules, gue juga mau beli buku persiapan UN." Rissa membujukku dia masih menatap Dirga dan bahkan tidak menatap ku sama sekali saat mencoba membujukku tadi.

Aku melepaskan tanganku dari genggaman Rissa. "Gue sendiri aja, lo tau kan gue kalau ke sana bisa lama, kasian lo-nya kalau sampe harus nungguin gue."

Love Rise on JulyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang